(Refleksi Hari Lahir Pancasila 1 Juni)
Oleh: Agustinus Siswani Iri
Presiden Joko Widodo dijadwalkan memimpin upacara Hari Lahir Pancasila di Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT), Rabu (1/6/2022). Kepala negara memilih memimpin upacara hari lahirnya Pancasila di Ende pasti mempunyai latar belakang historis. Latar belakang historis ini berkaitan dengan sosok pahlawan bangsa dan sang proklmator yakni Sukarno yang pernah menjadi tahanan penjajah di Ende.
Sukarno berlayar mengunakan kapal Van Riebek selama delapan hari dari Surabaya menuju Ende. Kapal ini membawa Sukarno dan keluarganya, membuang sauh di Pelabuhan Ende pada tanggal 14 Januari 1934. Dengan dikawal serdadu Belanda, Soekarno dan istrinya, Inggit Garnasih, serta ibu mertua (Ibu Amsi), dan anak angkatnya Ratna Djuami, memasuki rumah tahanan di Kampung Ambugaga, Ende.
Ketika di Ende Sukarno memanfaatkan sebagian waktu pembuangannya untuk melakukan perenungan mendalam tentang butir Pancasila yang kini menjadi dasar negara Indonesia. Untuk perenungan itu, Soekarno biasanya melakukannya setiap Jumat malam. Tempatnya dalam kegelapan di bawah kerimbunan pohon sukun, menghadap ke laut pantai Ende, berjarak sekira 700 meter dari rumah kediaman Soekarno.
Lokasi pohon itu kini di tepi Lapangan Perse Ende. Sejak dasawarsa 1980-an, pohon sukun itu berganti nama menjadi Pohon Pancasila. Ir. Soekarno merenung di bawah pohon sukun dan mengkristalkan “Lima Butir Mutiara”. Pancasila itu harga mati. Keyakinan akan kebenaran fakta itu tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Di Ende Sukarno menemukan kemajemukan agama dan suku. Selain itu Sukarno juga mencari stimulasi intelektual ke tempat lain. Setelah selesai berkebun, membaca koran dan buku, terkadang Soekarno pergi berjalan-jalan ke kompleks misi Katolik Roma di sebelah timur Kampung Ambugaga. Mula-mula Soekarno secara periodik menemui para pastor di situ dan hampir menjadi acara harian untuk bertemu dengan para pastor, berdiskusi dan membaca banyak buku-buku.
Soekarno tidak menyangka bahwa dirinya dan para pastor bisa mendapatkan topik percakapan standar intelektual yang menarik terkait dengan permasalahan kemanusiaan, ekonomi, keadilan, penjajahan dan agama. Ia bersahabat dengan pastor G. Huytink, J. Bouman, dan Bruder Lambertus. Soekarno tahu kalau sejumlah pastor itu sangat tidak setuju terhadap penjajahan. Para Pastor sangat mendukung perjuangan Soekarno mengusir pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Di Ende, Soekarno menulis dan mementaskan sekitar dua belas lakon drama. Sandiwara drama ini semuanya membangkitkan semangat membebaskan Indonesia dari belenggu penjajahan. Judulnya Rahasia Kelimutu {dua (naskah dalam satu) seri}. Tahun 1945, Nggera Ende, Amuk, Renda, Kutkuthi, Maha Iblis, Anak Haram Jadah, Dokter Setan, Aero Dinamit, Jula Gu bi, dan Siang Hai Rumbai.
Melalui Tahun 1945, Soekarno bahkan sudah membayangkan bangsa Indonesia akan terbebas dari belenggu penjajahan pada tahun 1945. Melalui sandiwara yang sama, Soekarno bahkan sudah memperkirakan kemerdekaan itu akan direbut dari penjajah Jepang.
Pementasan sering dibuka dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya, sehingga membuat gerah Pemerintah Hindia Belanda. Delapan naskah asli karya Soekarno diduga hilang. Delapan naskah itu ialah kedua naskah Rahasia Kelimutu, Renda, Jula Gubi, Kutkuthi, Anak Haram Jadah, Aero Dinamit, dan Dokter Setan. Naskah asli berupa tulisan tangan tercecer. Yang ada di situs Soekarno ialah salinan ketik dari tulisan tangan itu.
Pluralitas dan multikulturalisme masyarakat Ende memungkinkan Bung Karno memasak dan mematangkan landasan dasar masyarakat merdeka yang dicita-citakannya. Itulah blessing in disguise (hikmah di balik musibah) pembuangan Sukarno oleh Pemerintah Kolonial Belanda ke Kampung Ambugaga, Ende, di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), sejak tanggal 14 Januari 1934 hingga tanggal 18 Oktober 1938.
Nilai pluralitas dan multikulturalisme inilah yang diyakini mengilhami Sukarno dalam menggali “Lima Butir Mutiara” Pancasila. Sukarno pun menegaskan bahwa nilai “Lima Butir Mutiara” murni diambil dari dalam bumi Indonesia. Ende menjadi awal dan miniature Pancasila untuk Indonesia. Nilai Pancasila itu tidak datang dari pemikiran asing. Nilai itu datang dari gambaran kehidupan keseharian masyarakat Indonesia. Nilai itu dari masyarakat yang berbeda agama, berbeda suku, berbeda tingkat kehidupan ekonomi, tetapi bersatu untuk kesatuan bangsa, bersatu untuk urusan nasionalisme.
