Oleh P. Kons Beo, SVD
Teringat satu kisah singkat. Sederhana. Di sekitar akhir tahun 90-an. Saat itu John Prior ada di Roma. Hadiri sidang di Vatikan. Seputar Misi dan Budaya. Maklum, John adalah salah seorang penasihat Paus tentang kebudayaan. Mungkin hanya sedikit orang yang tahu tentang tugas mulianya ini.
John pasti tidak peduli apa banyak orang tahu atau tidak. Sebab ia memang tak suka gembar-gembor sana-sini. Sekadar bikin tenar. Bahwa ada tugas dan jabatan yang terkonek dengan Vatikan!
Oh iya, mari kita lanjut. Di suatu pagi, saat hendak ke tempat meeting di Vatikan, ketika keluar dari kamar, John terkejut. Kami berpapasan di lorong Collegio, Jenderalat SVD. Raut wajahnya agak terkejut. “Hae, ini Beo to? Kau buat apa di sini?”
John tetap usil untuk tanya yang model begini. “Pasti kau belum lulus, her banyak di Ledalero,” lanjut John. John tetap lanjut dengan banyak tanya. Suaranya khas. Terdengar kuasai koridor collegio.
Saya juga sempat terkejut! Tapi sedikit senyum. Nyaris pica ketawa juga. John telak menebak gesture saya. “He, Beo! Aku mbeò (tahu: bahasa Lio) kenapa kau senyum.”
Ini yang akhirnya bikin saya tak bisa tahan ketawa kuat-kuat.
Ini gara-gara saya lihat John pagi itu “pake baju kolar. Dengan jas. Sepatu itam mengkilat.” Gagah dan rapih. Juga sambil tenteng tas kulit yang tampaknya baru. Saya juga punya feeling. John sengaja tanya saya sana sini. Hanya untuk membunuh konsen saya pada kerapihannya.
Mujur-mujur saya bisa lihat seorang John Prior tampil seglamour bernuansa klerikal. Puluhan tahun lalu, di Ledalero, sebagai muridnya, teramat jarang bahkan tidak pernah terlihat John dengan ciri pakaian klerikal seperti itu.
Saya hanya bilang, “Wah, Bapak Uskup Anglikan mau bertemu Pauskah?” John hanya senyum kecut. Dan ia hanya bilang “Beo, kau kurag ajar, betul.” John terlihat bersikap kaku dengan ‘pakaian berciri klerus itu.’ Saya dengan bakat koment tetap serang-serang ringan, “Tuan pasti takut dicegat pengawal Swiss untuk masuk Vatikan. Makanya, tampil gagah.”
Saya pun masih lanjut, “Pemandangan langkah ini mesti diberitakan di BPE.” BPE itu “Berita Provinsi Ende.” Isinya seputar informasi keadaan Provinsi SVD Ende.
Dengar celotehan itu, John cuma tertawa saja. Tetapi, salah tingkah, itu tadi, tetap tak ia kuasai.
Bila berkisah tentang John Prior, ada banyak isi yang rasanya tak termuat dalam forma baku. Sebab John harus ditangkap dengan pikiran cerdas. Dan itu yang ia inginkan. Hanya membeo pada satu dua pikiran kaku dan baku, itu bukan karakternya. Bukannya ia anti yang dogmatis. Tetapi bahwa, ‘pikiran kita itu harus nakal untuk bertanya dan mengkritisi.’
Saya jadinya merenung serius. John Prior punya kebiasaan untuk pasang titik-titik api. Maksudnya jelas. Agar ruang kuliah atau tempat pertemuan itu ‘jadi kebakaran.’ Bila hanya sebatas ‘berasap’ maka yakinlah John Prior pasti akan bersuara bagai ‘siram-siram bensin’ untuk bikin tambah ‘bernyala.’ Ini benar-benar ciri dosen yang mengobok-obok apa pun yang ‘ditabernakelkan’ dalam otak. Tampaknya John sedikit alergi dengan ‘yang mapan-mapan, yang terikat, yang nyaman.’
Jelas, pikirannya kritis. Pisau analisisnya tajam. Munculkan konklusi yang sering tak terduga. Mengagetkan. Namun mencerahkan. John punya pengetahuan amat luas. Tak terbantahkan bahwa ia tekun bersahabat dengan buku-buku. Dua puluh empat jam kesehariannya dapat dipecah-pecahkan amat luar biasa. Ada John Prior yang mengajar, beri seminar, bimbing skripsi, beri retret. Ada John yang juga setia layani umat. John selalu punya waktu dengan kaum pinggiran. Ia bersahabat sejuk dengan para tahanan.
Ada hal menarik yang tetap teringat. Sebelum misa di Ledalero, John punya kebiasaan bermeditasi biblis. Dia duduk sambil kaki terlipat di bangku kapela. Ada Alkitab di pangkuannya. Bisa jadi, itulah sebabnya, kotbah-kotbahnya amat menukik dan tajam. Sebab ia telah bersahabat intim dengan Sang Firman sebelum ‘menguraikannya.’ Tentu dengan caranya yang ‘tidak menjemukan dan tidak bikin mengantuk.’
Mari kembali lagi ke pakaian colar itu. Yang ‘terpaksa ia kenakan.’ Siapa pun yang kenal dan ikuti John, pasti tahu. Ia suka sekali ‘utak-atik’ dalam auto – kritik yang tegas tentang gerak hidup kaum berjubah. Ia tak segan kuliti diri sendiri sebagai imam. Sambil tentu punya harapan agar ‘anak-anaknya’ mampu membalutnya dalam cara pandang yang baru dan segar.
Kini, John Prior, SVD asal Inggris itu telah pergi. Telah puluhan tahun ia telah jadi sosok unik dan fenomenal. Kita telah ia tinggalkan dalam segala keistimewaannya. John Prior adalah litania kata-kata yang menggelegar. Ia adalah tampilan seadanya. Yang tak repot dengan segala kegemerlapan. John adalah juga adalah ‘sikap dan tingkah yang menyerempet.’ Yang sering bikin kaum santun terganggu. Sebab ia senang jika ‘ia berhasil dalam mengusil.’
Entahkah saat ini, para konfrater di Ledalero membaringkannya dalam peti jenasah dengan ‘baju kolar, jubah dan kasula baru’? Saya sedikitnya yakin bahwa sekiranya John Prior tak mengimpikannya. Andai disuruh memilih, mungkin saja John lebih berkiblat pada pakaian sederhana seorang petani di Wolofeo. Atau meminjam baju seorang tahanan di lapas Maumere, atau malah pakaian kerja buruh kasar di Pelabuhan Maumere untuk dikenakannya. Agar pulang kembali menghadap Tuhan dan penciptanya. Seperti tampilannya di kesementaran bumi nan fana.
Salam dan hormatku untukmu John Prior, SVD (Ipswich, Inggris 1946 – Ledalero 2022).
Verbo Dei Amorem Spiranti.
Penulis, rohaniwan Katolik, tinggal di Collegio San Pietro, Roma