Pemerkosaan Anak di Karot Ruteng, Ini Kata Pemerhati Sosial

RUTENG KABARNTT.CO–Kasus pemerkosaan ayah terhadap anak kandung yang terjadi di Karot, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT), menuai protes dari berbagai kalangan.

Direktur Yayasan Mariamoe Peduli (YMP), Albina Redemta Umen, S.Psi, dalam keterangan persnya, Senin (13/9/2021), menegaskan, sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang selama ini bekerja dalam banyak isu sosial, salah satunya isu anak, sangat menyayangkan kejadian ini.

Bacaan Lainnya

“Apalagi perbuatan bejat tersebut dilakukan seorang bapak berinisial  FJ (40 tahun) menyetubuhi anak kandungnya yang masih duduk di bangku SMP,” ungkap Albina.

Albina menerangkan, dalam berbagai kesempatan pihaknya selalu mengingatkan bahwa kejahatan pada anak adalah kejahatan pada kemanusiaan. Sebagai lembaga pemerhati masalah sosial, pihaknya akan memberi respon pada dua hal.

“Poin pertama, pada sisi penanganan korban secara sosial termasuk situasi kekerasan pada anak berdasarkan studi rutin yang kami lakukan. Kedua pada kajian psikologis terhadap korban,” katanya.

Pada kajian psiko sosial, kata Albina, kejadian ini adalah fenomena gunung es. Data YMP memperlihatkan bahwa trend kekerasan pada anak dalam 5 tahun terakhir cenderung meningkat. Peningkatan yang signifikan terjadi dalam dua tahun terakhir, selama masa pandemi.

Data kunjungan di lembaganya terkait dengan anak meningkat 70%  dibandingkan bulan yang sama 3 tahun lalu. Kekerasan yang dialami anak dari kekerasan non verbal, verbal, penelantaran, perebutan hak asuh anak, keretakan keluarga, kekerasan fisik, kekerasan seksual, pelecehan, penolakan, incest, kekerasan oleh guru, kekerasan oleh orang tua tiri, kekerasan oleh tokoh agama, tokoh masyarakat, dan lain-lain.

Menurutnya, ada soal yang serius dengan situasi sosial tetapi berjalan dalam diam karena masih dianggap sebagai urusan privat/domestic. Banyak kasus yang penyelesaiannya dalam diam. YMP sendiri dalam banyak pernyataan sudah memberikan catatan serius soal ini :

  1. Kasus kekerasan pada anak/kasus bunuh diri pada anak, memperlihatkan suasana psikologis masyarakat yang sedang ‘bopeng’, dan butuh kerja ekstra mengurai soal ini. “Studi kami memperlihatkan ada ceruk yang sangat dalam  yang mengambarkan lemahnya pengetahuan pola pengasuhan pada masyarakat kita. Klusternya ada di mana-mana. Rumah, sekolah, kantor, lingkungan bermain,” beber Albina.
  1. Pendekatan terhadap maslah anak tidak akan selesai dengan selebrasi perayaan yang sifatnya leap service, memberi hadiah, atau apapun tanpa mengetahui konstruksi psikologi dan sosialnya secara rinci.
  2. Pola penanganan kasus perempuan dan anak perspektifnya pada pelaku. Memenjarakan pelaku seolah-olah masalah selesai, lupa kalau ada korban yang lebih penting untuk segera ditangani dan diselamatkan hidupnya. Denda dan penjara mungkin akan memuaskan orang tua dan keluarga tapi tidak akan menyembuhkan korban.
  3. Masalah kita ada di rumah. Jadi yang harus ditreatmen adalah rumahnya. Rumah itu pabrik, dan anak itu hasil pabrikannya. Program seringkali kali didesain langsung ke anak, dan melupakan sumbernya. “Ingat anak adalah akibat. Sumber dan penyebabnya di luar anak. Maka hati-hati merumuskan kebijakan terkait isu anak kalau prespektifnya masih soal akibat bukan menyelesaikan penyebabnya,” tegasnya. (obe)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *