Oleh Tony Kleden
Meski bernilai sejarah, ini bukan tentang sejarah. Apalagi Sejarah Gereja. Tetapi tentang keluarga. Karena itu tulisan ini lebih banyak mengandung cerita nostalgia. Nostalgia dari seorang anak tentang sosok orang tuanya, (Alm) Mgr. Dr. Paulus Antonius Sani Kleden, SVD.
Tulisan sederhana dan sekenanya ini hadir terutama untuk mengenang 50 tahun kepergian Mgr. Dr Paulus Antonius Sani Kleden, SVD, tepat hari ini, 18 November 2022. Berharap bisa menambah pemahaman, pengetahuan yang agak lengkap tentang sosok ini.
Mgr. Dr. Paulus Antonius Sani Kleden, SVD lebih populer dengan panggilan Uskup Sani. Uskup Sani adalah uskup pribumi pertama Pulau Flores, uskup pribumi kedua Nusa Tenggara setelah Mgr. Gabriel Manek, SVD. Juga uskup pribumi keempat di Indonesia setelah Mgr. Albertus Soegijapranata, S.J (tahbisan uskup 1940), Mgr. Gabriel Manek, SVD (1951) dan Mgr. Adrianus Djajaseputra, SJ (1953).
Uskup Sani lahir di Waibalun, Flores Timur, 26 Juni 1924 dari pasangan Bapak Yosep Suban Kleden dan Mama Maria Kemohun Kean. Bapak Yosep Suban Kleden seorang petani yang tidak bisa maksimal mengolah kebun karena sebelah kakinya cacat.
Uskup Sani sulung dari 4 bersaudara. Anak kedua namanya Petrus Sina Kleden, seorang tukang kayu yang bekerja di perbengkelan misi Larantuka. Salah seorang anaknya adalah Pater Dr. Paulus Budi Kleden, SVD, yang saat ini menjadi Superior Genderal SVD yang berkedudukan di Roma, Italia.
Anak ketiga namanya Wilhelmus Lawe Kleden, yang tak lain adalah ayah saya. Kalau Petrus Sina Kleden seorang tukang kayu yang telaten, maka Wilhelmus Lawe Kleden adalah seorang petani dan nelayan yang ulet. Siang di kebun malam di laut. Sesekali ‘merantau’ ke desa dan kampung di pedalaman Flores Timur membelah kayu bulat sebelum orang mengenal chainsaw (sensor).
Si bungsu seorang perempuan. Namanya Maria Lepan Kleden. Maria Lepan Kleden hanya seorang ibu rumah tangga biasa.
Tiga orang adik Uskup Sani tinggal di Waibalun. Membangun rumah tangga masing-masing. Ketiganya hidup bersahaja, sederhana dan bertarung hidup dengan keringat sendiri. Nasib agak beruntung dialami Petrus Sina Kleden karena bisa bekerja sebagai tukang kayu di bengkel misi Larantuka.
Kita mesti memahami bahwa pada era 1950-an hingga 1980-an bekerja di misi itu terbilang sukses. Kelas menengah. Mereka mempunyai pendapatan tetap setiap bulan. Belum lagi ada jatah beras setiap bulan 10 kg/kepala.
Sedangkan Wilhelmus Lawe Kleden dan Maria Lepan Kleden tidak seberuntung Petrus Sina Kleden. Sekolah juga tidak selesai. Wilhelmus sudah sampai kelas V sekolah dasar. Itu artinya tinggal 2 atau 3 tahun dia sudah bisa menjadi guru jika lanjut sekolah. Apalagi selalu jadi bintang kelas.
“Saya harus berhenti sekolah karena Petur (panggilan mereka kakak beradik untuk Petrus Sina Kleden) ada di ‘ambak’ (ambacht shcool/sekolah pertukangan), Pa Tua (panggilan kami untuk Uskup Sani) di Belanda, sementara Uba (panggilan mereka kakak beradik untuk bapak mereka Yosep Suban Kleden) tidak bisa kerja kebun karena kakinya tidak bisa. Maka saya harus berhenti sekolah dan kerja kebun bantu orangtua,” begitu jawaban ayah ketika kami anak-anak tanya kenapa tidak lanjut sekolah.
Meski begitu empat bersaudara ini akur mati punya. Tidak ada cekcok di antara mereka. Sampai tua dan meninggal dunia pun tetap akur.
Sejak kecil, Sani sudah menunjukkan kecerdasannya. Bapak Yosep dan Mama Kemohun kemudian mengirimnya ke Sekolah Standar di Larantuka. Di sini Sani bertemu dengan sejumlah kawan kelasnya antara lain Aleks Beding (yang jadi Imam SVD), Gregorius Monteiro (yang kemudian menjadi Uskup Agung Kupang).
Setelah menyelesaikan Sekolah Standar di Larantuka, Sani dan beberapa temannya melanjutkan pendidikan di Seminari Menengah Mataloko, Ngada tahun 1935. Dari Mataloko kemudian menuju Seminari Tinggi St Paulus Ledalero memulai perkuliahan filsafat dan teologi.
Ketika tentara Jepang masuk Indonesia, situasi pendidikan di Ledalero mengalami gangguan. Banyak pengajar Eropa ditawan Jepang. Ledalero macet. Untuk memikirkan kelanjutan pendidikan di Ledalero, pada tahun 1948 dua imam dan tiga frater dikirim ke Belanda melanjutkan studi. Dua imam itu yakni Pater Piet Muda, SVD dan Pater Lambert Lame Uran, SVD. Sedangkan tiga frater itu yakni Fr. Donatus Djagom (kelak jadi Uskup Agug Ende), Fr. Paulus Sani Kleden dan Fr. Stephanus Kopong Keda. Nama terakhir ini dari Adonara yang jadi tenar dengan idenya mengganti hostia dengan jagung titi dan anggur dengan tuak/arak.
