Tuan Lee, Dokter Woo dan Birokrasi yang Dinamis

Oleh: Luis Aman

 

Pada 1 Juli 2021 mendatang akan diadakan Rakornas Kepegawaian yang diselenggarakan oleh BKN. Rakornas ini dilakukan secara luring sekaligus daring, yang melibatkan semua unit pengelola kepegawaian di setiap instansi, baik instansi pusat maupun instansi daerah. “Transformasi Manajemen ASN Menuju Birokrasi yang Dinamis.” Demikian tema rakornas tahun ini. Tema yang menarik, sekurang-kurangnya bagi penulis sebagai pegiat assessment center. Mengapa?

Pertama, karena cukup prospektif. Artinya, di  tengah budaya birokrasi yang masih cukup kental resistensinya terhadap perubahan (termasuk terhadap assessment center, misalnya), tema ini menjargonkan birokrasi yang senantiasa harus berubah sebagaimana harapan publik umumnya.

Lalu kedua, dalam ‘transformasi manajemen ASN’ yang menjadi prasyarat ‘birokrasi yang dinamis’ itu, assessment center memiliki peran strategis. Strategisnya peran assessment center terutama kalau sebuah instansi memang benar-benar ingin agar SDM birokrasinya sungguh dinamis atau selalu siap menjawabi tuntutan perubahan apapun, sampai pada level menerapkan konsep yang dinamakan developmental assessment center.

Apa itu developmental assessment center dan bagaimana peran strategisnya dalam manajemen ASN, khususnya ASN di daerah, sehingga bisa menghasilkan birokrasi lokal yang benar-benar dinamis, sebagaimana tajuk rakornas kepegawaian 2021 itu? Tulisan ini berusaha menjawab pertanyaan tersebut.

Tiga Tujuan

Pedoman Internasional Tentang Penyelenggaraan Assessment Center membagi sekurang-kurangnya tiga tujuan penilaian dengan metode assessment center, yang sekaligus dinamai sebagai tiga jenis assessment center.

Pertama, tujuan prediktif (predictive assessment center), yakni penilaian yang tujuannya memprediksi perilaku atau performa seseorang ketika nantinya ia berada dalam jabatan yang menjadi job target. Dengan profil kompetensi yang dimiliki saat ini, maka dapat diprediksi apakah ia akan memenuhi syarat untuk jabatan tersebut atau tidak. Penilaian seperti ini biasa dilakukan dalam seleksi terbuka untuk pengisian JPT Pratama (Eselon II) yang sudah lazim dilakukan selama ini sesuai keharusan aturan.

Kedua, tujuan diagnosis (diagnostic assessment center), yaitu penilaian yang fokusnya adalah mendalami secara teliti kompetensi yang menjadi kekuatan sekaligus kompetensi yang masih harus dikembangkan oleh masing-masing asesi (peserta penilaian). Asesmen jenis ini biasanya dipakai dalam pemetaan kompetensi untuk tujuan mendapatkan rekomendasi diklat dan pengembangan jangka pendek bagi masing-masing asesi.

Kemudian ketiga, tujuan pengembangan berkelanjutan (developmental assessment center). Asesmen untuk kategori terakhir ini sebetulnya merupakan bentuk yang lebih kompleks dari tujuan asesmen yang kedua, yang akan saya bahas secara lebih terperinci pada poin berikut.

Developmental Assessment Center (DAC)

Dalam Kongres Internasional Ke-42 tentang Metode Assessment Center dan Pengembangan Talenta Kepemimpinan, yang diselenggarakan di Shanghai, Tiongkok, 2019 lalu, George C. Thornton III dari Colorado State University, USA, memberikan ilustrasi yang menarik, sebagai berikut.

Tuan Lee sakit. Lalu ia ke dr. Woo untuk berobat. Dokter Woo tidak mungkin langsung memberikan resep kalau belum tahu apa sakitnya. Jadi, Tuan Lee diperiksa dan didiagnosa dulu. Apakah Tuan Lee sembuh hanya dengan pemeriksaan dan diagnosa dari dr. Woo? Tentu saja tidak.

