“Uccidete Me, Non La Gente”

(Sepenggal kisah Sr Ann Rose Nu Twang dalam konlik berdarah Myanmar)

Oleh P. Kons Beo, SVD

Bacaan Lainnya

Lilin Kasih Itu Mesti Tetap Bernyala

Akhirnya kisah heroik itu menjadi jelas. “Uccidete me, non la gente”, Bunuhlah saya, jangan rakyat! Itulah judul buku yang barusan terbit.  Di siang 17 Mei 2021, di saat makan siang di Collegio San Pietro-Roma, Romo Mung Sawng, asal Myanmar (Keuskupan Banmaw), yang tengah belajar Hukum Gereja di Universitas Kepausan Urbanianum, dengan wajah penuh harap membagikan buku itu. Buku setebal 84 halaman itu sungguh memancing minat. Apa yang sebenarnya di balik “uccidete me, non la gente?” Sepanjang sore hingga malam itu, saya coba simak isinya.

Sr Ann Rose Nu Tawng, yang telah viral itu,  mengisahkan secara lugas kesaksian imannya. Satu pengalaman iman yang kaya. Mendalam. Menantang plus menarik. Wawancara Sr Ann Rose bersama Gerolamo Fazzini membawa siapapun kepada satu pemetaan iman yang sulit terbayangkan. Namun ia sungguh nyata dalam situasi politik tak menentu. Myanmar, negeri seluas 678.500 km², dipadati oleh 57.070.000 penduduk, dengan 135 kelompok etnis sungguh tengah dilanda prahara. Hingga hari-hari ini.

Sungguh tak mungkin membentangkan segala isi wawancara. Tetapi, kita berani bertolak dari satu pertanyaan: Apa arti sebuah gesture berlutut dalam kelemahan, ketakberdayaan, penuh kehinaan seorang religius di hadapan kekuatan militer serba komplit? Di hadapan serdadu bersenjata sigap? Di hadapan tank-tank milter yang terus menyasar siapapun yang menantang? Di jalanan itu, Sr Ann Rose telah membawa kekecilannya demi berhadapan dengan segala kegagahan dan kebesaran militer Myanmar!

Adakah kekuatan di balik tindakan nekadnya? “Dove trova il coraggio” Di manakah ditemukan keberanian itu? Tanya Matteo Maria Zuppi, yang menulis Pengantar di buku itu. Persoalan bukan terletak pada ‘coraggio’ (keberanian). Tetapi semuanya bertolak dari amore (kasih). Apa arti sebuah keberanian ketika ketakutan (sikap pengecut) tetap membayangi? Toh, setiap manusia memiliki risiko ciut nyali dan hati rentan. Tetapi lain halnya bila segalanya bertolak dari amore. Segala risiko apapun menjadi sahabat karib yang mesti dihadapi.

Benarlah Zuppi! Siapapun yang berjalan dalam damai dan mengusahakannya, pasti tak berminat sedikitpun untuk memiliki musuh. Siapapun yang berani memandang langit, yang percaya kepada Tuhan sedikitpun tak punya seteru untuk ditumpaskan. Mengusahakan damai selalu berarti memberi diri dan mengulurkan tangan kepada yang lain. Damai itu bukanlah soal menang dan kalah.  Damai bersentuhan akrab pada kedalaman afektif dan sikap batin jujur. Semuanya demi merangkul sebagai saudara-saudari dalam kemanusiaan. Ya, cerita damai, walau berjalan dalam konflik, tetap selalu miliki harapan akan persatuan.

Via Crucis Myanmar:  Derita Tanpa Akhir Pasti?

Kisah pilu di Myanmar di hari-hari ini berawal sejak 1 Februari 2021. Kudeta militer pimpinan Jendral Min Aung Hlaing merebut kekuasaan Pemerintah Aung San Suu Kyi. Rasa tak puas seantero negeri tak terelakkan. Gelombang protes warga sipil penuh risiko menantang pihak keamanan dan militer. Ann Rose bersaksi Gereja Katolik punya keberanian dalam menantang kisah penuh duka itu. Para imam, kaum religius, para seminaris, serta umat memenuhi jalan. Bergabung dengan sebagian masyarakat sipil lainnya. Tentu dengan cara-cara damai dan sejuk.

Ann Rose, biarawati kelahiran 1977 itu, mengungkapkan keyakinannya turun ke jalan dalam protes damai itu. Kata-kata Paus Fransikus dalam Evangelii Gaudium telah jadi dorongan besar. Yang lebih disukai Paus Fransiskus adalah Gereja yang ‘terluka dan kotor’ yang berada di jalanan, ketimbang Gereja yang memelihara rasa nyamannya sendiri (cf EG 49). Warga masyarakatpun, seturut Sr Ann Rose, tak melupakan begitu saja kisah-kisah protes damai yang terjadi di Manila, Korea Selatan, yang patut dicontohi.

Di peristiwa kali ini, malah sekian banyak kaum muda yang sungguh berani bertarung. Pengalaman (studi misalnya) kaum muda Myanmar di luar negeri semisal di Inggris, Italia atau Amerika, telah membuka cakrawala berpikir. Kaum muda menggugat atas nama kebebasan, hak-hak asasi manusia, terutama atas dasar martabat manusia! Myanmar harus dibebaskan dari perbagai tindakan opresif melawan kemanusiaan. Dan bahwa hidup dalam damai adalah hak dasariah di seluruh negeri.

