Oleh P. Kons Beo, SVD
“Incredibile!” Begitu suara agak tinggi komentator stasion TV Italia, Rai1. Gol penyama kedudukan Kroatia itu pun terjadi. Petkovic, di menit 116 itu, benar-benar jadi pembunuh sukacita Neymar dkk. Gol cantik Neymar di menit 105+1 seperti terlupakan secepatnya. Fans Tim Samba senyap. Seakan tak percaya.
Terhentinya Brasil ibarat satu kendaraan kencang melaju yang ‘stop kaget.’ Sungguh bikin jantungan. Penggemarnya di seantero jagat seakan tak percaya. Tak hanya itu. Segala ramalan dan analisis sana-sini jadi tercecer. Berantakan. Iya, Brasil, yang digadang-gadang bakal jadi (salah satu) kandidat kuat Juara Piala Dunia Qatar 2022, mesti cukup sudah sampai di sini.
Brasil punya 11 tembakan ke arah gawang. 10 kali lebih banyak ketimbang Kroatia yang punya satu. Namun, Kroatia mampu melebihi, walau sedikit saja, soal ball possesion dan passing. Dan justru dari situlah, seturut saya, yang memang ‘tidak jago bola’ seperti Romo Don Jata dan Romo Anis Satu, teman kelas saya di Seminari Mataloko, Brasil itu mampu diimbangi. Satu pertandingan yang sengit. Penuh perjuangan. Ekstra-ordinari memang!
Gerak-gerik Brasil tampak telah terbaca telak. Karenanya mudah teredam. Tak terlihat lagi passing-pasing cantik ala Brasil, yang biasanya tiba-tiba sudah mengancam gawang. Lewati para defensori (pemain belakang) Kroatia sama sekali tidak berarti bahwa gawang pasti terjebol gampangan. Keliru, Bro!
Masih ada Livakovic. Si penjaga gawang Kroatia itu terlalu tangguh. Ia cekatan untuk antisipasi gol-gol Brasil yang mungkin saja dapat terjadi. Sungguh malam tak berbintang bagi Brasil yang punya segudang bintang. Dan semuanya memang mesti berakhir di adu pinalti.
Akhir 4 – 2 untuk Kroatia benar-benar kuburkan mimpi penuh ambisi Brasil. Ada apa dengan Rodrygo Goes? Penyerang Real Madrid itu sepertinya tak percaya diri untuk eksekusi pinalti. Benar-benar mengerikan. “Kroatia makan korban lagi…” Dan tak main-main, adalah Brasil yang diremuknya.
Namanya bola itu bundar! Tak pernah tahu hasil pasti sampai peluit akhir berbunyi. Sepertinya semuanya sudah tamat saat Neymar bikin gol itu. Namun, tak ada kata menyerah buat Kroatia. Buatlah saja komen-komen seadanya. Lukiskan saja kisah Brasil yang kalah tragis dan Kroatia yang menang dramatis itu.
Publik mesti akui. Betapa apiknya Kroatia. Amat piawai dalam ‘operan bola.’ Sekian disiplin pula untuk harus bikin Richarlison, Vinicius, Raphael tak nyaman. Penyerang-penyerang Brasil yang lincah itu harus jangan dibiarkan begerak bebas sesuka ria di area pertahanan.
Adakah faktor X di balik kehebatan Kroatia itu? Berfantasi sajalah seadanya. Kroatia bukannya tak mau kalah dari Brasil. Yang mereka takutkan itu “jangan sampai Brasil bergoyang-goyang di depan mereka setelah gol tercipta.” Katakan begini saja, “Kalah boleh kalah. Tetapi harus lihat mereka menari-nari? Itu yang tidak boleh. Itu yang harus dilawan!”
Bisa saja pasukan Kroatia tak mau untuk semacam ‘dihina-hina seperti kata segelitir pengamat.’ Itu yang dibuat tim Samba, misalnya, ketika melumat Korsel. Apakah ini berarti ‘goyang Samba kini bisa saja sudah berujung karma?’
Tapi mari menelisik Zlatko Dalic. Ia akui kedigdayaan tim Samba. “Brasil adalah tim terbaik di turnamen ini..,” katanya. Semua yang terbaik dalam sepakbola ada pada tim Brasil. Sepantasnya kita tangkap saja sinyal peperangan dari Kroatia. Dan itu pula lah kata-kata Dalic, “Mungkin kita lebih menginginkan di final ketimbang di perempat final.”
Tampaknya, semalam di Stadion Kota Pendidikan Ar-Rayyan itu benar-benar serupa satu pertandingan final bagi Kroatia. Harus menang melawan tim favorit sekelas Brasil sudah jadi kebanggaan. Seperti itu pula mungkin rasa hati Aboubakar, penyerang Kamerun itu. Baginya, bikin gol dan memenangkan Kamerun lawan tim sekelas Brasil adalah sukacita tak terlukiskan. Ia tak peduli lagi bahwa ekspresi sukacitanya akhirnya berbayar kartu merah.
Brasil terlalu indah gemulai. Penuh daya pikat. Banyak mengandung umpan dalam goyang Sambanya. Sebab itu, ‘menaklukkan Brazil’ adalah perjuangan sengit bagi tim-tim mana pun. Sungguh beruntunglah Kroatia yang sanggup taklukkan si cantik gemulai jogo bonito itu. Harus ada daya juang. Tak pernah boleh menyerah sedikitpun.
Bagaimana pun, mari kembali ke Zlatko Dalic. Si arsitek utama di balik tim Kroatia itu. Dalic selalu tampil kalem. Ia tampak teduh beri instruksi dan menatap permainan anak-anaknya. Tampilan ala Dalic seperti ini pasti berbanding terbalik gerak-gerik heboh Luis Enrique, pelatih Spanyol. Yang selalu lenting-lenting heboh kalau Spanyol bikin gol.
Di semifinal dan final nanti, tak ada lagi Neymar dkk. Mesti segera bale nagi ke tanah Brasil. Dari tanah Amerika Latin, kini yang ‘tersisa’ masih ada Messi dkk. Tim Tango bakal bersiap-siap hadapi Kroatia yang sudah menantinya. Messi dkk telah lewati laga sulit dan berat kontra Belanda.
Berakhirlah dan selesailah sudah perhelatan Piala Dunia Qatar 2022 bagi Tim Samba. “Adeus, jogo bonito do Brazil.” Iya, setidaknya di safari Qatar ini.
Tetapi, lagi-lagi ada kata teman saya yang menyerempet ke hal politik tanah air.
Katanya, “Di tanah air, safari politik masih tetap gencar. Kencang melaju secepat lajunya jet pribadi. Entah kapan dibuat babak-babak kualifikasi sebelumnya?” Tapi, itulah bila sudah punya rasa juara yang benar-benar prematur. Sebab belum lewati tahap-tahap pertarungan resmi.
Ada-ada saja na!
Verbo Dei Amorem Spiranti
Penulis, rohaniwan Katolik, tinggal di Roma