Taman Nasional Komodo: Area Tremendum et Fascinosum Yang Terancam?

Oleh P. Kons Beo, SVD

Bacaan Lainnya

Biasa – Mengagumkan –  menakutkan

Angelo dan Chiara. Berdua adalah sahabat saya. Warga asli Italia. Di suatu ketika saya kasih tunjuk mereka betapa cantiknya Bandara Komodo di Labuan Bajo. Sayang! Ekspektasi saya tak kesampaian. Angelo dan  Chiara tak ada reaksi kagum sedikit pun. Datar-datar saja. Hampa. Sepertinya tak ada yang ekstraordinary dari bandara itu.

Tak putus asa. Chanel YouTube saya buka sambil menyasar panorama lain. Hamparan laut depan Labuan Bajo. Tentu dengan pulau-pulau, dan lintasan bibir pantai yang melingkari. “Mama mia… Che meravigliosa!,” reaksi terpana si Chiara. Sungguh luar biasa! Angelo bahkan berujar, “Tahun depan, kita mesti ke sana…”

Tak stop di situ. Video YouTube lalu kuteruskan ke Pulau Rinca dan Komodo. Tanpa kata, saya biarkan keduanya melahap adegan apa yang terjadi. “Oh, no…no..no”. Terlalu sadis rasanya saksikan beberapa komodo sekian ganas menyergap seekor kerbau besar. Terlalu menggetarkan untuk menyaksikan perilaku sebuas itu. Ada ketakutan akhirnya untuk tahun depan datang ke Komodo. Namun, tetap ada rasa kagum mengalami langsung kisah si dragon itu.

Keaslian Yang Terancam?

Hari-hari belakangan ini, Taman Nasional Komodo lagi jadi trending topic. Ada suara keras dari UNESCO. “Hentikan pembangunan infrastruktur pariwisata di Taman Nasional Komodo.”

Di surat resmi WHC/21/44.COM/7B, UNESCO punya alasan serius. Ini berdampak pada Nilai Universal Yang Luar Biasa (OUV). Dan lagi, bahwa pemerintah mesti memiliki Analisis Dampak Lingkungan. Tentunya bersifat komprehensif.

Gubernur NTT, Viktor Laiskodat, pun buka suara. Sudah ada keyakinan bahwa semuanya punya manfaat ekonomi yang luar biasa bagi NTT. Dan lagi untuk menjaga habitat komodo.

Namun opini dan optimisme sang gubernur bukannya tanpa tantangan.

Yakinkah bahwa semuanya berdampak ekonomis regional secara merata? Dunia ekonomi itu punya hubungan dengan dinamika pemasaran. Di situ pasti ada pelaku pasar yang bermodal. Jika kita berkiblat dominan mutlak pada para investor besar, maka akhirnya semua pembangunan infrastruktur itu justru jadi ancaman terhadap ekonomi lokal dan habitat rapuh di Taman Nasional Komodo.

Bahkan ada syak-wasangka yang tertenun dalam rasa ketidakadilan. “Masyarakat Komodo Terusir, Investor Justru Diberi Karpet Merah,” ( detik, 7.8.2021). Investor besar tentu minus hambatan untuk berkiprah dalam dunia bisnis. Yang dengan mudah pula masuk dalam berbagai entitas kemajuan. Ya, termasuk pariwisata ini.

Tetapi mari kita tinggalkan dulu dunia pariwisata yang berbau bisnis, pasar, modal, ekonomi dan investasi. Mari pulang pada gema hati Angelo dan Chiara. Ya, itu tadi. Tentang alam lingkungan penuh kegentaran dan ketertarikan. Mysterium naturale tremendum et fascinosum!

Tak Sekadar Bisnis

Kita mestinya tahu, Taman Nasional Komodo tak sekadar bisnis, modal, investasi di bawah payung besar peningkatan hidup ekonomi. Varanus Komodoensis dan alam lingkungannya adalah kelangkaan habitat.

TN Komodo harus tetap memiliki gaung mendebarkan. TN Komodo adalah mistik kosmik yang mesti dipertahankan.

Komodo sendiri punya naluri bawaan. Ia tak suka yang berisik, ribut-ribut dan segala gerak-gerik yang aneh.

Komodo dan habitatnya adalah hening dan sunyi sepih. Tak boleh tercemar oleh segala polusi apapun.

Kita (pemerintah) tentu punya harapan besar. TN Komodo bisa jadi daya tarik yang sungguh memikat. Dampak ekonomi tetaplah jadi primadona di balik semua pembangunan infrastruktur itu.

Psiko-Spiritual Pariwisata

Bagaimanapun, pariwisata itu berurusan dengan manusia nyata! Yang nyata itu tak  selamanya fisical sifatnya. Manusia itu beraura rohani-spiritual pula. TN Komodo tak boleh didandani ‘sejadi-jadinya’. Bawaan alamnya memang sudah asri dan indah dipandang. Tinggal ditata rapih untuk tampil teratur. Ibaratkanlah saja bagai gadis desa yang kalau memang aslinya ayu, tak usahlah dipoles-poles overdosis. Jadinya norak tak karuan sana-sini.

Yang spiritual itu pun berkaitan dengan mental yang terbaca dalam sikap dan perilaku. Kecantikan kota Labuan Bajo tak ditentukan semata oleh banyak hal baru dibangun. Ini pasti hanya jadi jebakan andaikan kecantikan tampilan ternyata berseberangan dengan perilaku dan kebiasaan minus dari masyarakat

Kita pasti harus bicara pula tentang perilaku buang sampah, tersedianya air bersih, pelayanan kesehatan, hospitalitas, serta keamanan dan kenyamanan! Tetapi, ada hal lain yang terdalam dari semuanya.

Masihkah Taman Nasional Komodo miliki alam kegaibannya? Katakanlah bahwa ia adalah  ‘kawasan sakral’ natural. Yang digentari serentak dirindui. Mistik kosmik itu bertautan  dengan admiratio, tremendum et fascinosum.  Manusia tak perlu campur tangan terlalu jauh dan penuh kasak-kusuk yang merusak dan mengganggu.

Sayang dan sungguh memprihatinkan, andai sepulang dari TN Komodo dan berjumpa dengan sang dragon, yang bergejolak di dada adalah rasa  keterlanjuran ‘buang-buang duit.’ Tanpa kesan alami nan teduh. Tiada pesan gaib yang ditimbah. Ketiadaan rasa angker yang menyetak dada.

Pariwisata sejatinya adalah juga ‘ziarah rohani’ dalam tatanan privacy. Di dalamnya ada pula kisah-kisah meditatif – kontemplatif. Yang memperkaya dunia  batin dan nilai  merasa.

Sepatutnya kita tahu dunia pariwisata, ya TN Komodo itu tetap memberi pesan dan makna kehidupan. Dari keaslian, keheningan, dan keangkerannya, kita bakal selalu memuji Tuhan, Pencipta kita. Dan semakin pula mencintai alam dan lingkungan. Dan bukannya kita terbelenggu tanpa daya begitu saja dalam kegaduhan dunia bisnis dengan segala mata rantainya.

Verbo Dei Amorem Spiranti

Penulis, rohaniwan Katolik, tinggal di Roma

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *