KUPANG KABARNTT.CO—Tidak mau jadi soal nanti, Komisi III DPRD NTT mengundang tiga orang pakar hukum, keuangan dan ekonomi untuk berdiskusi terkait rencana pinjaman senilai Rp 1,5 triliun oleh Pemerintah Provinsi NTT.
Tiga pakar yang diundang dalam rapat di Ruang Rapat Komisi III DPRD NTT, Senin (31/5/2021) itu yakni Dr. John Tuba Helan (pakar hukum), Fridz Fanggidae (pakar ekonomi) dan Bibiana Rere (pakar akuntansi).
Ketiga pakar ini diundang untuk memberikan penjelasan dan pertimbangan terkait pinjaman dana PEN untuk pembanunan infrastruktur jalan yang akan dipinjam oleh Pemerintah Provinsi NTT itu.
Dalam diskusi tersebut mengemuka kesimpulan bahwa dari analisa ekonomi jika pinjaman tersebut dipaksakan, maka APBD NTT akan sangat terganggu. Karena pembiayaan bunga pinjaman akan ditanggung oleh APBD jika skenario investasi tidak menghasilkan keuntungan.
Karena itu Pemprov NTT harus mencari jalan keluar yang lebih efaktit dan tidak mengganggu APBD.
Ketua Komisi III DPRD NTT, Hugo Rehi Kalembu, mengatakan DPRD hanya mengawasi dari segi prinsip sesuai dengan PP Nomor 56 Tahun 2018, yakni tranparansi, akuntable, efektif dan efisien serta hati-hati.
“Dengan prinsip itu kami minta pendapat para pakar untuk mengkaji secara hukum, ekonomi dan akuntansi,” kata Hugo, yang juga Ketua Fraksi Golkar NTT.
Hugo menegaskan, saat ini DPRD NTT bukan pada posisi setuju atau tidak setuju. “Kita dalam posisi mempelajari agar uang pinjaman ini yang kelihatannya nanti tidak dikelola dengan baik memberatkan APBD, berarti memberatkan rakyat juga, sehingga memang kita diskusikan dan kita melakukan modifikasi-modifikasi yang lebih menguntungkan,” tegasnya.
Menurut Hugo, posisi DPRD adalah berusaha memberikan rekomendasi-rekomendasi sesuai dengan aturan dan kajian-kajian yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan begitu pinjaman itu benar-benar dapat bermanfaat.
Namun dalam diskusi dengan tiga pakar, dicapai kesimpulan sementara bahwa pinjaman tersebut sangat memberatkan APBD dan tentunya nanti akan memberatkan kepala daerah yang baru, karena pinjamannya mencapai 8 tahun.
“Sesuai dengan kajian para pakar hukum, ekonomi dan akuntansi belum memenuhi beberapa kriteria yang dipersyaratkan. Dari segi hukum harus memperhatikan hukum dan ketentuan yang lain seperti UU Pendidikan, UU Kesehatan, PP No 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah,” imbuhnya.
John Tuba Helan yang diundang untuk mengkaji dari perspektif regulasi (hukum) mengatakan, jika merujuk PP Nomor 43 tahun 2020 memang pinjaman daerah tidak memerlukan persetujuan, kepala daerah cukup menginformasikan kepada DPRD.
“Namun masalah pinjaman dana PEN yang mencapai Rp 1,5 triliun sudah masuk dalam APBD tahun 2021 yang ditetapkan pada tanggal 30 November 2020. Artinya bahwa DPRD harus memberikan persetujuan, tetapi persetujuan waktu itu adalah tanpa bunga, maka ketika saat ini terjadi perubahan regulasi terhadap pinjaman tersebut dengan dikenakan bunga, maka bunga itu tidak menjadi substansi persetujuan DPRD dalam penandatanganan pinjaman dana PEN tersebut,” beber Tuba Helan.
Dengan demikian, kata Tuba Helan, jika pemerintah memaksakan untuk melakukan pinjaman tanpa berkoordinasi ulang dengan DPRD, maka itu akan menyalahi aturan yang berlaku.
“Pinjaman dengan suku bunga 6,19 persen tersebut pemerintah harus melakukan pembahasan kembali dengan DPRD supaya beban bunga ini harus melalui persetujuan oleh dua belah pihak. Jika tetap dipaksakan tanpa ada persetujuan kembali dengan DPRD maka sangat menyalahi aturan sesuai dengan regulasi yang terjadi,” kata Tuba Helan.
Menurutnya, agar pinjaman tidak mengganggu APBD, maka pemerintah harus memantapkan semua skenario investasi untuk pengembalian bunga dana PEN tersebut sebelum melakukan pinjaman.
Namun jika dipaksakan tanpa skenario yang matang, maka APBD akan goyang karena bunga pinjaman dana PEN yang cukup tinggi akan dibebankan kepada APBD.
“Jika skenario pengembalian tidak mendukung pengembalian bungan pinjaman, maka APBD akan terbebani karena harus menanggung pinjaman PEN tersebut. Karena pinjaman ini hanya untuk pembangunan infrakstuktur jalan, maka pemerintah harus menyiasati untuk dianggarkan pada anggaran murni tahun yang akan datang, tanpa harus melakukan pinjaman dengan suku bunga pengembalian yang cukup tinggi,” katanya.
Sementara Rere Liliana yang diminta untuk membuat kajian tentang pemenuhan syarat teknis untuk pinjaman dana PEN yang diatur dalam PP Nomor 43 tahun 2020 dan diatur lebih lanjut dalam PMK 105 tahun 2020 menjelaskan, sesuai kajian ekonomi pinjaman dana PEN sudah melebih 75 persen dari dana umum daerah sehingga tidak memenuhi syarat.
Sedangkan rasio dengan kemampuan keuangan daerah untuk pengembalian dana pinjaman PEN kurang dari 2,5 sehingga hasilnya juga tidak memenuhi syarat.
“Dalam kajian secara ekonomi, pinjaman tersebut belum memenuhi syarat sehingga pemerintah harus mengkaji ulang dalam skenario-skenario yang menjadi skema pengembalian,” kata Liliana.
Sementara Fridz Fanggidae membedahnya dari perspektif akuntansi. Menurutnya, ada dua skema dalam pengembalian bunga, ada bunga menurun dan bungat flet, tergantung pemerintah yang memilih skema tersebut dengan tenor jangka waktu 8 tahun.
“Namun memang dengan suku bunga yang mencapai 6,19 persen jika skenario-skenario yang disiapkan pemerintah tidak berjalan bagus atau tidak menguntungkan, maka sangat membebani APBD,” kata Fanggidae.
Jika tidak mau mengganggu APBD, kata Fanggidae, makan skenario lainnya adalah menaikkan PAD, sehingga pemerintah perlu mengoptimalkan aset-aset daerah di seluluh kabupaten/kota agar memberikan pemasukan untuk menutupi pengembalian tersebut.
Fanggidae mengingatkan, pinjaman ini juga akan berdampak pada pemerintahan yang baru. Menurut hitungannya, sisa pengembalian yang harus dibayar pada gubernur masa berikut mencapai Rp 924 miliar dengan skema bunga evektif atau menurun. Sedangkan untuk skema bunga flet pengembaliannya mencapai Rp 1,2 triliun. (np)