Oleh P. Kons Beo, SVD
Upaya kudeta Partai Demokrat (PD) akhirnya sudah jadi nyata. Kisruh PD itu sudah bikin geram kubu Ketum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Perang opini tak terbendung. Sesekali menyerempet ke soal-soal ad hominem criminalem. Semisal, sikat langsungnya Max Sopacua ke Andi Mallarangeng yang dianggap tidak layak bertahan di PD.
Di kepala Sopacua seorang koruptor sepantasnya tak usah bersarang lagi di PD. Kasus Hambalang telah jadi salah satu pemicu melorotnya pamor PD di mata rakyat (pemilih). Ini belum lagi saat ada bidikan-bidikan menyerang pribadi yang menyasar Andi Arief atau pun Roy Suryo.
Hingga kini, aksi-reaksi baku gigit kedua kubu (AHY vs Moeldoko) sarat menguasai media sosial. KLB itu ternyata bukanlah satu gertak sambal. Memang, kubu AHY sudah tajam mendengus akan terjadi apa yang diklaimnya sebagai GPK-PD (Gerakan Pengambilalihan Kepemimpinan PD) yang berujung KLB abal-abal.
Sekian banyak koment menyanjung AHY sebagai darah muda yang berani. Seorang mayor purnawirawan TNI yang punya nyali menantang Moeldoko, seorang pensiunan Jenderal TNI dan juga sebagai orang lingkar dalam istana. Bahkan kelewat bertaji hingga meminta klarifikasi Presiden Jokowi.
Sebaliknya, kubu kontra menilai AHY tak pantas uar-uar kisruh internal partai sambil menyeret pihak luar. Tinggal AHY buktikan saja kematangan leadershipnya. Bahwa ia sanggup menakhodai partai dalam apapun situasi sulit yang dihadapi. Apalagi AHY telah dipilih secara aklamasi pada 15 Maret 2020.
Sudah yakin akan bayang-bayang KLB bakal nyata, SBY tentu tak nyaman. “Meskipun sebenarnya masa saya sudah lewat, saya harus berjuang bersama saudara semua,” kata SBY penuh haru. Sebelumnya, SBY, dalam video yang diunggah pada Rabu, 24 Februari 2021 itu, juga terang-terangan mengungkapkan, “Menghadapi gerakan ini, sebagai Ketua Majelis Tinggi, saya harus turun gunung. Dengan rasa tanggung jawab dan kecintaan yang mendalam terhadap Partai Demokrat.”
Tak Mudah Panjat Tebing
Ternyata, SBY benar-benar berada di kaki gunung. Kini, secara nyata, ia alami sungguh situasi khaos yang menimpah PD. Harus hadapi konsekuensi politik dari KLB PD. HM Darmizal Ms cs benar-benar adalah simbol perlawanan yang nyata. Belum lagi bila mesti meratapi sikap politik Moeldoko yang dianggap tak punya rasa malu dan tak tahu berterima kasih.
Galau di hati tak dapat disembunyikan. Saling menyangkal keberadaan sah PD antara kedua kubu sekian buka-bukaan. Konflik ini muncratkan segala kejijikan yang pernah terjadi dalam PD di bawah komando SBY dan kini diestafetkan dalam sosok AHY. AD/ART yang jadi rujukan visi-komitmen sah internal partai, untuk sementara ini oleh kedua kubu hanyalah alat demi pembenaran diri serentak menegasikan yang lain.
Bagi kubu SBY-AHY, cacat hukum KLB mesti segera dipentaskan atas teropong AD/ART itu. Namun, bagi kubu Moeldoko, justru AD/ART itu telah dikangkangi demi memuluskan jalan AHY menuju kursi 01 PD. Ini belum lagi bila harus dilitaniakan segala dosa dan praktek ‘carpe diem’ SBY-AHY cs yang menggelikan di tubuh PD. Tentu di masa jaya, saat-saat tak terlalu tampak kubu-kubuan, betapa PD begitu di atas awan-gemawan. Begitu populer, dan memang populer. Artinya cepat diminati serentak cepat pula meredup dan ditepikan dalam hitungan persentase perolehan suara. Dari satu Pileg ke Pileg berikutnya ada di jalur menurun.
Tak semudah balikkan telapak tangan, SBY kini harus berhadapan dengan (mantan) orang-orang kunci PD. Sosok seperti Marzuki Ali, juga sebagai mantan Ketua DPR RI (2009-2014), misalnya, tentu tahu persis gelora, siasat serta zig-zag politik SBY dalam PD.
Konflik PD kini mesti berurusan dengan pembuktian legal standing dari pemerintah. “Saya pesan kepada seorang pengurus Demokrat kemarin. Saya pesan tolong Pak SBY dan AHY jangan tuding-tuding pemerintah begini, pemerintah begini.” Reaksi Pemerintah melalui Menkumham Yasonna sekian tegas, “Tunggu saja kita obyektif kok, jangan main serang yang tidak ada dasarnya.”
Yasonna sepertinya kesal. Macamnya kubu SBY-AHY itu ‘maen paksa-paksa na.’ Maunya pemerintah mesti gesit, segesit proses AHY terpilih jadi Ketum PD di 15 Maret tahun 2020 itu.
SBY kini lagi panjat tebing. Sambil meraba-raba dinding-dinding tebing yang tak pasti kuat dan rapuhnya demi kembali mencapai ‘alam PD yang damai.’ SBY memanjat dengan seribu rasa serta sejuta tanya tak pasti. Setegah itukah para mantan orang dekatnya yang kini membelot? Sendirikah Moeldoko bertarung ataukah ada kolaborasi dengan oknum XYZ? Tidak terlibatkah penghuni istana dan orang-orang di ring 1-nya? Sekiranya demikian, apa maksud semuanya ini? Betul kah pemerintah nantinya adil dan sejujur-jujurnya demi sebuah solusi yang elegan?
Berkah Terselubung
Tetapi, mari ditelisik sisi indah nan positif, sekadar the other side dari prahara PD. SBY pasti sanggup menarik berkah terselubung di balik kacau balaunya suasana PD. KLB Deli Serdang dan turun gunung serta panjat tebing-nya SBY bukannya suatu kesempatan yang berlalu begitu saja. Tanpa makna. Inilah kesempatan emas SBY hendak membuktikan bahwa sosoknya adalah tokoh yang mesti tetap diperhitungkan.
Pertama, ternyata SBY tetap punya nama dalam PD. Ketua Majelis Tinggi Partai bukanlah sekadar kerangka kosong jabatan yang diembannya. Dalam situasi khaos ini, SBY ingin menunjukkan dirinya tetap punya power untuk jadi mata perhatian publik dan terlebih bahwa ia masih punya pengaruh untuk menggoyang istana (pemerintah).
Kedua, adalah citra SBY demi Partai Demokrasi. Identifikasi PD dengan SBY mesti ditempatkan pada jalur yang ‘sebenarnya’ dan ‘seharusnya’. Artinya, SBY sungguh punya andil langsung demi berdirinya PD. Meminjam kalimat Herman Khairon, “Pak SBY adalah penggagas, pendiri, dan saat ini sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai’.
Tesis-tesis seperti ini perlu dibangun untuk membungkam serangan kubu pro KLB yang, atas dasar sejarah, punya bukti bahwa SBY ‘datang terlambat’ setelah PD disahkan berdirinya.
Di sisi selanjutnya, karena KLB Deli Serdang, SBY punya peluang mengerahkan kekuatan demi membuktikan bahwa PD itu bukanlah Partai berwajah dan benafas dinasti. PD, dalam SBY-AHY, tetap dalam marwah demokratis dan modern.
Ketiga, bahwa karena KLB, SBY mesti memperlihatkan dirinya sebagai bapak penjamin ketenangan cita-cita bagi kedua putranya AHY dan EBY (Edhie Baskoro Yudhoyono). 16 tahun pengalaman militer belumlah cukup bagi AHY untuk membawa kendaraan PD. Masih terlihat bagai sopir tembak. SBY, sebagai ayah, tak sanggup melihat bahwa AHY putranya dipaksa turun begitu saja di tengah jalan.
Maka, bisa dipahami apa yang disentil oleh Hengky Luntungan, pendiri Partai Demokrat, “Sekali lagi saya harus sampaikan ini agar tidak terjadi sebuah dinasti yang sangat berat. Turun gunungnya seorang Majelis Tinggi (SBY) bukan untuk membela partai, melainkan untuk membela anaknya.”
SBY harus membuktikan bahwa ia adalah orangtua yang baik dan penyayang. Andaikan saja bahwa kini sedikit terganggulah hati SBY manakala terdengar betapa Gibran Rakabuming, putra Jokowi, mulai perlahan-lahan menanjak di Solo. Dan bahwa Bobby Nasution, sang menantu Jokowi pun sudah tampil di publik Kota Medan.
Keempat, kisruh KLB kini tak sekadar bakalai karena soal internal PD. Nyatanya, ia lalu melebar pada kepiawaian SBY dalam Pilpres 2004 dan 2009 yang mengantarnya ke istana. Tapi urusan tak kasat mata ini agaknya lemah bagi publik bila dibandingkan dengan litania dosa SBY selama menjabat. Banyak proyek jadi mandek terbengkalai yang berakar dari kasus-kasus korupsi masif. Dalam pada itu kepemimpinan Jokowi dan segala pencapaiannya yang tampak di mata, sepertinya jadi butir-butir perbandingan bagi pemerintahan SBY sebelumnya.
Karenanya, KLB harus dilihat juga sebagai peluang tegas bagi SBY dan kubunya untuk mendapatkan (kembali) hak atas PD yang telah dikudeta. Karena (hanya) dengan cara itu, akan tersedialah kendaraan sah untuk kembali menuju istana. Setidaknya dalam diri sang putra (AHY). Dan di kesempatan itulah, segala dosa SBY akan bisa terbayarkan. Itu pun bila mendapatkan mandat mayoritas rakyat dan ada kehendak baik demi rakyat di Republik Indonesia tercinta ini. Memang benarlah si bijak, “Di balik setiap kisruh, tetap ada nilai yang tersembunyi yang mesti dicari sepenuh hati.” Itulah berkah terselubung.
Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro-Roma