Lagi-Lagi Jokowi-sentris

(Kemelut Afganistan di Pusaran Kritik)

Oleh P. Kons Beo, SVD

Bacaan Lainnya

Akhirnya yang (cuma) diduga itu menjadi nyata. Konflik kepemimpinan di Afganistan akhirnya berimbas tegas ke tanah air. Pantauan ketat akan sikap Pemerintah RI terhadap Afganistan (Taliban) tak terelakan. Para oposisi mengamat-amati penuh saksama. Punya harapan agar ditemukan cela untuk melibas pemerintah (Jokowi) dari sikap dan kata-katanya tentang situasi di Afganistan sana.

Rokcy Gerung (RG), misalnya, sudah pasti tak absen untuk bersuara. Pola pikirnya yang selalu lain dan pasti beda wajib ia ungkapkan. Pers pun merasa bahwa suaranya dinantikan (dirindukan) publik, walau tak sedikit yang bereaksi keras untuk menghujatnya.

RG memang sudah lama menyentak segenap Indonesia dengan taburan opininya. Berhamburan sana-sini untuk menguji kesanggupan siapa saja untuk mencermati, memaknai serta mengakuinya. Atau pun sebaliknya menistakan dan menantangnya habis-habisan.

RG, katakan bersama orang-orang sepikiran dengannya, memang sungguh ketagihan dan jadi pemadat asap rokok  kretek (baca kritik) terhadap pemerintahan Jokowi sejak sedia kala.

Bila ada keteduhan di hati, maka biarlah semua kritik keras itu melayang beterbangan. Yang mesti dipunyai adalah kearifan di hati dari para pendengar  sebagai saripati dari kecerdasan nalar, kematangan emosi, serta kekuatan mental. Tak ada yang salah dari litania kritik yang kalaulah memang berbobot.

Bisa jadi RG cs telah dan masih tetap bertarung agar segala bawa diri mereka terutama melalui berbagai gagasan  mesti menjadi ujian wajib dan substansial bagi seluruh tumpah darah Indonesia.

Sepertinya, apapun kebijakan, sikap dan tindakan Pemerintah (Jokowi) belumlah qualified jika belum teruji oleh seleksi dan ujian wajib dari RG cs. Yang hendak dikata adalah pemerintah pasti keliru (salah), ada maksud terselubung, tak optimal, serta disorientatif kontra bonum commune dari setiap kebijaksanaan yang diambil.

RG cs tentu benar! Tak selamanya tindakan dan keputusan pemerintah (wajib) benar! Di situlah RG cs berniat menarik simpati tanah air untuk mengikuti alur dan pola pikir alternatif. Tentu pula yang diharapkan adalah berbagai jalan keluar yang ditawarkan Rocky cs. Karena toh, keasyikan kritik tanpa solusi praktis sebagai terobosan alternatif adalah satu kebablasan dan ketimpangan serius antara ortodoksi dan ortopraksi. Bukankah ini adalah satu kenaifan?

Hari-hari ini isu Afghanistan (Taliban) lagi membengkak. Ragam tanggapan sudah menjamur. Jusuf Kalla sudah merebut simpati siapapun yang telah ‘jatuh cinta mati dan mengidolakan’ Taliban sebagai pemenang atas kezaliman Amerika dan sekutu-sekutunya. Walau diusahakan agar tertampak dalam gelagat demi misi perdamaian, gerak gerik Jusuf Kalla di Afghanistan dan undangan para ulama Afghansistan ke Indonesia dicurigai kuat tak keluar dari kerangka ‘politik identitas.’

Lalu bagi Pemerintah (Jokowi) sendiri?

Mari kita ikuti pikiran (kritik) RG, yang bisa juga searah dengan para sahabat sealirannya.

“Supaya tidak ngaco, intinya kan, karena dia juga tidak paham apa yang terjadi ketika ditanya pers, langsung aja yang di kepalanya adalah bahaya teroris, jadi cuma itu isinya.”

Wah, kerangkanya sungguh terang benderang! Artinya agar Presiden (Jokowi) miliki pengetahuan yang jelas serta mengerti tentang situasi Afghanistan, yang sayangnya tak dimiliki Presiden Jokowi. Bagaimanapun, isi hati (nalar) agaknya tendensius bahwa RG sudah pastikan Presiden Jokowi sudah punya pra-anggapan: adalah kuasa terorislah yang menguasai Afghanistan. Bicara Afghanistan adalah bicara hasrat hitam kaum teroris. RG secara cerdas (lihai) tengah membenturkan Presiden Jokowi  versus Afghanistan dengan segala alam suram yang terjadi di sana. Apakah RG tidak sedang menghasut para teroris bahwa itulah pandangan dan sikap Jokowi, yang adalah Presiden Indonesia?

