RUTENG KABARNTT.CO—Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Mabes Polri, Irjen. Pol. Drs. Johanis Asadoma, S.I.K., M.Hum., memberi kuliah umum di Universitas Katolik Indonesia (Unika) Santu Paulus, Ruteng, Kamis (21/4/2022)
Kuliah umum bertema tersebut dengan “Membangun Moderasi Beragama di Tengah Tantangan Keamanan Lokal, Nasional dan Global” ini dilaksanakan secara luring dan daring, Secara luring dilaksanakan di Aula Lantai V GUT Unika Santu Paulus Ruteng. Sementara secara daring menggunakan platform zoom meeting.
Sebelumnya, Asadoma dan rombongan diterima langsung oleh Ketua Yayasan Santu Paulus Ruteng, Rm. Roling Mujur, Rektor Unika Santu Paulus Ruteng Prof. Dr. Yohanes Servatius Lon, M.A., dan wakil para wakil Rektor.
Dalam sambutannya, Prof. Dr. Yohanes Servatius Lon, M.A., menyampaikan ucapan selamat datang, disertai terima kasih Irjen Pol Johni Asadoma dan rombongan atas kesediaannya memberi kuliah umum di kampus yang sudah terakreditasi B tersebut.
“Keluarga besar Unika Santu Paulus Ruteng mengucapkan selamat datang kepada Bapak Irjen. Pol. Drs. Johni Asadoma, S.I.K., M.Hum., dan rombongan. Kehadiran Bapak Kadiv Hubinter RI yang tentunya sangat strategis untuk kehidupan berbangsa dan bernegara,” ungkap Prof Jhon.
Guru Besar bidang ilmu religi dan budaya ini menyatakan, bangsa ini masih memiliki tanggung jawab dan beban sejarah dalam merajut keberagaman yang telah disepakati para founding fathers.
Menurut Prof. Jhon, munculnya sikap intoleran, radikalisme dan ekslusivisme sesungguhnya telah membuat kehidupan bersama sebagai bangsa dan negara tidak nyaman, tidak kompak dan bahkan diwarnai oleh sikap kecurigaan, kecemburuan dan kebencian.
“Sikap fanatisme agama yang sangat tertutup dan berlebihan sesungguhnya telah menodai perjalanan kita sebagai satu bangsa, satu tanah tanah air. Praktek intoleransi dan radikalisme susungguhnya dapat merendahkan martabat agama itu siendiri” ungkapnya.
Dalam banyak kasus, kata Prof. Jhon, munculnya sikap intoleran dan radikalisme terjadi karena adanya informasi yang tidak memadai, sesat, dan tidak benar sehingga menghasilkan persepsi dan wawasan keliru tentang negara dan agama serta tentang keberagaman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sementara Johni Asadoma dalam materinya mengungkapkan, munculnya istilah moderasi beragama pada beberapa tahun belakang ini disebabkan karena muncul kembali paham radikalisme yang dapat menyebabkan konflik antarumat beraga di Indonesia.
“Radikalisme adalah paham keagamaan yang mengacu pada fondasi agama yang sangat mendasar dengan fanatisme yang tinggi dan seringkali menggunakan cara-cara kekerasan,” ungkapnya.
Menurutnya, apabila paham radikal ini dibiarkan berkembang, maka akan membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa bahkan dapat meruntuhkan NKRI.
Oleh karena itu, mantan Wakapolda NTT ini mengatakan perlu dilakukan langkah-langkah preventif agar tidak merugikan bangsa dan negara melalui moderasi beragama.
Lebih lanjut Asadoma menjelaskan jenis–jenis konflik agama, yaitu (1) konflik moral berkaitan dengan ketidaksesuaian antara nilai-nilai pribadi dan ajaran agama; (2) konflik sektarian yang dikenal juga sebagai konflik intra agama. Konflik terkait isu sektarian yang muncul karena adanya pemahaman yang berbeda antarkelompok dalam satu agama yang sama; (3) konflik komunal, dikenal juga sebagai konflik antaragama, yaitu konflik yang melibatkan dua atau lebih kelompok dari agama yang berbeda.
Jenis konflik agama selanjutnya yakni (4) konflik politik/kebijakan. Konflik yang timbul sebagai akibat penolakan oleh individu atau kelompok terhadap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah; (5) konflik terorisme, seperti perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror/rasa takut secara meluas dan berakibat menimbulkan korban yang bersifat masal, kerusakan fasilitas publik, obyek vital yang bersifat strategis dan sebagainya dengan motif ideologi, politik atau gangguan keamanan.
Penting Bagi Indonesia
“Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, multikultural, multireligion, multiethnic. Karena itu dibutuhkan paham keagamaan yang moderat. Moderat diinternalisasikan melalui moderasi beragama. Moderasi beragama adalah sikap atau cara pandang perilaku beragama yang moderat, toleran, menghargai perbedaaan, dan selalu mengutamakan kepentingan bersama,” ungkap Asadoma.
Menurutnya, agama harus diterjemahkan sebagai basis yang merefleksikan kesejukan perdamaian, keharmonisan, dan menghindari konflik. Maka untuk mencapai basis ini diperlukan moderasi beragama.
Mantan Danyon Brimob Bogor Polda Jabar (2002—2003) ini menyebutkan empat indikator moderasi beragama, yaitu komitmen kebangsaan; toleransi, anti kekerasan, dan akomodatif terhadap kebudayaan lokal;
Bukan Moderasi Ajaran
Asadoma mengutip pandangan Prof. Komaruddin Hidayat, bahwa moderasi beragama muncul karena adanya dua kutub ekstrem kanan yang terpaku pada teks dan mengabaikan konteks, sedangkan ekstrem kiri mengabaikan teks.
“Moderasi beragama berada di antara keduanya, yakni menghargai teks dan mendialogkannya dengan realitas kekinian,” jelas Asadoma.
Lebih lanjut, dengan bereferensi pada gagasan Drs. Lukman Hakim Syaifuddin, Asadoma secara tegas mengatakan, yang dimoderasi adalah cara kita beragama bukan ajaran agamanya.
Oleh karena itu Asadoma menyebutkan model-model yang perlu dikembangkan, yakni internalisasi nilai-nilai dasar Pancasila; internalisasi sikap toleran; pemberdayaan forum komunikasi umat beragama sebagai wadah dialog antar umat beragama.
Selain itu, lanjut Asadoma, diperlukan kurikulum pendidikan berbasis kebangsaan dan nasionalisme; membangun wawasan internasional (membangun kesadaran bahwa suatu negara tidak dapat hidup sendiri tanpa membangun kerja sama internasional dengan negara lain); menggiatkan kampanye wawasan kebangsaan baik oleh pemerintah maupun organisasi kemasyarakatan.
Kuliah umum yang berlangsung jam 08.00-12.00 ini dilaksanakan dengan tetap menerapkan protokol kesehatan. Sebelum memasuki rungan kegiatan, semua peserta wajib mengecek suhu tubuh dan menggunakan hand sanitizer yang telah disediakan oleh panitia.(adi)