KUPANG KABARNTT.CO—Pemerintah Kota Kupang, melalui Bagian Sumber Daya Alam Setda Kota Kupang, menggelar Focus Group Discussion (FGD) tentang Penyusunan Kebijakan dan Strategi Pengolahan Sampah Rumah Tangga di Kota Kupang, Rabu (28/4/2021), di Aula Sasando lantai 3 Kantor Walikota Kupang.
FGD dibuka Sekda Kota Kupang, Fahrensy P. Funay, SE, M.Si, dan menghadirkan beberapa narasumber di antaranya Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi NTT, Ondy Christian Siagian, SE, M.Si, Kadis Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Kupang, Orson G. Nawa, SH, dan tenaga ahli dari Undana Kupang, Dr. Ir. Ludji Mikhael Riwu Kaho, M.Si dan Ir. Charles Kapioru, MS.
Sementara peserta FGD terdiri dari para lurah, OPD teknis, aktivis penggiat sampah dan dari Perusahaan Daerah Pasar.
Dalam sambutannya, Sekda Kota Kupang, Fahrensy Funay, mengungkapkan, pengolahan sampah telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008, bahwa pengolahan sampah adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah.
Namun diakui Fahrensy, rantai panjang pengolahan sampah ini banyak mengalami kendala dan permasalahan.
Hal ini, menurut Fahrensy, disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya keterbatasan kemampuan pemerintah, masih rendahnya partisipasi swasta dan masyarakat, serta meningkatnya jumlah dan jenis sampah setiap tahunnya.
”Keterbatasan sumber daya yang dimiliki pemerintah menyebabkan cakupan pelayanan pengolahan sampah yang masih rendah. Sampah juga tidak dipilah atau diproses terlebih dahulu ketika diangkut dari TPS (tempat penampungan sementara) ke TPA (tempat pemrosesan akhir). Akibatnya sampah bercampur antara sampah organik, anorganik, dan limbah B3,” ungkap Fahrensy.
Menurut Fahrensy, sampah yang bercampur dalam jumlah banyak ini mengakibatkan beban TPA menjadi sangat berat.
”Dampak yang dapat ditimbulkan selain pencemaran lingkungan, juga meningkatnya biaya operasional, dan munculnya potensi konflik sosial. Sedangkan keterlibatan pihak swasta masih terbatas pada daur ulang sampah anorganik, seperti plastik, kertas, kaca dan logam. Padahal, jumlah sampah organiklah yang mendominasi total sampah yang dihasilkan setiap tahun,” urainya.
Diungkapkan Fahrensy, berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, tahun 2019 jumlah sampah di Indonesia telah mencapai sekitar 66-67 juta ton. Ini lebih banyak dari rata-rata jumlah sampah per tahun yang mencapai 64 juta ton yang didominasi sampah rumah tangga yakni mencapai 63,95% dari jumlah tersebut.
Menurut Fahrensy, pengurangan sampah paling efektif sebenarnya dapat dimulai dari sumber penghasil sampah terbesar, yaitu rumah tangga (reduce at source).
”Di sini diharapkan peran masyarakat perkotaan untuk terlibat secara langsung dalam pengelolaan sampah dari rumah masing-masing, dengan membiasakan diri memilah sampah menjadi 2 bagian yaitu sampah organik dan anorganik,” jelasnya.
Sampah organik, kata Fahrensy, dapat diolah menjadi kompos baik untuk menanam tanaman hias dan juga sebagai media tanaman sayuran dan buah-buahan di lingkungan permukiman sehingga dapat meningkatkan gizi keluarga disamping menghemat belanja rumah tangga.
Sementara dari sisi kesehatan tentunya rumah menjadi lebih bersih, tidak ada lagi penumpukan sampah yang menimbulkan bau dan sumber penyakit.
Fahrensy berharap FGD ini dapat menggali persoalan-persoalan terkait pengolahan sampah di Kota Kupang guna penyusunan kebijakan dan strategi pengolahan sampah rumah tangga dan rencana aksi penyusunan ranperda tentang pengembangan sistem dan pengelolaan persampahan di Kota Kupang.
Sebelumnya dalam laporan panitia penyelenggara yang disampaikan Kabag SDA Setda Kota Kupang, Maria Magdalena Detaq, S.Ip, pengolahan sampah di Kota Kupang umumnya dilakukan oleh Pemerintah melalui DLHK Kota Kupang sesuai Perda Nomor 03 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga dan Perda nomor 04 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pengurangan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
Dikatakan Detaq, kedua Perda ini belum mampu membawa perubahan yang signifikan dalam pengelolaan sampah di Kota Kupang. Hal ini sesuai fakta dimana div tahun 2019 saat penilaian adipura dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menepatkan Kota Kupang termasuk 5 kota berstatus kota terkotor dari 369 kabupaten/ kota.
Hasil penilaian tersebut, kata Detaq, terkait dengan pengelolaan TPA di Kota Kupang karena masih menerapkan sistem pembuangan terbuka (open dumping), dan Pemkot Kupang belum memiliki Dokumen Kebijakan dan Startegi Daerah (JAKSTRADA) terkait pengolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga. (pkp_ghe)