Ketika Virus Balas Dendam Itu Sungguh Berdaya

Kons beo5 1

Oleh P. Kons Beo, SVD

Seharusnya gol. Itu yang terjadi di menit 32. Sudah berhadapan dengan penjaga gawang. Dan sebenarnya, tinggal dengan tenang menjebol gawang. Namun, itulah yang gagal dibuat Rodrigo Bentacur. Laju bola terblokir Diogo Costa, penjaga gawang Portugal.

Bacaan Lainnya

Tentu, ada yang berandai-andai. Sekiranya yang berhadapan satu-satu ‘model begitu’ itu ialah sosok Messi. Gol cantik pasti tercipta. Sssst, lepas dulu pengandaian itu. Ini Uruguay yang main. Bukan Argentina. Tapi, sudahlah. Mari lanjut dengan Portugal vs Uruguay di Lusail Iconic Stadium semalam.

Jelas terlihat. Di menit-menit awal, Portugal serasa leluasa kuasai bola. Walau tak ada ancaman gawang yang mendebarkan. Aura sediki berubah. Lewati menit ke 30-an itu, perlahan namun pasti, Uruguay ‘mulai perlahan panas.’ Mulai unjuk kekuatan yang patut di perhitungkan. Pepe dkk di barisan belakang nampak kerepotan. Dan harus ‘ada kerja sedikit yang.’

Saling serang mulai terbaca. Hingga ke menit 32 itu, yang seharusnya berbuah gol bagi Uruguay. Di menit 53, satu tendangan melambung Bruno Fernandez yang dibayangi lompatan Ronaldo, buahkan gol. Unggul sementaranya Portugal menghentak Urugay untuk harus bertarung sejadinya.

Sayangnya, serangan demi serangan tetap terblok. Tak ada lagi ancaman yang memang amat membahayakan Portugal. Tapi, ini memang tak berarti permainan hilang keseruannya. Tidak demikian. Masuknya Luis Soarez, sebagai pengganti, serasa kurang berpengaruh demi Uruguay. Walau ada yang berkoment, seperti ingin membangkitkan aura el clasico la lega kontra Pepe dan Ronaldo. Suarez sudah tak garang lagi.

Iya, sudahlah. Uruguay, kali ini,  harus akui kehebatan Timnas Portugal. Dua gol Bruno Fernandez memang jadi petaka. Namun, masih ada kesempatan lain untuk hancurkan Portugal. Tetapi, dari pertandingan Portugal vs Uruguay, masih ada satu hal yang ternilai ‘keistimewaan.’

‘Keistimewaan’ itu bukan pada CR 7. Bukan pada kegarangan Pepe yang biasanya cenderung main kasar ‘kuda kayu.’ Bukan pada adegan seorang suporter ‘yang tembus masuk stadion.’ Bukan pada nasib Uruguay, yang hingga pertandingan kedua di penyisihan grup itu, tak ciptakan satu gol pun. Semuanya bukan!

“Aura balas dendam.” Iya, gelora untuk kalahkan Uruguay itulah yang terhembus. Tidak kah itu strategi psikologis untuk satu tindakan balas dendam Portugal terhadap Uruguay. Rasa sakit hati dibangkitkan. Bara kemarahan ditiup-tiup.

Di empat tahun kemarin, di Piala Dunia 2018 itu, pil pahit sudah ditelan Portugal. Selecao terpental ketika itu dengan kekalahan 0 – 2 oleh Uruguay. Ronaldo dkk, tak sanggup lewati babak 16 besar. Inilah saatnya dendam Portugal harus terbayarkan. Ramai surat kabar memberitakannya.

Dalam dunia olahraga memang ada kenyataan balas dendam. Dan itu, tak hanya pada sepakbola. Banyak cabang olahraga lain juga yang bernafaskan balas dendam. Yang lebih mengerikan itu, jika ada satu pertarungan ulang pada tinju. Yang kalah atau rasa dicurangi sebelumnya, terpanggil bahwa inilah saatnya untuk “mata ganti mata dan gigi ganti gigi.”

Dunia olahraga memang sering beraroma balas dendam. Namun, tak berarti sisi kehidupan lainnya bebas bau-bau balas dendam? Tidak kah kekacauan, keributan serta rupa-rupa kekerasan telahir dari rasa tak puas. Lalu diproyekkan dalam aksi balas dendam?

Barisan Sakit Hati (BSH) adalah kelompok yang merasa terluka, tersudutkan, terkalahkan, diabaikan, serta dianggap bukan ‘right man on the right place.’ Balas dendam lahir oleh rasa tidak puas dan kemarahan yang tersimpan. Dan berikhtiar sungguh untuk membayar rasa sakit hati itu.

Selidiki saja gema miring hidup sosial-kemasyarakatan. Kekerasan yang terjadi bisa dipicu oleh gejolak balas dendam. Sekedar untuk bilang “kamu orang, kita juga orang!” Hidup kita sering tak lebih dari parade aksi dan reaksi, tesis dan antitesis, jual dan beli. Sebab katanya, “Lu jual, beta beli….

Bagaimanan pun, balas dendamnya Portugal terhadap Uruguay adalah satu ‘taktik keindahan dan bermartabat.’ “Mengalahkan yang tak menghancurkan dan merusakkan. Apalagi membunuh.” Ini tentu berbeda telak dengan gelora pahit barisan sakit hati. Yang dendamnya terus terulang dan berulang terus. Entah sampai kapan selesainya?

Hidup kita sepertinya tetap dibayang-bayangi, tak hanya oleh politik balas dendam yang lahirkan barisan sakit hati di pihak mereka. Tapi juga ditempel oleh politik balas jasa, yang ciptakan lingkaran oligarki di pihak kita.

Wah, aneh-aneh saja…

Tapi, kita jangan lupa ucapkan auguri, proficiat untuk Selecao, Portugal. Pasukan Fernando Santos itu telah masuk untuk fase berikutnya. Entahkah Ronaldo, sebagai kakak, doakan, Messi, adiknya, untuk turut juga bisa masuk ke fase itu…? Kita nantikan saja.

Verbo Dei Amorem Spiranti

Penulis, rohaniwan Katolik, tinggal di Roma

 

Pos terkait