Setelah tahu sakitnya apa, barulah dr. Woo memberikan resep. Bisa berupa obat-obatan, bisa berupa pantangan makanan atau anjuran nutrisi pendukung, bisa pula berupa aktivitas yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, latihan pengendalian stres, istirahat yang cukup dan resep-resep lainnya untuk mendukung penyembuhan. Semua resep tersebut diberikan kepada Tuan Lee sendiri.

Tuan Lee ke apoteker. Apoteker meracik obat sesuai resep dokter, lalu Tuan Lee menerima obat dan pulang ke rumah. Apakah Tuan Lee sembuh setelah menerima obat dari apoteker dan resep lain dari dr. Woo tadi? Tentu saja tidak.

Dia harus minum dulu obatnya dan ubah perilakunya mengikuti resep-resep pola hidup sehat yang diberikan dr. Woo. Untuk itu, Tuan Lee harus didukung oleh istri dan anak-anaknya, atau juga oleh atasannya di kantor misalnya, entah dalam bentuk apapun, agar tercipta lingkungan rumah dan kantor yang suportif terhadap kesembuhan Tuan Lee. Apakah dengan itu Tuan Lee sembuh?

Harusnya demikian. Akan tetapi untuk memastikan Tuan Lee sudah benar-benar sembuh atau belum, ia perlu diperiksa lagi, didiagnosa ulang. Tuan Lee kemudian bisa diklaim sembuh total, bisa pula dinyatakan masih membutuhkan obat-obatan, perawatan, dan resep-resep lainnya.

Developmental Assessment Center (DAC) kurang lebih seperti itu, simpul Thornton III. Asesi itu ibarat Tuan Lee, sementara asesornya adalah dr. Woo. Apoteker yang meracik obat adalah analis kurikulum atau perancang kurikulum pengembangan kompetensi bagi para asesi. Sementara istri, anak-anak dan atasannya di kantor adalah semua komponen lingkungan organisasi yang mendukung pengembangan kompetensi para asesi.

Melakukan penilaian kompetensi semata tidak akan pernah mengubah kompetensi para asesi. Hasil penilaian tersebut mesti segera disampaikan kepada asesi (immediate feedback) secara terbuka dan persuasif, agar asesi tahu kompetensi apa yang menjadi kekuatannya dan terutama kompetensi apa yang masih harus ia kembangkan. Momen penyampaian hasil juga menjadi kesempatan bagi asesor untuk bisa ‘mendalami’ hasil penilaian yang telah diberikan. Thornton III menekankan bahwa dalam DAC bukan hanya harus ditegakkan prinsip transparansi, melainkan juga mesti diciptakan proses penyampaian hasil (feedback) yang sifatnya konsultatif sekaligus diagnostik, yang dibangun di atas rasa saling percaya antara asesor dan asesi. Itu mengandaikan asesornya benar-benar matang dan terlatih, dan asesinya pun kooperatif, terbuka bahkan antusias.

Kondisi pemberian umpan balik (feedback) semacam itu tentu ideal, namun umpan balik saja tidak cukup untuk mengubah kompetensi asesi, sebagaimana Tuan Lee tidak dengan sendirinya sembuh setelah menerima resep dokter. Mesti ada program pengembangan yang direncanakan secara cermat, yang benar-benar relevan dan efektif untuk meningkatkan kompetensi asesi, dengan berbasis pada hasil penilaian dan hasil analisis lanjutan pasca proses ‘umpan balik.’ Jadi ada integrasi antara penilaian kompetensi dan pengembangan dan pelatihan berbasis kompetensi. Dalam hal ini, assessment center dan lembaga penyelenggara pengembangan kompetensi harus berkolaborasi.

Buah dari program pengembangan tersebut pun mesti diterapkan secara riil di lingkungan kerja dengan pengawasan dan evaluasi yang konkret dan terukur terhadap perubahan perilaku kompetensi asesi. Evaluasinya bersifat ‘evaluasi diri’ (self-evaluation) sekaligus evaluasi pimpinan.

Untuk itu, harus diciptakan lingkungan kerja yang suportif pula. Artinya, semua komponen dalam organisasi paham dan mendukung pengembangan kompetensi ASN tersebut, baik unsur pimpinan maupun rekan kerja dan bawahan. Sebagaimana Tuan Lee membutuhkan dukungan istri dan anak-anaknya, begitu pula seorang ASN memerlukan dukungan dari segenap elemen di unit kerjanya bahkan dukungan kerja sama lintas unit untuk mengembangkan kompetensinya secara optimal dan berkelanjutan.

Lalu, untuk kemudian memastikan adanya perbaikan kompetensi asesi, selain evaluasi diri dan evaluasi dari lingkungan kerjanya, juga harus dilakukan penilaian kompetensi sekali lagi. Siklus itu berlangsung secara berkala dan terus-menerus; asesmen, pengembangan kompetensi, praktik lapangan, evaluasi, asesmen ulang, dan seterusnya. Dengan kata lain, intervensi untuk mengurangi gap kompetensi seorang pegawai tidak berisifat insidental dan parsial, melainkan kontinual dan integral. Dengan itu bisa tercipta pegawai yang semakin berkompeten, dinamis dan selalu siap menghadapi perubahan apapun.

Kemauan Politik

Apakah pemerintah daerah di NTT mampu mewujudkan model manajemen ASN berbasis kompetensi sebagaimana diuraikan di atas?

Tentu saja bisa, asal ada kemauan politik dari para kepala daerah. Itu kuncinya. Secara riil, hal itu pertama-tama mesti diwujudkan dalam bentuk peraturan-peraturan daerah ataupun peraturan kepala daerah untuk kemudian diterapkan secara konsisten dan hasilnya terukur.

Kemudian, butuh komitmen politik anggaran, sebab DAC adalah proses yang berkelanjutan dengan konsekuensi biaya yang tidak kecil. Selain biaya asesmen dan program diklat serta pengembangan lainnya, juga biaya sarana dan prasarana assessment center yang memadai. Agar prosesnya lebih cepat dan mudah, maka perlu digitalisasi administrasi dan pelaksanaan assessment center. Untuk itu butuh biaya pengadaan aplikasi-aplikasi pendukung. Di samping itu, butuh personil asesor terlatih dengan kuantitas yang memadai, beserta pengembangan kompetensi mereka secara berkelanjutan sehingga kualitasnya mumpuni untuk menerapkan DAC. Kualitas para asesor sangat menentukan tingkat kepercayaan ASN pada lembaga assessment center.

Ini memang investasi yang hasilnya tidak langsung kelihatan, mungkin baru 10 sampai 15 tahun ke depan, ketika DAC sudah menjadi sistem yang matang dan para ASN pun memiliki budaya kerja yang suportif terhadapnya.

Lalu yang terakhir, untuk menciptakan budaya birokrasi yang suportif terhadap DAC, agar para ASN tidak menganggap penilaian kompetensi sebagai formalitas belaka ataupun sebagai momok yang menakutkan, maka kuncinya adalah depolitisasi birokrasi. Minimalisir intervensi politik dan biarkan birokrasi bekerja dan berubah ke arah yang lebih profesional. Hal itu akan menciptakan kepercayaan ASN pada assessment center dan kepercayaan publik pada pemerintah daerah.

Berbagai konsep manajemen ASN yang profesional, termasuk Developmental Assessment Center sebagaimana dalam cerita tentang Tuan Lee dan Dokter Woo, tentu tidak mudah diterapkan di birokrasi lokal. Tidak akan bisa ‘langsung jadi,’ karena akan selalu ada resistensi. Akan tetapi, agar kita berubah, semuanya harus dimulai. Kalau bukan sekarang, kapan lagi? (*)

Penulis, Asesor SDM Aparatur Pada Pemprov NTT

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *