(Sekadar merajut kata-kata Yesus dan kata-kata Pak Gubernur Viktor B Laiskodat)
Oleh P. Kons Beo, SVD
“Hai pemalas, berapa lagi engkau berbaring? Bilakah engkau akan bangun dari tidurmu? Tidur sebentar lagi, mengantuk sebentar lagi, melipat tangan sebentar lagi, untuk tinggal berbaring” – Maka datanglah kemiskinan kepadamu seperti seorang penyerbu….” (Amsal 6:9-11)
Mari simak Injil Matius 13:1-9. Sambil tak hendak berkeliaran sana-sini untuk tafsirkan perumpamaan itu, kita bisa saja renungkan secara tenang. Sebisanya! Intinya adalah benih itu. Itulah kekuatan dan modal utama. Itu semua, pada akhirnya harus menghasilkan. Mesti berbuah demi kehidupan yang lebih baik dan bermartabat.
Syukurlah bila benih itu jatuh di tanah yang baik. Tentu ada harapan besar bahwa akan berganda-gandalah hasilnya. Kata Yesus, “Ada yang seratus kali lipat, ada yang enam puluh kali lipat, ada yang tiga puluh kali lipat” (Mat 13:8). Tetapi sayangnya, bila benih-benih itu jatuh di tempat yang ‘tak diharapkan.’ Jatuh di tangan-tangan yang salah.
Yesus lukiskan situasi tak bergaransi dan tanpa harapan itu sebagai alam “pinggir jalan, alam bebatuan dan alam semak-semak duri.” Terlalu rawan bagi benih-benih itu untuk ‘lenyap dicotok dan ditelan oleh burung-burung liar’ jika memang ia terserak di pinggir jalan.
Ada lagi ‘alam penuh bebatuan.’ Memang ada gumpalan tanah tipis di antara bebatuan. Subur dan menghijaukan. Sayang tanamannya kurang berakar. Tak ada ‘kedalaman.’ Terlalu riskan untuk merana karena sengatan terik mentari.
Ada lagi benih-benih yang tertabur di kawasan semak-semak. Terlalu riskan untuk dihimpit oleh “kekuatiran dunia dan cobaannya,” itulah yang direnung dari kata-kata Yesus. Benih-benih itu, jadinya tidak berbuah. Tidak menghasilkan.
Di titik ini, segera teringat lagi Pastor Fritz Braun, SVD, misionaris asal Jerman, almarhum. Puluhan tahun lalu. Beliau itu punya tugas untuk urus kesejahteraan hidup (fisik) di Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero. Siapa pun yang kenal Pastor Fritz pasti ingat tesis klasiknya. Kurang lebih begini, “Allah pandang hati orang. Ya, hati baik itu sudah cukup dan bahkan berlimpah; tidak penting agamanya apa?”
Seputar “perumpamaan tentang penabur” masih terekam kata-kata Pastor Braun, SVD itu. Sekiranya yang salah dan ditegur keras itu adalah si ‘penabur.’ Bila dirumuskan bunyinya sekian, “Penabur itu mesti buka mata dan hati. Jadilah bijak! Jaga benih itu baik-baik. Jangan sampai ia tercecer jatuh di pinggir jalan atau di bebatuan. Kalau kau lihat ada semak-semak, jangan kau tabur di situ. Semuanya riskan…!”
Tentu yang dilukiskan di atas bukanlah kutipan langsung dari kata-kata Pastor Braun. Ia punya gaya berbahasa (Indonesia) amat istimewa untuk ditangkap dengan tenang. Namun, Pastor Braun itu ‘penuh masuk akalnya.’ Tetapi, kurang lebih isi dan maknanya seperti itu.