Dua tahun di Seminari Tinggi Teteringen, Belanda, pada tanggal 20 Agustus 1950 Sani ditabiskan menjadi imam. Dari Belanda, Pater Sani melanjutkan studi di Universitas Gregoriana, Roma dan meraih gelar Doktor Hukum Gereja pada usia 30 tahun.
Tahun 1955, Pater Dr. Sani kembali ke Indonesia dan mengajar di Ledalero. Dia tercatat sebagai dosen pribumi pertama di Ledalero. Selain sebagai dosen di Ledalero, Pater Sani juga merangkap sebagai Vikjen Keuskupan Agung Ende dan juga pembina pada masa awal ketika Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret berdiri.
Ketika terjadi pemekaran wilayah gerejani di Indonesia, Pater Dr. Sani diangkat menjadi Uskup Denpasar. Dan pada tanggal 3 Oktober 1961 ketika masih berusia 37 tahun, Pater Dr. Sani ditabiskan menjadi Uskup Denpasar oleh Mgr. Gabriel Manek, SVD di Gereja Palasari, Bali. Usia yang masih sangat belia untuk menjadi seorang uskup ketika itu.
Setelah ditabiskan menjadi uskup, Uskup Sani memilih menetap di Singaraja. Baru pada tahun 1967 Uskup Sani memindahkan Istana Uskup ke Denpasar dan menetap di sana.
Pada saat diselenggarakan Konsili Vatikan II (1962-1965) di Roma, Uskup Sani hadir secara penuh sebagai Bapa Konsili (sebutan untuk para peserta konsili). Dia disebut-sebut sebagai uskup termuda pada Konsili Vatikan II di antara 2.540 uskup sedunia yang hadir pada acara pembukaan.
Selama 11 tahun memimpin Keuskupan Denpasar, pada saat sidang Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI) di Jakarta, Uskup Sani mendapat serangan jantung dan meninggal dunia di RS Carolus Jakarta, 18 November 1972 pada usia 48 tahun.
Gereja Katolik Bali Lombok kehilangan seorang gembala. Umat Katolik Bali Lombok kehilangan gembala. Keluarga kehilangan anak suku.
Tetapi yang paling merasa kehilangan adalah Mgr. Antonius Thijssen, SVD, Uskup Larantuka. Mengapa? Karena Uskup Sani adalah muridnya ketika masih di Sekolah Standar Larantuka. “Mengapa Sani yang harus meninggal, dan bukan saya yang sudah tua?” Begitu penyesalan Uskup Thijssen.
Jasadnya dikuburkan di pekuburan umum Menteng Pulo, Jakarta. Baru pada tahun 1980 atas permintaan umat Katolik Bali, jasad sang gembala dipindahkan ke pekuburan para klerus di depan Gereja Palasari. Saat ini di pekuburan ini terbaring jasad beberapa uskup dan imam yang sudah mendahului.
Bagi umat Paroki Waibalun, bagi keluarga besar Kleden, Kean dan semua rumpun keluarga, Uskup Sani adalah kebanggaan. Cerita tentang Uskup Sani selalu menginspirasi. Kisah tentang sekolahnya di Belanda, menjadi dosen di Ledalero, menjadi ahli hukum gereja, dan kemudian jadi seorang uskup di era tahun 1960-an hingga awal 1970-an seperti energi baru yang memompa imajinasi anak-anak muda untuk mengikuti jejaknya.
Saya masih ingat sampai sekarang kalau Uskup Sani datang libur di Waibalun. Kedatangannya di Waibalun di tengah keluarga menjadi momentum yang sangat membahagiakan. Sudah pasti keluarga besar berkumpul. Berkumpul pada tahun tidak enak waktu itu tentu jarang-jarang terjadi. Tugas kami anak-anak adalah ramai-ramai mengejar ayam yang hidup bebas di alam luas untuk kemudian jadi santapan para orang tua.
Jatah kami jelas. Kaki ayam yang kemudian dibakar di bara api. Ritual makannya juga mesti ramai-ramai. Gigit bergilir. Dari satu mulut ke mulut lain. Tetapi nikmatnya tiada tara.
Anak laki-laki yang lebih tenang, sopan, tidak nakal seperti Pater Paul Budi Kleden tentu lebih mudah mendekat ke Uskup Sani. Sebaliknya kami yang agak kaco dan nakal tidak bakal mendekat.
Saya masih ingat beberapa permainan anak-anak dibawa dari Bali. Ada pesawat terbang. Ada mobil-mobilan. Bayangkan, pada masa itu mainan anak-anak sudah kami pegang. Juga ada kipas angin terbuat dari kayu cendana. Yang paling dikenang adalah bola kasti. Bola ini kami simpan sampai bertahun-tahun sesudah kepergiannya.
Hari ini Uskup Sani genap 50 tahun meninggal dunia. Dia meninggalkan kami semua. Meninggalkan umatnya di Bali Lombok. Meninggalkan panti pendidikan Ledalero. Tetapi jejaknya abadi. Tidak hilang. Namanya indah mengharum di tengah umat Bali dan keluarga. Tidak hilang dari memori anak dan cucu. Tetap dikenang oleh mereka yang mengenalnya. Tetap tercatat dalam sejarah Gereja Nusa Tenggara, Gereja Bali Lombok, dan Gereja Flores.
Pa Tua, Bapak Uskup Sani, doakan kami dari tempatmu yang abadi. Requiem aeternam dona ei, Domine! (*)