(Kita Memang Tak Pernah Luput)
Oleh : P. Kons Beo, SVD
“Kekuasaan tidak pernah boleh dipercaya tanpa adanya pengawasan”
(John Adams – 1735 – 1826, Presiden ke 2 Amerika Serikat)
Perang yang tak ada ujung?
Kita sepertinya tak alami suasana damai untuk jangka waktu lama. Kekariban timbul tenggelam. Gontok-gontokan dan segala aksi ‘baku gigit’ begitu sengit. Ribut dan saling serang merembes ke mana-mana. Segala cara mesti dipakai. Entah keji sekalipun modusnya. Itu yang terbaca jelas di hari-hari ini. Setidaknya perang kata telah jadi tanda nyata dari sebuah psywar. Bahkan menjurus tanpa beban pada penghinaan.
Kita tak pernah abis akal untuk menyerang terjang. Menabrak tanpa ampun semua yang dianggap penghalang, yang nota bene ‘bukan di payung kita.’ Tak usah berpikir tentang medan perang. Karena area seperti itu sudah ada memang.
Simaklah! Yang lagi berkuasa sudah berpikir serius tentang ‘aura perang berikutnya.’ Yang sudah emeritus dalam berkuasa merancang strategi untuk tetap ‘terhitung’ dan rasa masih punya pengaruh. Dan yang paling penting itu ‘jangan sampai diotak-atik’ dalam jeratan hukum atas segala kelam di silam. Yang belum berkuasa pun nampak mulai ber’warming up.’ Serasa telah didaulat berada di tampuk kuasa. “Bagai lurah rasa camat.”
Daya Pikat Jabatan-Kuasa
Jabatan itu sungguh berarti. Sebab dari situ terbitlah kuasa. Dan dari kuasa mengalirlah hak dan kewajiban. Tak lupa dengan segala privilesenya. Berpacu seru meraih jabatan sudah jadi lumrah. Orang tak mau repot lagi tentang bakat atau pun kualitas kepemimpinan. Yang terpenting jabatan mesti ada di tangan.
Seindah apapun visi, misi atau strategi yang digelontorkan demi tujuan mulia kepemimpinan, hasrat akan jabatan itu banyak kali tak terbendung. Sebab ia ‘punya urusannya sendiri.’ Di balik jabatan tersirat nyata kuasa dengan sekian banyak implikasinya.
Itulah sebabnya betapa (nafsu) berkuasa tetap jadi daya tarik yang tak pernah pupus. Kita masuk dalam sloganisme demokrasi total, namun tetap dalam pertarungan demi ‘satu bagian kepentingan’ belaka. Segala yang atas nama rakyat (umum), toh ujung-ujungnya berkiblat demi keuntungan parsial.
Ribut-ribut jelang Pilkada, Pilgub dan Pilpres sudah jadi normal. Nampak jadi sebuah humor yang tidak lucu bila di lapangan harus merenung hening tentang etika atau moral politik. Telah berjarak jauh bahkan senyap antara nurani demi bonum commune dan hasrat atau ambisi sepihak. Menjadi tambah runyam ketika kuasa itu harus dipintal dengan berbagai agenda senyap nan angker.
Selagi Kepentingan Belum Tercapai…
Kita selalu tak sedap rasa untuk akui hasil sebuah pertarungan. Ujungnya, kita tak pernah siap hati, entah sampai kapan, untuk dipimpin oleh ‘yang bukan kita.’ Yang disebut pesta demokrasi telah senyap aura kenikmatannya. Telah diganti dengan aksi unjuk gigi, tebar kekuatan atau tebalkan berbagai aksi yang menekan. ‘Emosi reaktif sumbu pendek’ sudah menggeser akal sehat dalam pertarungan narasi yang inspiratif.
Kubu-kubuan telah cantik bermain dan terus bermain pada dunia ‘rasa menang walau nyata-nyata kalah.’ Dalam politik, tentu benar, bahwa game is never over. Tak pernah ada pluit akhir kesudahan satu pertandingan. Sebab, de facto, di lapangan itu, pertikaian tak pernah surut. Walau (mungkin) pedih perih di hati, tetap saja kadrun, kampret, cebong, bipang serta kencing onta sudah jadi diksi-diksi pamungkas peyoratif untuk saling menegasi dan mencekik. Entah sampai kapan?
