Pasola selalu menghadapkan dua kubu, yakni kubu dari “Kodi Bokol” yang terdiri atas sekurangnya 22 suku (antara lain Bukubani, Wei Karoko, Wei Ratu Rambi, Watu Pakadu, Hambali Atur, Bahewa, Mabaha, Mete, Wondo, Ndelo, Kere Homba, Pakare, Nggalu Watu dll) dan suku dari “Mbali Hangali” (Wei Kadoki, Bondo Maliti, Kere Tana, Toda, Bondo Kawango, Malere, Malandi, Waikahumbu,Bongu, Bondo Kodi, Rambi, Pou Dawa, Ngi Pyandak, Bondo Maliti, Bondo Kamodo, Malandi dll).
Ketika Rato Loghe masih menjadi Raja Kodi dan kemudian digantikan oleh keponakannya Rato Ndera Wulla, suku-suku dari Kodi Bangedo belum ikut bergabung dalam atraksi saling lempar lembing dari atas kuda ini.
Namun pada tahun 1920, setelah Belanda masuk ke Sumba, suku-suku dari Kodi Bangedo (antara lain: Waidimu, Mehang Mata, Homba Wawi, Balengger, Rangga Baki, Pakare, Hali Kandangar, Ngahu Watu, Parona Baroro dll) mulai ikut serta dan bergabung dengan Mbali Hangali. Bagaimana pun suku-suku ini hidup bertetangga.
Karena korban jiwa yang ditimbulkan dalam setiap atraksi pasola cukup banyak—maklum dulu pakai tombak benaran—pada tahun 1930 Belanda mulai melarang tombak, dan diganti kayu tumpul.
Pasola pun diarahkan sebagai perayaan kegembiraan bersama seluruh wilayah Kodi, Bangedo, Balaghar, hingga Wanokaka.
Sekitar tahun 1945 Raja Ndera Wulla meninggal. Kekuasaan dipegang oleh Raja HR Horo dari Rangga Baki, Bangedo. Pada upacara pelantikannya ia memerintahkan pertunjukan pasola di lapangan antara Rangga Baki dan Ratenggaro.
Pada tahun 1950-an pasola di tempat baru ini telah masuk ke dalam “kalender” adat di Kodi.
Tahun 1970-an pemerintah daerah sudah mulai terlibat secara resmi mengurus pasola. Pasola menjadi event seni tahunan yang dibuka untuk orang luar, yakni para turis dari luar Sumba dan luar negeri. Terutama pasola di Wanokaka, sebab mudah dijangkau dari Waikabubak, Ibukota Kabupaten Sumba Barat.
Dulu pulau Sumba hanya terdiri atas dua kabupaten: Sumba Barat dan Sumba Timur.
Sementara di Kodi sendiri, jalan belum diaspal sampai akhir tahun 1980-an. Namun sudah ada rombongan turis yang naik satu-dua bus yang “diborok” (disewa) untuk menonton pertunjukan ini.
Secara perlahan namun pasti terjadi transisi atraksi pasola dari kegiatan “ritual” menjadi pentas yang “ditonton”.
Kini atraksi pasola selain dilaksanakan di Kodi, juga dapat disaksikan di Bangedo, Balaghar, Wanokaka dan Lamboya. Waktunya pada penghujung Februari hingga pertengahan bulan Maret.
Sialnya, beberapa tahun lalu terjadi selisih paham. Dinas Pariwisata di sebuah kabupaten menentukan sendiri “kalender” pasola tanpa berembug dengan para rato Marapu sebagai pemegang mandat asli dari ritual nale (di mana pasola termasuk di dalamnya).
Ya, kerap kebutuhan akan nama besar dan uang telah membutakan mata! (alex japalatu)