Oleh Lasarus Jehamat
Bencana (alam) merupakan kejadian yang sulit ditolak meski bisa diprediksi. Karena hukumnya demikian, bencana alam terutama memiliki dampak luas baik pada manusia secara sosial maupun kerusakan infrastruktur secara fisik.
Baru-baru ini, NTT diterpa Badai Siklon Tropis Seroja. Seroja menghantam beberapa kabupaten/kota di NTT. Saking dahsyatnya, data sementara, seroja menyebabkan 181 orang meninggal dunia, 45 orang hilang, ribuan orang mengungsi, dan kerusakan infrastruktur di mana-mana. Berbagai pihak berusaha membantu korban bencana.
Jika dibuat peta sederhana, bantuan bencana seroja dibagi menjadi beberapa bagian. Berdasarkan sumber, bantuan berasal dari dalam masyarakat NTT dan dari luar NTT. Dari aspek waktu, bantuan bisa berupa sesaat dan permanen. Dilihat dari jenis bantuan, dukungan bagi korban bencana dapat berupa bantuan fisik (uang, makanan, tenda, pakaian, susu, pembalut, dan lain-lain) dan nonfisik (bantuan psikologis). Berdasarkan aktor, bantuan datang dari banyak lembaga, seperti negara, swasta, lembaga sosial berbasis horizontal, dan partai politik.
Lepas dari berbagai karakteristik bantuan di atas, kita berharap semuanya ditujukan untuk meringankan beban saudara-saudari kita yang mendapatkan dampak langsung bencana. Masalahnya, realitas di lapangan berkata lain. Untuk satu dua kategori aktor, saya sungguh yakin, bantuannya bermotifkan kemanusiaan. Bantuan dari pihak gereja, masjid, dan sejenisnya, sulit untuk tidak dibaca dalam kerangka kemanusiaan.
Bagaimana dengan bantuan dari partai politik? Fakta bantuan di Flores Timur menarik ditulis. Sebab, dalam beberapa kesempatan, nyaris semua partai politik di republik ini terlibat langsung dalam membantu saudaranya di Flotim dan di beberapa kabupaten/kota di NTT yang terkena badai seroja. Beberapa partai yang terkesan apatis dengan penderitaan rakyat selama ini bahkan yang paling getol mengantarkan bantuan ke wilayah bencana. Baik memang. Namun demikian, dalam beberapa kasus, motif bantuan parpol laik diperiksa.
Diperiksa terutama bukan karena baru kali ini ramai mengunjungi rakyat. Diperiksa terutama karena perilaku beberapa elite parpol di lokasi bencana pada saat memberikan bantuan.
Fakta di lapangan itu menunjukkan tidak semua aktor parpol ikhlas membantu saudara-saudarinya. Dalam satu dua kasus, yang tidak mungkin diterangkan di sini, ada oknum dari partai politik tertentu membisik ke telinga para korban untuk memilih partai C atau D dalam Pemilu atau Pilkada beberapa tahun lagi.
Benar bahwa ajakan itu dilakukan dalam situasi guyon dan lucu. Hanya, membaca konteks pemberian bantuan, terutama karena korban terkena dampak seroja, rasa-rasanya guyonan seperti itu bakal menambah beban para korban ketimbang membantu korban meski diberikan pada saat sulit. Guyonan yang lucu bagaimana pun di tengah penderitaan para korban akan terasa seperti cuka.
Di kasus yang lain pula, beberapa parpol memberikan bantuan dengan embel-embel menulis nama parpol di balik bungkusan setiap bantuan. Sulit dilarang memang. Itu hak masing-masing pemberi bantuan. Hanya, meminjam kitab suci, apakah yang dilakukan tangan kiri boleh diketahui tangan kanan? Apakah motif dasar penulisan nama parpol itu kalau tidak ingin disebut memperkenalkan diri dan berharap masyarakat memilihnya dikemudian hari? Jika kasusnya demikian, itulah yang disebut sebagai bantuan karena kepentingan tertentu.
Dalam konteks bencana, naif rasanya jika masih ada oknum parpol yang masih saja mengumbar kepentingan. Tapi sudahlah. Itu urusan parpol itu dan oknum yang gemar berkelakar di tengah tekanan batin para korban bencana.
Kuat Kuasa Kepentingan
Diskusi kita sesungguhnya pada besarnya pengaruh kepentingan politik dalam setiap momen kehidupan sosial Indonesia. Karena kasusnya demikian, banyak orang menggugat menguatnya dominasi kepentingan dalam setiap pemberian bantuan sosial oleh partai politik.
Gugatan utamanya justru tertuju pada esensi partai politik. Bahwa parpol adalah lembaga yang menjembatani kepentingan rakyat agar dapat didengar oleh elite kekuasaan. Parpol adalah lembaga yang mengagregasi kepentingan rakyat supaya menjadi perhatian elite kekuasaan.
Maka, jika perilaku oknum elite parpol seperti yang digambarkan di atas, apalagi yang tersisa dari watak kekuasaan elite politik di negara ini?
Saya sangat yakin, perilaku oknum elite parpol seperti di atas memang bukan mewakili watak parpol secara keseluruhan. Masih banyak elite parpol yang sungguh memiliki hati dan tegas menggunakan rasa dalam setiap penderitaan rakyat.
Masyarakat Kritis
Berhadapan dengan realitas parpol dan elite parpol yang bermental kancil tersebut (memanfaatkan momen bencana untuk mempromosikan kepentingannya), sikap kritis masyarakat dituntut di sana. Sikap kritis dibangun dari pengalaman masyarakat akan kuatnya kepentingan bermain dalam momen bencana. Sikap kritis tumbuh dalam kesadaran bersama bahwa partai politik memiliki tugas penting dalam proses perumusan kebijakan di negara ini.
Masyarakat jangan lagi ditipu oleh kaum pecundang kekuasaan. Saatnya kita bangun kekuatan bersama tidak saja dalam menghadapi tantangan bencana tetapi juga dalam riak kebijakan yang timpang di daerah dan negara ini. Kecerdasan masyarakat diukur sejauh memilah dan memilih parpol yang sungguh merepresentasi rakyat kecil dan yang pura-pura berwatak malaikat.
Merapatkan barisan tentu bisa dilakukan dengan cara elegan sebagaimana perilaku masyarakat beradab dan tidak berwatak barbar, yang gemar merusak keindonesian kita. Itulah bangsa beradab.
Lasarus Jehamat, Dosen Sosiologi FISIP Undana Kupang