Perenungan kita pasti tak berhenti di sini. Sungguh mulia dan luar biasalah para pendengar Yesus, katakan saja para pekerja, pengusaha atau penggarap jika mereka miliki ‘transformasi mental’ dalam merawat benih-benih itu. Artinya, tak berhenti sebatas mengeluh karena area ‘pinggir jalan, bebatuan dan bersemak duri itu. Namun, tetap temukan peluang untuk bekerja keras. Repot memang kalau terlalu banyak ‘lipat tangan atau mencintai tidur panjang’ seperti yang dialarmkan oleh Kitab Amsal.
Bertarunglah agar semuanya menjadi kawasan baru penuh harapan! Yang berbatu-batu dan penuh semak bisa berubah jadi ‘kolam susu dan kawasan penuh madu, dengan ternak yang tambun-tambun pula.’
Itulah impian dan kerja keras untuk mengubah tanah yang selalu berkeluh dan diratapi menjadi ‘terra promessa’ (tanah terjanji). Janganlah sampai kalau tanamannya layu-layu, ternaknya kurus-kurus rusuk terbilang, sementara petani dan penggembalanya tambun-tambun.
Entahkah sambungan kata-kata ini pas atau tidak? Di Hotel Aston-Kupang, Senin 18 Juli, 2022, suara Pak Gubernur sungguh menantang. Satu tantangan positif bagi para pemimpin di NTT ini. “Saya tegaskan bahwa jika dipercaya jadi pemimpin, maka setiap kita harus mampu menunjukkan kinerja dalam mengelola keuangan negara.”
Miskin dan tetap miskin sungguh jadi gangguan tak mengenakkan. NTT sesungguhnya terlalu potensial untuk berubah dari apa yang disebut miskin itu. Tetapi kata-kata gubernur menyasar serius para pemimpin. Intinya, ‘benih keuangan’ plus sumber daya alam (SDA) serta kecerdasan para pemimpin bukan tak mungkin akan membawa NTT ke alam pertumbuhan ‘seratus, enam puluh atau tiga puluh kali lipat.’
Media ini, kabarntt.co, awali berita dengan kalimat menarik. “Ini peringatan kritis dan cerdas dari Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat. Menurutnya, hasil penjumlahan orang bodoh dan malas sama dengan miskin…” Benar ‘bodoh dan malas sekian akumulatif’ akan bermuara pada genangan kemiskinan.
Tetapi, NTT tak kurang dengan orang cerdas dan enerjik. Tentu ini perlu telaah yang serius. Tetapi, yang jadi soal serius adalah apakah ada kemampuan yang baik dan penuh perjuangan untuk berubah? Ini belum lagi terhitung dengan kearifan-kearifan praktis yang terabaikan.
Ambil saja satu dua contoh simpel. Selentingan kalimat terdengar, ‘Untuk segala jenis pesta, ada trik untuk penggalangan dana. Kita kelimpahan daging ‘tabuang-buang’ saat pesta. Terus untuk nutrisi protein harian? Kita kebanjiran saat musim hujan, tetapi segera jadi kering kerontang saat kemarau. Sepatutnya, entah musim hujan atau sekalipun musim kemarau, tetaplah air bersih yang tetap tersedia. Tentu ada banyak kisah-kisah penuh ironia lainnya.
Jangan-jangan kita tidak hanya sebatas “penjumlahan bodoh dan malas yang menghasilkan keadaan miskin” seperti kata Pak Gubernur Viktor. Tetapi bahwa kita mesti juga bijak dalam mendesain alur hidup ini secara luas. “Janganlah kita tenggelam ketika hujan lebat, dan janganlah pula terpaksa sampai harus mengisap darah sendiri karena kemarau nan panjang.”
Haruskah NTT tetap dikontemplasi sebagai area ‘pinggir jalan, tanah kering bebatuan, dan penuh semak durinya?’ Kata-kata Yesus sekiranya bisa dibawa ke ranah praksis dan kebijakan. Sebab kataNya, “Qui habet aures audiendi, audiat” – Mat 13:9 – (Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan!)
Verbo Dei Amorem Spiranti
Penulis, rohaniwan Katolik, tinggal di Roma