Etika Aristoteles dalam Era Internet

Oleh Frano Kleden

Zaman dahulu komunikasi dilakukan sambil berhadapan secara langsung atau melalui media yang ada. Ini pun harus melalui berbagai tahap.

Misalkan surat. Dulu, setelah menulis surat, kita harus membungkusnya dalam amplop, menempelkan perangko, lalu pergi ke kantor pos untuk mengirimkannya.

Sekarang, hal ini tidak perlu lagi. Kita tinggal menekan tombol dan semua selesai. Kini apa saja bisa didigitalisasikan.

Semua aktivitas, percakapan, peristiwa, lagu bahkan isi tubuh manusia bisa direkam dan diuraikan dalam bentuk elektronik untuk disimpan atau dikirimkan ke mana saja dengan mudah dan cepat.

Inilah zaman teknologi digital, sebuah era teknologi yang sungguh menakjubkan sekaligus menyuramkan.

Pedang Bermata Dua

Almarhum Paus Yohanes Paulus II pernah menyampaikan ungkapan penuh nuansa optimistik: Duc in Altum (Bertolaklah ke tempat yang lebih dalam).

Dengan amanat ini, beliau mendorong kita  agar mau akrab dengan alat komunikasi modern. Kita diharapkan untuk memanfaatkan temuan-temuan baru dalam bidang teknologi, informasi dan komunikasi agar dapat memperoleh hasil baik.

Patung perunggu Aristoteles

Belum sempat kita mengunyah sepenuhnya anjuran Duc in Altum itu, kini kita sudah diperingatkan akan bahaya yang ditimbulkan dari sarana-sarana komunikasi.

Sebut saja internet, sebuah alat komunikasi yang tidak lagi asing dan jauh dari kebanyakan umat, produk yang sangat massal disembah-sembah.

Internet telah memberikan dampak yang  sangat luas dan mendalam bagi seluruh masyarakat. Oleh karena internet sangat berpengaruh luas, maka kita perlu mengingat bahwa alat komunikasi ini dapat menjadi ‘tantangan’ serentak pula ‘peluang’ yang sebaiknya tidak melulu dikutuk.

Mau tidak mau zaman kita sudah berubah. Kemajuan dunia teknologi khususnya internet sungguh mencengangkan kita. Kehadirannya telah menyerbu banyak orang.

Internet bagaikan pedang bermata dua: memiliki dua efek sekaligus yakni efek positif dan negatif. Kedua sisi ini tidak dapat diabaikan.

Di satu sisi, internet dapat membantu meningkatkan kesejahteraan manusia dalam berbagai bidang. Orang yang menyukai dunia seni, jika diberi internet maka ia akan semakin kreatif. Begitupun orang yang suka belajar dan pandai, jika diberi internet maka ia akan semakin pandai.

Di sisi lain, dampaknya juga sangat dahsyat. Jika ada orang jahat yang ingin menghancurkan suatu daerah atau kawasan tertentu, dengan internet hal itu bisa terwujud.

Internet juga membuat orang pasif, konsumtif melahap apa saja yang disajikan, malas mengolah realita hidup yang lain, tidak bergairah lagi membaca serta enggan berkumpul untuk bertukar pikiran.

Etika Aristoteles dalam Era Internet

Manusia hanya disebut ‘bahagia’ jika ia menjalankan aktivitasnya dengan baik. Atau seperti dirumuskan oleh seorang filsuf Yunani kuno, Aristoteles, dalam karyanya tentang Etika, “supaya manusia bahagia, ia harus menjalankan aktivitasnya ‘menurut keutamaan’.”

Menurutnya, untuk mendapat kebahagiaan (eudaimonia), setiap manusia harus dapat menyeimbangkan rasio sendiri (keutamaan intelektual) dengan watak, perasaan-perasaan, nafsu-nafsu (keutamaan moral). Kebahagiaan tidak dapat disamakan dengan kesenangan (pleasure), sebab segala bentuk kesenangan belum tentu membawa manusia kepada kebahagiaan.

Menurutnya, kebahagiaan bukanlah sebuah deskripsi tentang perasaan, melainkan lebih berarti pada model kehidupan yang baik untuk dihidupi.

Berkenaan dengan internet dan berdasarkan karya ‘Etika Aristoteles’ di atas, saya merasa perlu menggarisbawahi ‘dua keutamaan’ tersebut.

Pertama, keutamaan intelektual. Etika memang bersifat universal terutama bila ia dipahami sebagai dasar pencarian hidup yang baik dan benar. Namun, dalam praktik dan operasionalnya, etika bisa menjadi sangat situasional.

Artinya, ia berbeda dan bervariasi dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu kebudayaan ke kebudayaan yang lain. Apa yang dianggap tidak bermoral di sebuah negara konservatif di Timur Tengah mungkin dianggap ‘biasa dan normal’ oleh masyarakat negara-negara liberal, seperti Amerika Serikat.

Oleh sebab itu, adalah hal yang baik dan benar apabila kita berani menggunakan internet. Untuk keluar dari lingkaran sempit, kita sebaiknya didorong agar melihat dunia yang lebih luas, sebab akan menjadi lebih sempit dan tertutup bila kita tidak berani mencoba hal baru.

Untuk itu, kita harus terlebih dahulu melepaskan diri dari jerat perdebatan ‘apa yang boleh dan apa yang tidak boleh’. Komunikasi membuka peluang kita untuk ‘kreatif’.

Dengan demikian, kita akan kagum akan pengetahuan (intelektual) dan dunia serta hidup yang begitu kaya. Hanya ketika semua berdecak kagum, Duc in Altum yang pernah didengungkan Gereja terwujud.

Kedua, keutamaan moral. Perkembangan alat komunikasi (internet) semestinya menjadi tamu yang harus disambut baik dan harus siap dihadapi. Namun, kita harus sadar bahwa internet hanyalah ‘sarana’ bukan tujuan.

Berkomunikasi dengan sesama berarti berkomunikasi antarmanusia, bukan terutama dengan media meski media itu dibutuhkan dan amat diperlukan dalam berkomunikasi. Kita perlu mengutamakan nilai-nilai etis sehingga tahu batas-batas pemanfaatan media.

Selain itu, pendidikan dan penanaman niilai-nilai moral dan etika tetaplah menjadi tanggung jawab kita, baik secara pribadi maupun kolektif. Internet sudah ada, tinggal bagaimana kita terlebih dahulu mendidik manusia-manusia agar dapat ‘melompat’ dengan tepat ke persoalan memanfaatkan media (internet).

Kesadaran berhati nurani dalam menggunakan internet dengan sendirinya akan menunjukkan kualitas diri kita sebagai makhluk berintelektual. Maka, benar apa yang dikatakan Aristoteles, kita akan disebut ‘bahagia’ karena berhasil memperoleh ‘dua keutamaan’ itu.

Penulis, alumnus STFK Ledalero, Maumere, Flores

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *