Oleh Tony Kleden
Saya lupa persis waktunya. Hanya ingat tahun. Tahun 1996. Baru beberapa bulan bergabung di Pos Kupang. Kota Kupang waktu itu ramai sekali dengan angkutan kota alias bemo itu.
Suatu ketika saya meliput kegiatan sosialisasi HIV/AIDS di kampus Unkris Kupang. Penyelenggaranya Yasmara. Yang berbicara antara lain Hironimus Soriwutun. Tetapi di acara itu hadir juga Frans Lebu Raya. Frans Lebu Raya adalah Direktur Yasmara.
Jujur, sebelum itu saya tidak pernah dengar nama Frans Lebu Raya. Mengenali wajahnya pun tidak. Di Unkris itu pertemuan dan interaksi pertama. Kami jadi akrab. Terutama setelah saling kenal dan tahu sama-sama dari Flores Timur.
Usai acara hari itu, sekitar pukul 13.00, saya bergegas kembali ke kantor. Tak dinyana, Frans Lebu Raya minta pulang bareng.
Berdua kami jalan kaki menuju gerbang Unkris. Menunggu bemo dari arah Penfui. Seperti biasa di bemo harus berdesak-desakan. Membaur dengan penumpang lain dan para mahasiswa. Belum lagi musik dengan volume keras menghentak-hentak.
Di halte di depan Gereja Katedral Kupang kami turun. Sudah lepas tengah hari. Perut minta diisi. Warung makan di halte tidak ada. Berdua kami putuskan lanjut naik bemo. Kantor Yasmara di Jalan Noelmina, di belakang kampus lama Undana, Jalan Soeharto. Kantor Pos Kupang di Jalan Kenari, jalan masuk Pasar Inpres dari Jalan El Tari.
Berdua kami turun di depan percetakan Silvia. Hotel Silvia belum ada. Di sebelahnya ada warung makan. Warung Pos Kupang. Biasa disebut begitu. Satu selera, selera anak kampung, kami pesan nasi plus ikan bumbu. Nikmat nian untuk orang bujangan seperti kami. Usai makan kami berbagi jalan. Ke kantor masing-masing. Jalan kaki.
Pertemuan pertama itu sungguh berkesan. Saya membatin. Kami ini sama-sama dari kampung. Anak kampung. Mengadu nasib di Kupang. Di ibukota provinsi. Susah di kampung itu sudah biasa. Menahan lapar juga teramat biasa. Penampilan sederhana, apa adanya itu lumrah.
Saya ingat pakaian Frans Lebu Raya ketika itu. Baju kaos berkrah bergaris merah. Celana panjang kain kaki lebar menyapu jalan. Dia tidak pakai sepatu. Sandal sepatu warna coklat jadi alas kakinya.
Sepanjang berinteraksi dengannya sebelum jadi orang penting dan kemudian jadi nomor satu di NTT, saya tidak pernah melihat pria Adonara ini mengenakan kemeja. Selalu saja baju kaos berkrah dengan garis-garis merah.
Setelah pertemuan itu, interaksi semakin sering. Terutama untuk agenda-agenda liputan. Pertemuan demi pertemuan itu menghangatkan dan merekatkan persahabatan.
Peristiwa 27 Juli 1996 yang disebut dengan Peristiwa Kudatuli (kerusuhan dua puluh tujuh Juli) mengubah konstelasi politik di negara ini. Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pecah dua. Kubu bentukan pemerintah dan kubu Megawati Soekarnoputri. Pemerintah ‘ambil alih’ PDI. Sedangkan Megawati dirikan PDIP.
Di NTT Anton Haba (alm), Frans Lebu Raya dan sejumlah aktivis kampus menakhodai PDIP. Anton Haba kemudian digantikan Frans Lebu Raya. Sejak menakhodai PDIP NTT itulah, bintang Frans Lebu Raya mulai bersinar.
Bulan Mei 1998 Soeharto jatuh. Indonesia masuk era reformasi. Eforia menyambut era reformasi itu menggema di seantero negeri. Banyak yang berubah. Kehidupan dan iklim politik juga berubah total. Partai baru berumunculan dari sebelumnya hanya tiga. Dewan Perwakilan Rakyat/Daerah (DPR/D) hasil Pemilu 1997 dipangkas masa berlakunya. Indonesia menggelar pemilu legislatif 1999.
