‘Balas Dendam’, Narasi Juandi  David, Bupati TTU

robert bala2

Oleh Robert Bala

Saat diajak makan sore itu saya sudah membayangkan, kami bakal makan di restoran. Saya pun siap-siap bakal merasakan makanan berbeda. Pasalnya, meski tinggal di Ibu kota, tetapi saya jarang makan di tempat yang mewah. Karena itu ketika sang bupati dari kabupaten yang akan merayakan 100 tahun pada 22 September 2022, saya pun sudah tahan napas.

Bacaan Lainnya

Tetapi saya terkejut. Dari mulutnya keluar pernyataan mengejutkan. Kita makan di tempat yang kita biasa makan. Aduh, tempat biasa yang bagaimana? Ternyata di pinggir jalan. “Kami bertiga ini kalau cari barang, maunya berkualitas tetapi harga murah,” demikian ia berkisah polos sekaligus menggambarkan dirinya yang seperti itu.

Johny Amsikan, Kabag Protokol dan Komunikasi Pimpinan Setda TTU, rupanya sudah paham betul akan hidup sang bupati. Ia lalu antar kami mencari makanan di kaki lima. Kami memang ada di Atrium, tetapi makan di pinggir jalan, tempat makan murah-meriah di seberang Atrium.

Kisah awal membuat saya penasaran untuk memanfaatkan waktu sekitar sejam di emperan itu untuk terus mengoreknya. Walau di tempat sederhana tetapi pertanyaan yang berkualitas (menurut saya), dijawab dengan sangat menakjubkan, membuat saya semakin mengenal pria kelahiran Kaubele 27 Maret 1959 ini.

jundi david
Jandi David di warung makan pinggir jalan, depan Atrium Senen, Jakarta

Tekun Melayani Plus

Saat bertemu pertama kali, saya sudah menangkap hal berbeda. Saat bicara dengannya, sangat tak terasa bahwa kita sedang bicara dengan seorang pejabat. Kata-katanya sangat akrab, tak terkesan dibuat-buat. Ia tampil apa adanya. Ia tatap secara utuh sambil membiarkan orang berbicara. Malah ketika di tengah kerumunan itu ada anggota DPRD TTU yang baru selesai mengikuti pertemuan partainya, ia menyapanya sambil berkelakar tentang sidang yang barusan dilakukan di Kefamenanu.  Mereka tertawa sekaligus menggambarkan bagaimana ia menyapa partnernya di DPRD tanpa sekat.

Caranya berbicara dan mendengarkan serta cara menjelaskan, membuat saya nyaris tak henti  lagi melancarkan aneka pertanyaan. Saya bertanya dan baru sadar bahwa sesuai aturan terbaru, ia dan Eusabius Binsasi hanya akan jadi pemimpin selama 3 tahun karena 2024 nanti sudah ada pilkada serentak lagi. Karena itu kalau melihat perhelatan politik yang melelahkan pada tahun 2020, rasanya baru selesai. Apalagi ia baru menjabat pada 27 Februari 2021.

Tetapi masa bakti yang hanya 3 tahun itu tidak menghadirkan kegalauan. Walapun waktu singkat itu diperparah pula oleh pandemi, tetapi baginya menjadi pemimpin bukan soal lamanya waktu tetapi kualitas pekerjaan yang dirasakan terutama oleh mereka yang sangat terpinggirkan.

Suami dari Dra. Elvira B.M. Ogom itu mengatakan bahwa ia lebih fokus kepada penyediaan rumah layak huni kepada masyarakat miskin dan kaum difabel. Tahun 2022 misalnya ditargetkan 400 rumah di 40 desa/kelurahan. Sementara bagi keluarga yang miskin tetapi punya kemampuan beternak dan ada lahan, akan diberikan 5 ekor sapi untuk dikembangkan. Bila dalam 5 tahun bisa dikembangbiakan maka secara ekonomis sudah akan sangat membantu.

Lalu apakah karya sederhana itu memiliki efek politis untuk pilkada 2024 nanti, demikian tanya saya. Ia hanya menatap sambil menikmati nasi uduk dengan sedikit lauk pauk seadanya dan berkata: “Mereka memang pantas mendapatkan itu karena mereka sangat membutuhkan pertolongan. Kalau kita hanya melayani orang yang akan memberikan suara maka nilai plusnya di mana kita sebagai pemimpin? Untuk itu kami tekad untuk tekun melayani plus,” demikian  jawabnya membuat saya kehabisan kata-kata untuk bertanya lagi.

