JAKARTA KABARNTT.CO–Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan No. 91/PUU-XVIII2021 mengabulkan permohonan pemohon terkait pengujian formil UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).
Merespon keputusan MK itu, Dr. Umbu Rauta, Dosen Hukum Tata Negara,
Direktur Pusat Studi Hukum & Teori Konstitusi Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, kepada media ini, Kamis (25/11/2021), mengatakan agar keputusan MK itu segera ditindaklanjuti.
Seperti diketahui, pada amar putusan dinyatakan bahwa pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan ini diucapkan.”
Karena putusan bersifat ‘bersyarat”, MK menyatakan bahwa UU Cipta Kerja tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu yang telah ditentukan.
Pada bagian amar lainnya, MK juga memerintahkan pembentuk UU untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama dua tahun. Manakala tidak melakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen. Dampaknya, undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja, dinyatakan berlaku kembali.
Berkenaan dengan putusan MK tersebut, Umbu Rauta memberikan sejumlah pendangan.
Pertama, sifat putusan MK yaitu mengikat (binding) sejak diucapkan. Karena itu pembentuk UU, utamanya pemerintah selaku inisiator mengajukan sebagai salah satu agenda Prolegnas 2022, dengan pintu masuk Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka sebagai dampak putusan MK. Bahkan dijadikan Prolegnas prioritas tahun 2022.
Kedua, kata Umbu Rauta, perintah dalam putusan MK yaitu agar pembentuk UU melakukan perbaikan sehingga arah perbaikan lebih pada pewujudnyataan asas pembentukan, tata cara dan teknik penyusunan UU sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundangan-undangan, sebagaimana diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019.
Ketiga, implementasi atau pewudnyataan Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres), bahkan Peraturan Menteri atau Lembaga mesti dilakukan secara selektif atau bahkan ditunda, manakala bersifat strategis dan memiliki dampak yang luas bagi masyarakat.
Keempat, rencana pembentukan regulasi di tingkat daerah sebagai penjabaran dari UU Cipta Kerja atau PP atau Perpres terkait perlu ditangguhkan sambil menunggu perbaikan UU Cipta Kerja.
“Pada sisi yang lain, manakala pemerintah dan DPR selaku pembentuk UU meyakini adanya perbaikan pembentukan UU Cipta Kerja sebelum jangka waktu yang ditentukan, maka tidak terlalu sulit dan rumit untuk terus menjalankan materi muatan UU Cipta Kerja,” kata Umbu Rauta.
Menurutnya, putusan MK ini menjadi pelajaran berharga bagi pembentuk UU untuk secara cermat memperhatikan asas pembentukan dan asas materi muatan dalam pembentukan UU.
“Apalagi dengan UU bermetode omnibus law,” kata. (den)