Pada pemilu 1999 ini Frans Lebu Raya tembus ke Gedung DPRD NTT. PDIP keluar sebagai partai pemenang kedua di DPRD NTT, Frans Lebu Raya duduk sebagai Wakil Ketua DPRD NTT. Menjadi Wakil Ketua DPRD NTT, menurut saya, menjadi tonggak awal yang sangat penting dan menentukan kiprah selanjutnya Frans Lebu Raya di kancah politik NTT.
Dan, sejarah provinsi ini mencatat Frans Lebu Raya menjadi Wakil Gubernur NTT satu periode (2003-2008) dan kemudian menjadi Gubernur NTT dua periode (2008-2018).
Tentu sebagai pejabat negara yang mesti diatur secara protokoler, penampilan Frans Lebu Raya berubah. Pakaiannya mesti disesuaikan dengan jabatannya. Tidak bisa lagi berbaju kaos di acara-acara umum. Sandal sepatu juga tidak bisa lagi.
Kami kemudian makin jarang bersua. Kecuali via sms. Meski begitu kedekatan emosional tetap seperti biasa. Sewaktu anak sulung saya sambut baru 2010, Frans dan Nyonya Lusia datang. Sejumlah pejabat provinsi juga hadir. Keduanya larut dalam acara. Duet dengan Nyonya Lusia membawakan tembang wajib ‘Anggur Merah’.
Saya manfaatkan kesempatan untuk protes sesuatu. Kami ini penumpang dasar, penumpang dari terminal. Tidak banyak. Tetapi sama-sama dari terminal. Berbeda dengan begitu banyak orang sekarang di sekeliling ama (saya memanggilnya ama). Mereka itu (maaf) penumpang di tengah jalan, yang bertemu ama ketika ama sudah di puncak kekuasaan. Jangan lupa kawan lama.
Seperti biasa, Frans hanya menebar senyum. Tetapi memori saya tentang Frans, ya baju kaos berkrah itu. Demikianlah Frans Lebu Raya identik dengan baju kaos berkrah dengan garis-garis merah.
Baju kaos itu hanya kain. Fungsinya cuma menutup badan. Sandal sepatu juga hanya alas kaki. Gunanya menjaga telapak kaki agar tidak cedera. Tetapi secara sosial cara berpakaian, pilihan kain, model pakaian juga merepresentasikan watak, sifat dan bahkan juga karakter si pemakainya. Tegasnya, pakaian yang dikenakan juga menunjukkan jati diri si pemakainya.
Dengan lebih sering mengenakan baju kaos dan sandal sepatu, Frans Lebu Raya secara sadar memperlihatkan jati dirinya. Jati diri sebagai anak kampung dari pedalaman Adonara. Jati diri sebagai anak seorang petani sederhana. Jadi diri sebagai anak yang bukan datang dari kalangan berpunya. Dia juga bukan seorang pengusaha dengan rekening gendut yang mau kemudian terjun ke panggung politik. Kerasnya hidup dan derita nestapa adalah irama hidupnya saban hari.
Kondisi hidup seperti ini, irama hidup yang keras ini kemudian sangat kental mewarnai sepak terjang, penampilan dan gaya kepemimpinannya baik di panggung politik juga kemudian ketika menjadi pemimpin (Wakil Gubernur dan Gubernur NTT).
Komunikasinya sangat baik. Nada bicaranya lembut dan tidak meledak-ledak. Tidak seperti kebanyakan orang Adonara (maaf). Senyuman selalu menghiasi wajahnya. Tak heran, siapa pun yang meski baru pertama bertemu dengannya akan langsung merasakan hubungan yang tanpa jarak. Frans tidak membuat jarak dengan siapa saja. Para pejabat provinsi, para bupati di NTT, karena itu, tidak cemas, apalagi takut menghadapinya. Itu hanya karena Frans mau keluar dari domus surea (rumah kencana), turun dari singgasana kekuasaan yang sebenarnya membuatnya nyaman, tetapi sekaligus juga memenjarakannya.
Beberapa kali bersamanya mengunjungi masyarakat di desa-desa, kesan kuat yang selalu tertangkap dari masyarakat adalah empati dan simpati masyarakat terhadapnya.
Sekali waktu ketika masih menjabat sebagai Wakil Gubernur, sekelompok warga di Lewa, Sumba Timur menghadang kendaraan yang ditumpanginya dari Waikabubak. Tidak ada mobil pengawal dari kepolisian yang meraung-raung memberi sinyal ada pejabat yang lewat. Para penghadang di Lewa tidak tahu pasti siapa yang ada di kendaraan.
Saya hanya bisa terkaget-kaget menyaksikan warga yang tadinya menghadang tertunduk memberi salam dan menciumnya. “Oh, orang ini yang nanti jadi gubernur kita. Kami sudah lihat mukanya di koran,” kata warga spontan.
Gaya kepemimpinannya humanis. Mengedepankan sisi kemanusiaan. Emosinya dikontrol dengan baik. Terbukti tidak banyak kegaduhan di ruang publik selama sepuluh tahun Frans memimpin NTT. Soal dan masalah, pasti selalu ada. Tetapi Frans mampu mengelolanya dengan baik.
Tekadnya untuk menggapai sesuatu luar biasa. Untuk dan atas nama kepentingan masyarakat banyak, Frans mau buat apa saja. Provinsi koperasi, provinsi kepulauan, provinsi ternak, provinsi cendana, itu sebagian dari ide dan gagasannya untuk kemajuan NTT.
Pada masa kepemimpinannya, Presiden Jokowi berkali-kali ke NTT, terutama untuk pembangunan bendungan-bendungan besar. Semua bendungan besar yang sudah ada dan sedang dikerjakan sudah dalam desain pemerintah pusat pada masanya.
Jujur, Frans bukan orator yang hebat. Tetapi dia seorang pelobis handal. Gaya dan pendekatannya melobi luar biasa. Bermula dari peringaan Hari Pers Nasional 2011, Frans mampu meyakinkan pemerintah pusat untuk bisa menjadi tuan rumah iven-iven besar skala nasional. Dua kali gelaran Tour de Flores (TdF) mempunyai resonansi kuat mengangkat dunia pariwisata NTT ke dunia internasional. “Kalau saya mau sesuatu, tembok juga saya akan tembus,” katanya sekali waktu.
Pendekatan dan sasaran pembangunan yang digelorakannya betul pro rakyat. Notion dan passion-nya lebih banyak untuk rakyat. Program Demam (Desa Mandiri Anggur Merah) diingat dan dikenang masyarakat sebagai program yang benar-benar pro rakyat dan ada di tengah rakyat. Dana miliaran rupiah disalurkan ke desa-desa melalui program Demam. Itu riil. Bukan mengada-ada. Apalagi fiktif. Tidak ada muatan kepentingan. Terbukti ribuan kader/petugas direkrut untuk mengawal program ini di desa-desa.
Demam itu hanya beda nama dengan Gerbades (Gerakan Membangun Desa) yang lekat dan lengket dengan Gubernur Hendrik Fernandez. Ketika sekarang pemerintah menggelontorkan dana desa ke desa-desa, Frans sudah lebih dulu memulainya dengan Demam itu.
Kelemahannya banyak. Terlalu lembut, sehingga jarang marah. Itu kelemahan paling menonjol dari Frans sebagai gubernur. Dan, kelemahan itu dimanfaatkan orang untuk kepentingan diri.
Sekarang, pria kelahiran Watoone, Adonara Timur ini telah sampai di ujung batas jalannya. Dengan kurang dan lebihnya, Frans Lebu Raya sudah menyumbang banyak hal untuk NTT. Sejarah NTT telah mengukir namanya dengan tinta emas sebagai Wakil Gubernur NTT 2003-2008 dan Gubernur NTT 2008-2018.
Requiem aeternam, dona ei Domine! Selamat jalan Ama Frans Lebu Raya. (*)