Air Mengalir

Lalu dari mana ia menimbah semua kebijakan dan prinsip yang mau ia terapkan selama periode singkat 3 tahun menjadi Bupati TTU? Baginya, semuanya berinspirasi dari perjalanan hidupnya sebagai ASN sejak tahun 1985 hingga pensiun pada tahun 2019 yang lalu.

Ia mulai dari bawah dan menjajaki karirnya secara perlahan. Pelbagai jabatan diembannya. Setelah menjadi Camat Biboki Utara (1999-2003), berbagai jabatan sebagai eselon 2 ditempatinya. Bisa disebut ayah dari 3 anak ini menduduki hampir semua jabatan. Ia awali dari Sekwan (2003-2007), lalu jadi Kadis Pertanian dan Perkebunan (2007-2009). Dua tahun (2009-2011) menjadi Kadis PPO dan 2011-2015 jadi Kadis Pemberdayaan Perempuan dan KB.

Selanjutnya 3 tahun berikutnya lulusan FIA Undana 1985 itu hanya jadi staf ahli. Beruntung di penghujung dedikasi, ia masih dipercayakan menjadi Kadis PMD (2017-2019). Singkatnya, kalau soal pemerintahan ia telah memahaminya dengan baik. Karena itu ketika dipercayakan menjadi bupati, yang ia lakukan ada dua hal, demikian tandasnya.

Di satu pihak, setelah menjabat di berbagai posisi, ia sangat yakin bahwa pertanian (dalam arti luas) adalah bidang unggulan bagi TTU. Sebagaian besar orang TTU yang sukses itu dibiayai dari hasil pertanian. Karena itu sektor yang menghasilkan 39% dari PAD itu harus dikelola secara baik.

Ia apresiasi akan aneka terobosan di bidang pertanian tetapi yang masih menjadi kendala adalah soal air. Inilah akar masalah yang harus diselesaikan bersama. Untuk itu menyambut 100 tahun Kefamenanu, ia yakin bahwa ketika masalah air ditangani, maka bidang lain akan terdongkrak produksi pertanian.

Tetapi air yang secara filosofis mengalir ke bawah, juga menjadi simbol yang sangat penting dalam memajukan TTU. Pria lulusan SDK Manufui, SMP Xaverius, dan SMA Pelita Karya Kefa ini mengatakan bahwa politik telah memecahbelahkan. Banyak orang menjadi pemimpin dan setelahnya yang dilakukan adalah membalas dendam. Yang menang merasa perlu menggeser semua yang berlawanan dengannya. Yang kalah pun menyia-nyiakan energinya untuk mengritik apapun yang dibuat lawan.

Inilah politik balas dendam yang seakan lumrah. Tetapi baginya, seperti air yang selalu mengalir ke bawah, maka yang ia lakukan hanyalah meneruskan filosofi air yang selalu mengalir ke bawah dan setiap tanah yang diairi akan memberi kehijauan pada tanaman. Demikian hidup yang mau ia baktikan hanya dalam jangka waktu 3 tahun jadi bupati. Ia ma merangkul semua orang potensial untuk terlibat dalam membangun TTU.

Ia sadar, TTU apalagi dengan kehadiran 5 Perguruan Tinggi, memiliki tenaga potensial. Mereka semua harus dirangkul, diberi peran untuk terlibat dalam membangun. Ia ingin politik yang dibangun beradab dan saling mendukung satu sama lain daripada menghabiskan energi untuk balas dendam.

Politik yang baik adalah yang membuat orang lain hidup, seperti air yang memberi hidup. Karena itu kalau masyarakat miskin dan kaum difabel yang diberi prioritas, itu hanyalah merupakan perwujudan dari prinsip hidup seperti itu.

Kisah kecil yang hanya 1 jam lebih itu membuat saya terus berpikir di Kereta Tanah Abang – Jurang Mangu. Saya hanya bilang, TTU bersyukur punya pemimpin seperti ini. Terima kasih Pak Juandi David  untuk inspirasinya di sore 17/6/2022

 

Penulis, Diploma Resolusi Konflik Asia – Pasifik Universidad Complutense de Madrid, Spanyol

Pos terkait