Kisah di hari Minggu, 28 Februari, 2021 sungguh membekas. Berbagai kelompok kaum muda di Myitkyina tumpah ruah dalam satu demo damai. ‘Perjumpaan’ dengan serdadu (militer) tak terhindarkan. Mata Sr Ann Rose sungguh yakin, kisah berdarah pasti akan segera terjadi. Tak ada pilihan lain, selain dalam kekecilan penuh kasih, mesti berhadapan militer bersenjata. Dalam tangisan penuh emosi, sambil berlutut dan mengangkat tangan, dan Ann Rose berkisah, Kalau kalian ingin melibas warga masyarakat, dan ingin menembak para demontran, lakukan semuanya itu pada saya sebagai gantinya…” Kekerasan pasti tak terhindarkan, “Kalian bunuhlah saya, dan jangan warga masyarakat!”

 Ada keberanian dalam diri Sr Ann Rose untuk bersikap demikian. Ia tak menginginkan adanya pembantaian sekian banyak orang bagai binatang, seperti terjadi di Yangon, Mandalay dan Naypyidaw. Sayangnya, polisi dan militer cuma diam dan mundur sesaat, dan lalu kembali gunakan cara-cara kekerasan dalam menangkap para demonstran.

Hari-hari Sr Ann Rose tetaplah dalam persekutuan via crucis masyarakat sipil Myanmar. Merawat sekian banyak demonstran adalah kisah kesehariannya. Kesempatan untuk rayakan ekaristi di gereja terhenti. Toh, Tuhan pasti pahami apa yang tengah dialami. Bertahan dan terus bertahan dalam sikap berlutut dalam waktu cukup lama adalah pilihan apa adanya dan terbaik. Pilihan seperti ini melampaui ajakan pimpinan umum tarekat atau bahkan permintaan Uskup sendiri untuk segera kembali pulang.

Apakah yang dicari Sr Ann Rose?  Popularitas? Pencitraan? Berbagai keuntungan di atas derita Myanmar, tanah airnya? Jika atas nama cinta, segalanya bisa dipertaruhkan. Hidup adalah satu penyerahan diri. Tanpa syarat. Semuanya demi martabat kemanusian dan demi keadaan hidup bersama dalam kedamaian. Kasih dapat mengubah segalanya.

Keberpihakan bagi Sr Ann Rose tentu tak sebatas satu keberpihakan kata. Tetapi ia nyatakan dalam aksi nyata. Tak cuma pada tindakan karitatif membalut yang terluka. Tetapi bahwa perjuangan demi justice and peace mesti digemakan, walau sebatas berlutut di hadapan kekuasaan yang sangar dan tiran. “Credo che Dio si sia servito di me, nel momento in cui mi sono inginocchiata di fronte ai militari. Mi ha dato lo Spirito Santo,” ungkap Sr Ann. Apakah yang mesti dicemaskan bila cinta sungguh dimeterai oleh keyakinan bahwa Allah selalu bersama dalam anugerah Roh Kudus?

Cinta yang diperlihatkan Sr Ann Rose itu pun tak hanya terarah pada para korban fisik (demontran). Tetapi ada rasa cinta tulus terhadap para serdadu militer dan para polisi. Mereka telah menjadi ‘korban’ dari satu cara pandang dan nafsu akan kekuasaan milik segelitintir orang, yang berimbas tragis pada warga sipil yang tak bersalah. Itulah wajah dunia, pun dalam satu kebersamaan manakala nafsu akan kuasa dan rasa superior elitis telah merasuk. Di situ, keadaan suram kebersamaan pasti tak terelakan.

Harapan Akan Myanmar  Nan Teduh dan Damai

 Rakyat Myanmar sungguh rindukan keadaan damai penuh kasih. Myanmar di hari dan di tahun-tahun kemarin adalah Myanmar yang teduh, nyaman dan damai. Namun kini semuanya sepertinya telah berlalu. Myanmar kini dilihat sebagai “un paese dove regnano la paura e la tristezza,” ungkap Sr Ann. Ya, Myanmar sungguh dikuasai oleh ketakutan dan kesedihan. Entah kapan darah dan air mata berhenti mengalir?

Sejak Giunta Militare berkuasa di tahun 1962, Myanmar terperosok kembali ke alam menyedihkan. Kemerosotan di bidang pendidikan sungguh nyata. Keadaan sosial ekonomi masyarakat yang sungguh tak berkembang.

Bagaimanapun, Myanmar mesti tetap menjadi negeri penuh harapan! Harapan akan Keadilan, Cinta dan Perdamaian. Keadaan genting penuh kekerasan itu hanya bisa diteduhkan oleh niat baik dan kehendak tulus semua pemimpin politik dan religius untuk terlibat dalam komunikasi dan dialog yang jujur. Dan lebih dari itu, seturut Sr Ann Rose, saling mengampuni adalah pilihan dasar yang menjadi keharusan.

Dan, akhirnya, Indonesia tentu berharap dalam doa dan dukungan penuh aktif demi Myanmar semesta yang aman, damai, dan penuh keteduhan. Karena Myanmar, bagi Indonesia, bukanlah sebatas nasib pilu kelompok minoritas Rohingya. Myanmar di hari-hari ini adalah krisis kemanusiaan seluruh negeri yang terluka.

Verbo Dei Amorem Spiranti

Collegio San Pietro-Roma

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *