Jokowi Inginkan KIB dan Airlangga Jadi Politik Jalan Tengah

ahmad atang2
Dr. Ahmad Atang

KUPANG KABARNTT.CO – Pesona Presiden Joko Widodo ketika menghadiri puncak perayaan HUT ke-58 Partai Golkar, 21 Oktober 2022 di JIExpo Kemayoran Jakarta masih menjadi topik diskusi publik.

Sejumlah pernyataan dan bahasa tubuh Kepala Negara di forum yang dihadiri ribuan kader Golkar seluruh Indonesia itu memantik beragam penilaian.

Bacaan Lainnya

Pengamat politik dari Universitas Muhammadyah Kupang, Dr. Ahmad Atang, menilai Jokowi mengharapkan Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum Golkar dan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) menjadi kekuatan politik jalan tengah.

“Ketika dua kekuatan rivalitas politik antara NasDem dan PDI Perjuangan itu terbangun, mesti ada yang berada di posisi tengah untuk menjembatani dua kepentingan ini. Karena rakyat jangan sampai terbelah. Makna yang tersirat dari pernyataan Jokowi itu adalah bagaimana Golkar tidak emosional, dan gegabah dalam menentukan pilihan politiknya,” sebut Dr. Ahmad Atang di Kupang, Selasa (25/10/2022).

Ia menilai, pernyataan Jokowi itu bermaksud  agar Golkar dan KIB menentukan capres berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang lebih rasional untuk kepentingan bangsa dan negara. “Maka politik jalan tengah yang dilakukan Golkar dan KIB itu mesti menjadi pilihan supaya keterbelahan publik itu bisa diwadahi oleh sebuah kekuatan politik lain,” katanya.

Atang mengatakan, relasi politik antara Golkar dan koalisinya dengan pemerintahan hari ini memiliki sebuah kesamaan semacam saling mengharapkan. “Artinya Jokowi ketika mengakhiri masa kepemimpinan di tahun 2024 tentu kondisi yang tercipta selama 10 tahun kepemimpinannya itu harus ada keberlanjutan. Kemudian Jokowi mesti meletakkan harapan ini kepada partai dan aktor-aktor politik yang diyakini mampu meneruskan apa yang sudah diletakkan selama 10 tahun itu,” katanya.

Menurut dia, menjadi menarik karena Jokowi mengatakan itu di acara besar HUT Golkar. “Kalau ini dibicarakan Jokowi di PDI Perjuangan, saya kira itu suatu hal yang biasa saja. Tetapi karena ini di Golkar berarti secara politik kita melihat dinamika setelah Nasdem mengusung Anies Baswedan ini kan sudah terbangun semacam rivalitas politik,” katanya.

Di satu sisi, kata Atang, orang melihat NasDem yang hari ini masih bagian dari kekuasaan terus dia mengambil sikap politik yang kemudian dalam tataran faksi politik sebenarnya agak berani. “Tapi faktanya sudah terjadi, berarti satu kekuatan sudah berdiri dan akan muncul kekuatan lain yang saling berhadapan. Sehingga ini ada semacam rivalitas politik yang sudah mulai terbangun antara kekuatan Nasdem dalam tanda petik, bisa juga dengan kekuatan politik PDIP yang sedang dibangun itu,” jelasnya.

Atang menyebut, lantaran kondisi rivalitas itu maka Jokowi memberi harapan besar kepada Golkar. “Salah satunya adalah dia tidak gegabah dan tidak sembrono dalam menentukan capres,” katanya.

Ia mengatakan, mestinya dalam Pilpres 2024 nanti ada tiga paket calon. “Kalau kita biarkan dua paket saja maka rivalitasnya akan sangat terbelah, itu isyarat yang pertama. Isyarat yang kedua, setidaknya Golkar dan KIB itu tidak kemudian mengambil posisi untuk mengikuti politik mainstream. Artinya dia mesti punya patokan, sepanjang dia punya figur dan punya modal politik. Kan dia tidak mungkin melebur pada koalisi-koalisi yang sudah terbentuk,” ujarnya.

Atang menegaskan Golkar mesti berdiri dengan kekuatan figur sendiri karena mempunyai modal politik. Golkar sebagai partai besar yang kalau dikalkulasikan sebenarnya di atas 20% lebih. “Ini yang mesti dikelola sebagai sebuah kekuatan politik. Tidak harus merapat ke koalisi-koalisi lain kemudian KIB menjadi hilang,” ujarnya.

Disebutkannya, jika dilihat soal orientasi pembangungan ke depan, suka atau tidak suka ekonomi menjadi lokomotif pembangunan. “Bicara soal ekonomi, kita tidak bicara soal kemampuan sebuah negara, tapi kita bicara interaksi ekonomi global. Jadi, ekonomi global itu membutuhkan figur yang memiliki kepiawaian di dalam membangun lobi-lobi politik untuk kepentingan ekonomi. Inikan bukan soal siapa yang berkuasa tetapi siapa yang terbiasa,” katanya.

Dikatakan Stang, melihat kondisi saat ini yang mengendalikan ekonomi selama 5 tahun di bawah kepemimpinan Jokowi itu adalah Ketua Umum Golkar, Airlangga Hartato, sebagai Menko Perekonomian. “Itu artinya dia paham betul soal bagaimana memobilisasi sumber daya alam dalam negeri dan bagaimana dia kemudian membangun relasi ekonomi dengan negara-negara donatur, dan negara-negara maju,” sebutnya.

Menurutya, pendekatan-pendekatan ekonomi hari ini bukan hanya soal bagaimana profit, tetapi soal humanistis. “Hubungan kemanusiaan ini kan sebenarnya lebih menentukan bagaimana transaksi ekonomi untuk kepentingan sebuah negara. Jadi saya kira apa yang disampaikan oleh Pak Jokowi itu sebetulnya menunjukkan bahwa Airlangga Hartarto itu memiliki kemampuan untuk membangun kerja sama ekonomi dengan negara-negara maju maupun dengan lembaga-lembaga keuangan dunia,” paparnya.

Disebutkan Atang, relasi ini sudah dibangun selama 5 tahun ketika Airlangga menjadi Menko Perekonomian. “Saya kira ini yang membuat kenapa Jokowi begitu nyaman di tengah ketepurukan bangsa soal covid tapi ekonomi kita tidak terpuruk. Ini soal kepiawaian Pak Airlangga untuk mengendalikan ekonomi, menciptakan pertumbuhan dan seterusnya,” ujarnya.

Menurut Atang, kalau orientasi pembangunan ekonomi ke depan itu menjadi lebih kuat, maka memang ekonom lebih penting untuk memimpin bangsa ini. Dan, ekonom sekaligus politisi sehingga dia bisa menjembatani kepentingan politik dan ekonomi. Sebab, kalau hanya sekadar ekonom teknokrat itu artinya dia hanya bisa melihat ekonomi sebagai sebuah model pembangunan.

“Saya sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Pak Jokowi bahwa warning tidak sembrono itu mungkin istilah menurut saya cenderung menekan tapi juga tidak lama-lama karena memang poitik ini kan soal momentum. Di mana kita berkejaran dengan waktu, maka setidaknya figur yang kemudian nanti menjadi nominasi oleh KIB itu harus dimunculkan lebih awal,” katanya.

Pasalnya, menurut dia, figur yang didominasi oleh KIB itu bisa memiliki waktu yang panjang untuk membangun relasi politik, menciptakan infrastruktur politik ke depan.

Dengan munculnya figur yang ditentukan lebih awal, paling tidak publik kemudian mempunyai semacam referensi politik dari berbagai figur yang sudah pasti maju.

“Bayangkan NasDem yang hanya satu partai, dari sisi syarat belum terpenuhi, tapi dia sudah berani mendeklarasikan Anies Baswedan. Sementara  Golkar dengan KIB dari sisi persyaratan itu sudah terpenuhi, tapi kenapa dia masih mengulur-ulur waktu? Jangan sampai terjadi kejenuhan publik. Jadi saya kira dia mesti menjaga psikologi publik dengan segera menentukan dan supaya publik jangan jenuh menunggu kapan KIB menentukan pilihan politiknya,” sebut Ahmad.

Atang mengatakan, Golkar adalah partai dengan posisi 3 besar. “Jadi kalau hari ini bicara siapa yang layak, ukuran layak pertama adalah Airlangga Hartarto. Karena  dia mempunyai modal politik, dia ketua partai dan Golkar masuk 3 besar di level penerimaan publik,” ujar Atang. (*/den)

Pos terkait