Demi kuasa, yang ditambal oleh arus penuh kegelisahan, agama pun jadi potret yang telah kerut wibawanya. Agama ibarat ‘kapal naik dok’ untuk kemudian berlayar kembali dalam ‘mesin baru’ fanatisme, identitas sempit, atau pun ragam interpretasi menyesatkan. Agama, yang telah digunduli oleh kepentingan kekuasaan, pun ibarat supermarket raksasa berjubelan manusia, yang rela mengantre ‘hanya mau membayar panjar kenikmatan di hari akhir,’ yang jelas-jelas disesatkan demi kepentingan kekuasaan itu sendiri.
Kebenaran yang Tersumbat
Tak berhenti di situ. Demi atau atas nama kebenaran jadi sulit terbaca. Sebab kebenaran telah terpasung dalam kerangka identitas, yang berujung pada regim kebenaran. Di situ, apa yang dianut, diyakini, disikapi, dipikirkan pada pihak ku itu ‘wajib benar dan itulah kebenaran.’ Dan semuanya wajib diterima dan diakui. Tentu sebagai kebenaran mutlak. Tak ada kompromi. Tiada konsensus. Nihil dialog. Tak ada tanya jawab.
“Kebenaran universal tak diakui. Yang benar adalah pihak yang gertaknya paling bising” (G. Mohamad). Bahaya kebenaran mayoritas walau ringkih sekalipun tetap bikin gaduh untuk percaya diri menggertak. Jabatan, kuasa, pangkat dan kedudukan, sejatinya, tak pernah serong in se. Yang bikin sewot dan repot adalah ‘ad intentionem’ suram di baliknya. Di situ, kebenaran dikudeta untuk turun takhta. Kebenaran telah dikebiri untuk jadi mandul dan tak produktif demi kebaikan bersama.
“Politisasi” Kegelisahan
Kegelisahan sungguh telah merampok rasa nyaman. Kekariban telah pergi. Entah sampai kapan saat kembali pulangnya? Sungguh! Harga kekuasaan teramat mahal. Itu terjadi karena tak cerdas disikapi dengan pikiran arif dan kematangan emosi.
Tak ditampik pula, pentas penuh ambisius akan kekuasaan tak ubah bagai panggung sandiwara. Tampilan penuh kebencian dengan aksi dan diksi liar di panggung, sejatinya, diarsetiki para dalang yang obok sana, obok sini dari ‘ruang bawah tanah.’ Kuasa jadinya tak hanya kasat mata ada pada tangan penguasa sah.
Tampaknya ada barisan penguasa bayangan yang bergerilya senyap. Iya, nikmati kesenyapan dalam dirinya untuk membiarkan dan menonton segala khaos yang terjadi. Nampaknya, seterusnya akan terus begini. Sebab penguasa bayangan itu tetap menyukai aksi ‘bertopeng.’ Dan ia sama sekali takut dan alergi pada seruan “buka dulu topengmu” a la si Ariel, Peterpan itu.
Akhirnya…
Sebegitu dahsyatnya jabatan dan kuasa politis itu. Di negeri ini, memang ia adalah pusat dari segalanya. Di dalam, pun dekat pada lingkaran kekuasaan tetap punya daya pikat yang dahsyat. Padahal di tempat lain, orang sibuk dengan pengembangan ekonomi, pengetahuan dan teknologi. Orang sibuk dengan pengembangan segala usaha dan bisnis.
Di negeri ini, tetap saja ada yang rela mencari dan lalu gelontorkan sekian banyak duit (modal) demi satu kuasa dan jabatan yang tak (belum) pasti. Kuasa dan jabatan memang sungguh menggelisahkan. Apalagi jabatan dan kuasa yang memang belum tiba pada kepastian. Patut disayangkan…
Tetapi, kita mesti tetap melangkah penuh harapan. Sebab, seperti yang sudah-sudah, mesti ada keyakinan pada diri sendiri, “bersaing di jalanan, bersatu di pangkalan.” Itu yang pernah terbaca di sebuah mobil travel di Kota Ruteng.
Verbo Dei Amorem Spiranti
* Penulis, rohaniwan Katolik, tinggal di Roma