Pancasila menawarkan kekayaan nilai yang luhur. Keberagaman di Indonesia harus dijaga, dipertahankan, dan dilestarikan karena menjadi modal utama dalam membangun bangsa yang lebih kuat dan makmur. Semua anak bangsa jangan menjadikan keberagaman tersebut sebagai perbedaan untuk saling membatasi, tetapi untuk saling melengkapi dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Pancasila menjawab keberagaman tersebut. Dengan menautkan perbedaan suku, ras, etnik, agama, budaya dan geografis dalam satu titik temu atau persetujuan untuk membangun kebhinekaan yang tertuang pada setiap sila pada Pancasila.
Hari lahirnya Pancasila pada 1 Juni ini telah memberikan nilai sejarah bangsa ini. Nilai luhur Pancasila adalah mempersatukan dan memberikan arah bagi kehidupan negara kita ini. Pancasila diciptakan dari “jiwa persatuan”. Pancasila diciptakan untuk mempersatukan jiwa rakyat ini menjadi “jiwa bangsa”, lalu menjadi “jiwa negara”
Sila pertama. Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila pertama menjelaskan keberagaman agama dimana setiap penduduk bebas memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing serta saling menghormati pilihannya. Indonesia adalah negara yang masyarakatnya sangat religius dan sekaligus majemuk.
Pidato Sukarno disampaikan pada 17 Agustus 1949 memberikan pemahaman, dan meyakinkan bahwa Pancasila itu betul-betul telah menjadi ideologi. Ia mengatakan begini, “Saya telah berkeliling Indonesia. Di Aceh, saya ketemu dengan orang Islam. Di Medan, saya ketemu dengan orang Islam dan Batak. Di Pematang Siantar, saya bertemu dengan orang Kristen. Di Jawa, saya ketemu orang Islam. Di Bali, saya ketemu dengan orang Hindu. ” Dan yang terakhir dikatakannya ialah “Saya sampai di Kiloes, bertemu dengan orang yang sebagian besarnya sudah menganut atau beragama Katolik.
Kita dapat memetik setiap ucapan Sukarno yang begitu bernas dan sesuai dengan kenyataan. Ucapan Sukarno sangat relevan. Meskipun bukan negara berdasar agama tertentu, masyarakat kita sangat lekat dengan kehidupan beragama. Nyaris tidak ada satu pun urusan sehari-hari yang tidak berkaitan dengan agama.
Nah, tugas kita adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara kebebasan beragama itu dengan komitmen kebangsaan untuk menumbuhkan cinta tanah air. Sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Sila kedua mengenai persamaan hak dan kewajiban sebagai warga negara dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Sila kedua mengandung makna bahwa bangsa Indonesia mengakui dan memperlakukan setiap individu sesuai dengan harkat dan martabatnya tanpa membeda-bedakan latar belakang, baik itu agama, suku, ras, maupun jenis kelamin.
Sila ketiga, Persatuan Indonesia. Sila ketiga merupakan rasa bangga sebagai bangsa Indonesia dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa.. Menjadi kewajiban kita sebagai warga negara untuk selalu menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Hal itu bukanlah pekerjaan mudah. Apalagi sebagai bangsa yang terdiri dari keanekaragaman dari aspek suku, latar belakang ekonomi, pendidikan, bahasa, adat istiadat, serta agama. Merawat persatuan dan kesatuan bangsa berarti harus menjaga dan mengedepankan keadilan bagi semua. Prinsip-prinsip persatuan akan tetap terjaga jika nilai-nilai keadilan dapat terwujud. Untuk mewujudkan keadilan, masyarakat yang berada di negara ini semuanya harus mendapatkan perhatian penuh tanpa terkecuali, baik dalam aspek ekonomi, sosial, hukum, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Pemimpin diharapkan menjadi matahari yang memberikan cahaya kepada semua elemen masyarakat Indonesia. Para elite bersatu, masyarakat bersatu, semuanya bersatu untuk mengawal berbagai kebijakan serta jalannya roda pemerintahan di Indonesia.
Sila keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Sila keempat ini mewajibkan kita untuk menghormati perbedaan pandangan, menerima aspirasi dan mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan serta dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Sila keempat ini mengajak kita untuk menghormati setiap perbedaan pendapat dan pikiran yang kritis bukan berpikir sinis. Berpikir kritis berbeda dengan berpikir sinis. Berpikir kritis membangun sedangkan berpikir sinis menjatuhkan. Berpikir kritis itu menyadarkan sedangkan berpikir sinis justru mengaburkan.
Sila kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.Untuk sila kelima ini kita mesti saling bekerja sama, bekerja keras dan inovatif dalam mengembangkan usaha bersama dengan semangat tolong menolong menuju kehidupan yang adil dan makmur. Semua anak bangsa harus memahami betul visi misi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila yaitu menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur.
Nilai-nilai Pancasila yang di ditemukan Sukarno ini merupakan cara pandang, sikap, dan praktik dalam kehidupan bersama, dengan cara mengejawantahkan esensinya demi melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum, berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa. *
Rohaniawan Katolik, tinggal di Bandung