Oleh P. Kons Beo, SVD
“Pengecut tidak akan mampu mengungkapkan cinta dan kasih sayang; kasih sayang itu hanya dinyatakan oleh orang-orang yang berani” (Mahatma Gandhi, pemimpin spiritual dan politikus India, 1869 – 1948)
Kasih Sayang itu Segalanya dan Semuanya
Riak-riak jelang Valentine Day memang sudah diduga. Sepertinya tak terhindarkan. Hari Kasih Sayang, 14 Februari, nyata-nyata sudah diobok-obok. Adakah yang aneh dan salah dari sebuah selebrasi akan berkasih sayang? Mengapakah tak nyaman bahwa Kasih Sayang sepantasnya dirayakan dan diungkapkan?
Alam semesta dan makhluk hidup sejagat tak pernah hidup tanpa Kasih Sayang! Itulah prinsip dasar dan utama dari kehidupan kosmik. Dan manusia termasuk di dalamnya. Tak peduli apa pun asal, ras, suku, jabatan, status sosial, atau berbagai keadaan hidup seseorang. Entah di titik saleh, suci, beriman, bermoral, halal, bening, bersih, maupun kafir, najis, nista, tak senonoh, bejat, kriminal, Kasih Sayang tetaplah primat agung yang merangkum dan memenangkan semuanya!
Kasih Sayang yang Tak Pernah Pudar
Dalam spirit kekristenan, kasih adalah actus principalis, tindakan utama dari Allah sendiri. Allah menciptakan semesta dan merangkul segalanya dalam KasihNya. Tak terbendung dan tak bersyarat. Dari situ, manusia yang sungguh dikasihi itu memancarkan Kasih Allah dalam penziarahan dan dalam perjumpaan dengan sesamanya.
Kasih itu merangkul. Ia merekatkan, mempersekutukan dan membebaskan. Kasih selalu membawa harapan bahwa siapa pun berhak jalani hidup, dan menghayati hidup itu dengan penuh kebebasan dan sukacita. Saat kita memiliki spirit kasih, maka kehadiran kita, kapan dan di mana saja, akan kibarkan aura sejuk nan teduh.
Di situlah, sesama merasa nyaman dan tak terancam di hati. Karena kasih, maka sesama dapat hadir secara spontan. Tanpa was-was penuh wasangka. Tanpa terlalu waspada penuh hati-hati dalam ungkapan diri. Hanya karena ketakutan akan ‘sepasang mata elang yang selalu mengendap untuk mencabik.’
Apa Artinya Kasih Sayang bila Tanpa Kenyataan?
Segala teori – orthodoksi kasih sayang mudah dirumuskan. Gampang dibahasakan dalam sususan kata-kata tertata indah nan gemulai. Dan lagi, tentang kasih, siapapun dapat tampil bagai pujangga cinta. Yang panahkan kata-kata asmara merah membara. Menuju hati siapapun agar terjaring dalam getaran kisah kasih nan berbunga-bunga.
Tetapi, kita pasti segera sadar bahwa kasih sayang itu hidup. Ia terbaca dalam sikap. Ia nyata dalam sikap batin yang tersembul dalam perbuatan lahir. Kita pasti ingat Charles Hutagalung, si vokalis The Mercys, yang berlantun “Semua bisa bilang sayang, semua bisa bilang! Apalah artinya sayang, tanpa kenyataan….”
Di Hari Kasih Sayang (Valentine Day) perbagai ungkapan tanda kasih sayang ditampakkan. Dan siapa pun proklamasikan dirinya berada dalam ‘kedaulatan kasih sayang.’ Sekuntum kembang harum semerbak pun bisa jadi lambang kesegaran dan keharuman kasih sayang. Untuk diteruskan kepada yang patut dikasihi. Dan lalu menyebarlah keharumannya ke pelosok dunia.
Kasih Sayang Meruntuhkan yang Silam dan Usang
Kasih sayang, rasa cinta, telah meruntuhkan dinding-dinding kokoh ingat diri. Ia pun tenggelamkan rasa ketidakpedulian akan nasib miris sesama. Kasih sayang menjadi simbol perlawanan tak berakhir menantang pedang dan tombak kekerasan. Kasih sayang itu mempertemukan bangsa manusia, bahwa sejatinya ‘kita semua adalah warga planet bumi yang berharkat dan bermartabat.’
Pada Hari Kasih Sayang keyakinan kita semakin menebal bahwa ‘kita tak pernah boleh merasa superior-elitis opresif untuk menindas sesama; dan sesama pun bukanlah kaum di titik rendah untuk terus digilas tindas.’ Hari Kasih Sayang adalah momentum kemerdekaan segenap bangsa manusia. Iya, merdeka dari cara dan isi berpikir; merdeka dari sikap dan perilaku yang menatap sesama hanya sebagai obyek yang mesti dikorbankan.
Di Hari Kasih Sayang siapapun kembali dikuatkan untuk saling menyapa sebagai “kau saudaraku, kau sahabatku. Tiada yang dapat memisahkan kita.’’ Kita memang harus belajar untuk ‘meminjam dan memakai biji mata Allah’ agar dapat menatap semesta luas dalam kesejukan dan damai. Untuk melihat berbagai perbedaan sebagai warna-warni mozaik indah dari isi kehidupan ini.
Kasih Sayang tak pernah boleh pergi. Dan memang, ia tak bakal senyap untuk mencari dan menerobos masuk dalam pancaindra yang segar dan terbuka. Semuanya agar cinta, kebenaran, keadilan, kelemahlembutan, kedamaian, kesetiaan, pengorbanan dan pengampuan sungguh menjadi ‘lilin-lilin bersinar’ dalam arus kehidupan yang semakin melemah dan meredup!
“Yakinlah Ustad Somad, Kasih Sayang Bukanlah Virus Maut”
Ustad Abdul Somad (UAS) lagi tegas meradang soal perayaan Hari Kasih Sayang. Pengetahuannya, sayangnya, masih terkotak hanya pada satu selebrasi pagan. Bila dimesti ditafsir, Hari Kasih Sayang di kepalanya hanyalah sebatas erotisme kasar yang terekspresi secara vulgar. Tak sopan dan sembrono. Begitu bebas untuk satu eksibisi aurat tak terkendali. Di situ, momentum Kasih Sayang nan sakral tak ubah bagai sebuah ladang bebas hambatan untuk bermesum ria.
Entah lantaran apakah UAS mesti tega mendakwah hari Kasih Sayang sebagai “Hari Zina Internasional” (sumbar.suara.co.11.02.2022). Kasih Sayang, menurut si Doktor summa cum laude ini, sepertinya direduksi hanya pada ekspansi genitalitas yang indisipliner. Dan hotel-hotel pun sudah dituduh “memasang harga promo, malam cinta setengah harga plus sarapan pagi…”
Mungkinkah UAS sebenarnya lagi galau bahwa kedaulatan Kasih Sayang lagi ‘menghakimi siapa pun, termasuk UAS’ sendiri yang (pernah) retak dan pecah dalam relasi Kasih Sayang dengan orang-orang terdekatnya yang patut dikasihinya?
Hari Kasih Sayang, sejatinya, adalah prasasti mulia penuh kenangan bahwa kita semua pernah ‘retak, layu dan bahkan kering’ dalam cinta, kesetiaan dan pengorbanan! Tetapi kini, kita semua, oleh pijar Kasih Sayang itu sendiri, dipanggil pulang untuk dipeluk oleh tangan Kasih Tuhan yang mahapengasih dan mahapenyayang. Tuhan yang panjang sabar dan penuh kasih setia.
Maka sepantasnya di Hari Kasih Sayang ini, ucapan Happy Valentine penuh tulus dialamatkan pula pada Ustad Abdul Somad. UAS tetaplah sebagai saudara sebangsa-setanah air yang patut dikasihi. Biarlah bersama kita berdendang dari sepotong kata dari lirik Nyanyian Cinta Satu Ketika milik Bang Ebiet G Ade:
Pegang erat tanganku
Dan jangan lepaskan
Ikatkan benang Kasih Sayang.
Nampaknya mendung segera lewat
Matahari bersinar
Semuanya telah dirancang
Untuk menyambut kita
Tersenyumlah, mari tersenyum
Hari ini milik kita…”
Akhirnya…
Sungguh! “Hari ini milik kita.” Di hari Kasih Sayang ini kita memang mesti berharap dan terus berjuang untuk kembali tersenyum dan kembalikan rasa damai di segenap penjuru negeri ini. Kembali tersenyum di dalam hidup kebertetanggaan kita, dalam hidup bersama kita, dan terutama kembali tersenyum dalam keluarga kita sendiri.
Bagaimana pun, Bang Ebiet tetap ingatkan kita semua akan dua penggalan seruan kunci: “Semua duka kita tinggal” dan bahwa “sejarah usang kita buang.” Sekiranya itulah syarat agar Cinta dan Kasih Sayang tak boleh pergi dari rumah hati kita sendiri. Walau apa pun yang terjadi! Iya, walau “hanya titik air mata dan senyum kehancuran….” Toh, Kasih Sayang tetap memenangkan kita semua.
Bukan kah demikian? Yakinlah!
Collegio San Pietro, Roma
Penulis, rohaniwan Katolik, tinggal di Roma