KUPANG KABARNTT.CO—Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) bersama Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Emanuel Melkiades Laka Lena, menggelar kampanye percepatan penurunan stunting di Auditorium Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Senin (4/4/2022).
Turut hadir dalam kegiatan ini, Rektor Undana, Dr. drh. Maxs U. E. Sanam, M.Sc, bersama sejumlah pimpinan Undana, dekan, pegawai, dosen dan mahasiswa. Hadir pula Wakil Walikota Kupang, dr. Hermanus Man, Kepala BKKBN NTT, Marianus Mau Kuru, serta undangan lainnya.
Emanuel Melkiades Laka Lena dalam pemaparan materinya menjelaskan, sebagai salah satu bentuk komitmen untuk mempercepat penurunan stunting, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72 Tahun 2021 Tentang Percepatan Penurunan Stunting.
“Kalau kita lihat, Presiden Jokowi sudah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. Ini hal yang ditunggu-tunggu oleh kita semua. Karena sejak terpilih menjadi presiden, keinginan Jokowi untuk menurunkan angka stunting selalu terkendala oleh ego sektoral pemimpin lembaga atau organisasi. Masing-masing jalan sendiri tanpa mencoba berkoordinasi dalam penurunan stunting,” ungkap Ketua DPD I Golkar NTT ini.
Perpes tersebut, kata Melki, membantu untuk membuat sebuah perencanaan yang jauh lebih sinergis, membuat rencana aksi nasional percepatan penurunan stunting di Indonesia.
“Melalui Perpes ini, seluruh Kementerian, Lembaga di tingkat pusat, di tingkat daerah termasuk semua pemangku kepentingan sampai desa, didorong untuk mensinergikan semua program kerja, anggaran dalam rangka penurunan stunting di Indonesia, juga di NTT,” jelas Melki.
Calon Gubernur NTT ini juga menyebutkan bahwa NTT menjadi provinsi dengan persentase balita stunting tertinggi nasional yaitu 42,7 persen. Angka itu juga di atas persentase balita stunting nasional sebesar 30,8 persen.
Bahkan ia menyebutkan Kabupaten Timor Tengah Selatan menjadi daerah dengan angka stunting tertinggi di Indonesia, yaitu sebesar 48.3%.
“Jadi kita di NTT ini menyumbang 5 dari 10 kabupaten yang paling rendah atau paling buruk penanganan stunting, yaitu Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Alor, Sumba Barat Daya, dan Manggarai Timur,” beber Melki.
Untuk mempercepatan penurunan stunting di NTT, Melki berharap ada kerja sama lintas sektoral yang kuat, termasuk dari BKKBN Provinsi NTT.
Selain itu perlu ada edukasi nutrisi/gizi untuk anak dan seluruh keluarga dan perilaku hidup bersih dan sehat yang harus dijalankan oleh keluarga dan seluruh anggota masyarakat agar tercipta lingkungan yang sehat untuk tempat tinggal anak serta edukasi masyarakat tentang pentingnya mengonsumsi pangan fortifikasi (khususnya garam beryodium, minyak goreng, tepung terigu) sehingga dapat berkontribusi menurunkan angka stunting.
Sementara Kepala Perwakilan BKKBN NTT, Marianus Mau Kuru, mengatakan Presiden Joko Widodo menargetkan pada 2024 angka stunting harus turun mencapai 14 persen.
Untuk itu, kata Marianus, BKKBN sebagai Pelaksana Percepatan Penurunan Stunting Secara Nasional sudah menyiapkan beberapa desain rencana aksi untuk mempercepat penanggulangan stunting di NTT.
“Kami membuat desain melibatkan semua sektor baik pemerintah maupun non pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarkat, LSM, pergurunan tinggi, kita libatkan semua. Kami sudah tanda tangan MoU dengan Undana terkait percepatan penurunan stunting, juga dengan tokoh-tokoh lain. Hasilnya semua berkomitmen untuk Bersama-sama bekerja menurunkan stunting,” ungkap Marianus.
Maranus juga menyebutkan bahwa perguruan tinggi dan mahasiswa memiliki dua peran penting untuk mempercepat penanggulangan stunting di NTT.
“Kami memandang bahwa perguruan tinggi dan mahasiswa-mahasiswa memiliki dua peran terkait percepatan penurunan stunting. Yang pertama, perguruan tinggi sebagai sumber pengetahuan untuk melakukan kajian, penelitian untuk kami bisa dapatkan hasil kajian lebih bagus, lebih imiah tentu kami berharap itu dari perguruan tinggi. Yang kedua di perguruan tinggi ada mahasiswa, mereka sebagai sasaran darip upaya percepatan penurunan stunting terkait dengan upaya preventif atau pencegahan. Ketika melakukan kegiatan di lapangan bersama masyarkat kita harapkan betul mereka melakukan edukasi kepada masyarakat sekaligus menjadi contoh dan teladan,” jelas Marianus.
Marianus juga berharap agar perguruan tinggi terutama Undana memasukkan isu kependudukan, KB dan kesehatan reproduksi dalam kurikulum pendidikan, khususnya terkait dengan merdeka belajar dan kampus merdeka.
Marianus juga menyebutkan bahwa NTT sulit meraih bonus demografi sampai tahun 2035.
“Sesuai dengan proyeksi dari Bapenas dan BPS, NTT sampai tahun 2035 tidak mendapatkan bonus demografi. Indonesia sudah masuk bonus demorgrafi karena dependency ratio (rasio ketergantungan) sudah sampai pada 49 per 100. Tetapi NTT, dependency ratio masih 69 per 100. Syaratnya harus di bawah 50 per 100. Selain itu kualitas SDM harus bagus, memiliki pekerjaan dan memiliki pendapatan yang tinggi serta peran perempuan yang harus didorong masuk ke bursa kerja untuk meningkatkan pendapatan,” urainya.
Sedangkan Dr. Ir. Damianus Adar, M.Ec saat membawakan materi diversifikasi pangan lokal untuk penanganan stunting mengatakan, diversifikasi pangan atau modifikasi pangan lokal sangat diperlukan untuk mengurangi stunting yang saat ini masih menjadi masalah di Indonesia.
Ia menyebut, pola makanan bergizi salah satu sandarannya adalah pangan lokal. Ia mengusulkan agar ada pilot project untuk pangan lokal beberapa desa stunting di NTT.
Rektor Undana, Dr. drh. Maxs U. E. Sanam, M.Sc, dalam sambutannya mengatakan sebagai tanggung jawab sebagai insan akademik maka Undana sudah saatnya melakukan aksi rill menggunakan semua mekanisme, semua pola, semua kompetensi, kapasitas yang dimiliki untuk berkontribusi langsung dalam mengatasi persolan stunting. (igo)