Kritisi Kasus Tanah, WALHI NTT: “Gubernur Angin-Anginan dan DPRD NTT Mati Angin”

umbu wulang paranggi1

KUPANG KABARNTT.CO—Menyusul insiden adu mulut Gubernur NTT dengan tokoh adat Rindi, Sumba Timur, Umbu Maramba Hau, pekan lalu, WALHI NTT mengeluarkan rilis dengan judul menohok, Gubernur Angin-Anginan, DPRD NTT Mati Angin.

Sikap resmi WALHI NTT itu dikeluarkan, Kamis (2/12/2021). Direktur Eksekutif WALHI NTT, Umbu Wulang Tanaamah Paranggi, Jumat (3/12/2021), membenarkan WALHI NTT menyatakan sikap resmi terkait masalah tanah di NTT yang kian merebak.

Bacaan Lainnya

Konflik agraria di NTT, kata Umbu Wulang, terus berlangsung dari tahun ke tahun. Dalam catatan WALHI NTT, jumlah konflik agraria terus meningkat setiap tahunnya. Peningkatan itu terutama konflik yang bersifat vertikal, antara pemerintah dan rakyat maupun perusahaan dan rakyat. Peningkatan ini berbanding lurus dengan meningkatnya jumlah investasi yang masuk ke NTT dan eskalasi pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah,” demikian yang tertulis dalam rilis itu sebagaimana diterima media ini.

WALHI NTT menyebut beberapa kasus agraria  dalam tiga tahun terakhir. Pertama, kasus agraria di Manggarai Timur bersamaan dengan rencana beroperasnya pabrik semen dan tambang batu gamping oleh PT. Singa Merah di sana.

Kedua, kasus konflik agraria dan hutan adat di Besipae, Timor Tengah Selatan bersamaan dengan rencana pemerintah provinsi mengembangkan perkebunan kelor dan peternakan skala besar di tempat tersebut.

Ketiga, kasus agraria dan tempat peribadatan Marapu di Sumba Timur yang bersamaan dengan investasi PT. MSM untuk pabrik gula dan perkebunan tebu. Konflik ini telah mengakibatkan 3 orang masyarakat adat di Umalulu dijebloskan ke penjara selama 6 bulan di tahun 2020.

Yang terbaru saat ini yakni perdebatan panas antara Gubernur Viktor B Laiskodat dengan Umbu Maramba Hau di Sumba Timur mengenai tanah 500 hektar yang diklaim sudah merupakan milik pemerintah provinsi sejak 2001.

WALHI NTT menyebut beberapa konflik di atas adalah fenomena gunung es yang menjelaskan betapa buruknya penanganan tata kelola agraria di NTT. baik oleh eksekutif, legislatif, yudikatif hingga distorsinya kelembagaan adat dalam konteks agraria.

“Dalam catatan WALHI, kejadian konflik yang terus berulang antara gubernur dan rakyat akibat buruk sistem tata kelola pemerintahan di Prvpinsi NTT,” demikian siaran pers WALHI NTT.

Menurut  WALHI NTT, salah satu faktor utama dari konflik agraria di NTT akibat DPRD mati angin dalam menjalankan fungsi legislatifnya yang dimandatkan oleh konstitusi dan peraturan perundangan. Contohnya, fungsi DPRD  yakni pengawasan dan penyerapan aspirasi konstituen, tindak tanduk birokrasi eksekutif dan yudikatif dalam konteks kepentingan agraria

Dalam catatan WALHI NTT, berbagai kasus agraria yang terus berulang dari tahun ke tahun di NTT ini tidak pernah diseriusi oleh DPRD di ruang ruang persidangan dan masa reses.

WALHI NTT mencatat dari tahun 2018 hingga kini DPRD tidak pernah memanggil gubernur untuk memberikan penjelasan atau klarifikasi tentang berbagai kasus agraria yang melibatkan gubernur di dalamnya atau menyampaikan ke publik hasil hasil persidangan DPRD dalam konteks agraria di NTT. Misalnya Kasus Besipae, Kasus Tambang Batu Gamping Manggarai Timur hingga kasus yang terbaru di Sumba Timur ini.

“Oleh karena itu wajar, kalau kasus-kasus agraria di NTT yang menyita perhatian publik menguap begitu saja tanpa penyelesaian yang berarti. DPRD NTT mengabaikan perannya sebagai penyuara aspirasi rakyat dan mitra yang setara dengan gubernur dalam penyelesaian konflik konflik agraria di NTT,” tegas WALHI NTT dalam rilisnya.

WALHI NTT selain mengecam kekerasan kekerasan kekuasaan terhadap rakyat, juga menilai bahwa DPRD juga mati angin menjalankan fungsinya, melakukan pembiaran dan ikut serta melanggengkan praktek kekerasan kekuasaan di NTT.

Berdasarkan fakta-fakta temuan WALHI NTT, WALHI NTT menyampaikan sikap bahwa,

  1. Peristiwa konflik agraria yang terus berlangsung di NTT adalah buah dari kegagalan kolektif dalam menjalankan sistem pemerintahan untuk memahami dan menyelesaikan persoalan agraria di NTT. Mulai dari perspektif, perencanaan hingga implementasi.
  2. Konflik agraria di NTT diakibatkan oleh lemahnya gubernur dalam melakukan konsolidasi birokrasi mulai dari protokoler hingga dinas dinas teknis dalam kepastian hukum atas tanah dan membangun komunikasi dengan rakyat.
  3. Konflik agraria di NTT disebabkan oleh buruknya atau tidak bergeraknya (mati angin) fungsi pengawasan, kebijakan dan anggaran di DPRD Provinsi NTT sebagai elemen pemerintahan sehingga yang tampak Gubernur melakukan One Person Show bukan One System Show
  4. Peristiwa peristiwa konflik yang terjadi juga diakibatkan oleh terjadinya distorsi tata kelola kelembagaan adat dalam konteks agraria di NTT.(den)

Pos terkait