Mari kita lanjut pada celotehan RG berikutnya,

“Padahal sesungguhnya dunia menginginkan agar Presiden Jokowi sebagai pemimpin negara yang penduduknya mayoritas Islam, mengucapkan sesuatu itu supaya ada parameter. Tetapi tak terlihat bahwa ngga ada pengetahuan” (fajar news, 24.8.2021).

Entahlah dunia macam mana lagi yang rindukan suara Presiden Jokowi untuk bersikap? Apa RG tak sedang berkhayal bahwa sungguh dan benar bangsa-bangsa dunia  lagi menantikan suara resmi dari Indonesia?

Di sini, apakah RG lagi berasumsi bahwa  Presiden Jokowi sesungguhnya ‘punya nama besar’ yang suaranya (demi Afghanistan) sungguh berwibawa dan berpengaruh? Tetapi, sayangnya Presiden Jokowi, sekali lagi,  nggak ada pengetahuan. Karena itu Jokowi  sudah ‘mati kutu.’ Gagal bersuara dan bersikap. Jangan-jangan RG ingin mengatakan adalah sungguh menyedihkan bagi bangsa Indonesia yang dipimpin oleh orang sekelas Jokowi sebagai presidennya. Andaikan Mardani Ali Sera adalah Presiden RI tentu suara dan sikap pemerintah pasti jelas untuk situasi Afghanistan.

Lalu, lihatlah, betapa hebatnya RG untuk mengotak-atik dunia (hati) umat Islam sebagai  mayoritas di Indonesia, yang nota bene krusialnya adalah bahwa Jokowilah presiden-nya. Identitas Islam dan apalagi dengan jumlah mayoritas sudah diduga akan ditiup sebagai bara api. Apakah ini punya maksud terselubung untuk membakar suasana? Tak perlu logika cemerlang untuk menarik satu konklusi, walau cuma sekedar hipotesis atau simulasi simpel, bahwa RG cs memang lagi tak tulus mengkritik pemerintah dalam berbagai persoalan yang dihadapi seluruh tumpah darah Indonesia.

Nampaknya RG cs sekian bebas dan otonom untuk mencermati dan mengkritisi segala kebijakan pemerintah. Namun sesungguhnya RG juga nampak tak bebas untuk tulus bersuara. Jelas RG cs punya kepentingan sendiri. Sulit juga untuk mengatakan ‘tidak’ bahwa ada yang memang menitipkan atau membisikkan kepentingannya melalui suara RG cs.

Siapapun manusia tak akan pernah absolut bonum-nya atau pun absolut malum-nya. Ada sisi lain dari setiap pribadi yang sejatinya tak terelakan. Secerdas-cerdasnya seorang Rocky Gerung tak berarti ia pasti luput dari aroma kedunguannya. Filsafat punya dunianya sendiri. Yang mempelajari filsafat atau bahkan menjadi pengajar sekalipun tak berarti pasti selalu bersih dari tampilan hidup yang tak arif.  Yang dilabur putih  dan yang tampak berwarna cemerlang di luar, seturut Yesus dari Nazaret, ‘bisa pula berisikan tulang belulang dan berbagai jenis kotoran di dalamnya’ (Matius 23:27).

Bila hati lagi sengit membenci, maka apa pun yang ditampilkan oleh yang dianggap seteru pasti selalu terfokus di titik minusnya. Tetapi dari Sabang sampai Merauke sudah pada maklum, bila ada keonaran dalam  negeri, pun di luar negeri (apalagi dengan amunisi identitas), bagi para pelawan atau oposisi setengah hati, kesalahan   pemerintah dengan kharakter Jokowi-sentris pasti tak terhindarkan.

Tetapi, bila harus pulang ke situasi Afghanistan, pendapat Profesor Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional UI, patutlah disimak. Sebab katanya sepantasnya Indonesia jangan terburu-buru akui soal kekuasaan di sana. Bukankah Afghanistan masih dalam situasi transisi kekuasaan?

Seturut Hukum Internasional ada dua mekanisme yang terjadi berkenaan dengan pengalihan kekuasaan: konstitusional dan inkonstitusional.

Tentu pemerintah mesti menanti kepastian hukum untuk urusan dalam negeri orang! Dan bukannya wajib sekarang ini harus bersuara hanya karena mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Kita semua pasti cerdas memahami apa yang tengah terjadi di Afghanistan sana. *

Verbo Dei Amorem Spiranti

Penulis, rohaniwan Katolik, tinggal di Roma

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *