LABUAN BAJO KABARNTT.CO—Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF) seharusnya hanya sebagai agen percepatan pembangunan pariwisata. Bukan sebaliknya untuk penguasaan pengelolaan pariwisata.
Pendapat kritis ini diungkap Ketua Fraksi Golkar DPRD Manggarai Barat, Ansel Jebarus.
Ansel menyatakan pendapatnya ini ketika ditanya kabarntt.co, Jumat (23/4/2021), terkait pernyataan sikap Persatuan Mahasiswa Manggarai Barat (PERMMABAR) Kupang yang mempertanyakan keberadaan dan kejelasan BPOLBF yang dibentuk pemerintah pusat ini.
Sebagaimana diberitakan kabarntt.co sebelumnya, menurut PERMMABAR Kupang, selain tidak ada transparansi dalam pembetukannya, kehadiran BPOLBF juga seakan menutup ruang gerak pemerintah daerah untuk menentukan arah pembangunan pariwisata di daerahnya sendiri. Akibatnya, banyak hal yang turut dipengaruhi sebagai imbas dari keberadaan BPOLBF ini.
Ansel mengungkap sejumlah argumennya. Pertama, perubahan nama BOPLBF (Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo Flores ) menjadi BPOLBF (Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores) yang mendapat legitimasi hukum melalui PP 32 Tahun 2019 yang kemudian dibreak down dalam Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 7 Tahun 2018 adalah sebuah bentuk anti kritik terhadap badan ini.
“Kritik atas kebijakan yang dilakukan akan dengan mudahnya dipatahkan dengan dalil hanya sebagai badan pelaksana, bukan dewan pengarah yang mengambil kebijakan tetapi hanya pelaksana kebijakan,” kata Ansel.
Yang kedua, sebut Ansel, ada banyak kebijakan yang dilakukan tanpa koordinasi dengan Pemkab Manggarai Barat. “Padahal badan yang digadang-gadang sebagai akselerator percepatan pembangunan kepariwisataan mempunyai fungsi utama yaitu fungsi koordinatif,” kata Ansel.
Ketiga, kata Ansel, penguasaan lahan kurang lebih 400-an hektar yang tersebar di beberapa zona itu berlebihan. “Untuk apa itu semua dilakukan? Termasuk kawasan Hutan Produksi Bowosi. Ini diperparah lagi dengan rencana pengalihan fungsi hutan produksi tersebut menjadi area pengelolaan pariwisata buatan,” kata Ansel.
Ansel menilai, semangat dibentuknya BPOLBF yang sebenarnya hanya sebagai agen percepatan pembangunan pariwisata cenderung bergeser menjadi penguasaan pengelolaan pariwisata untuk kepentingan korporasi atau apa pun bentuk lainnya yang berada di hidden area.
“Saya berpendapat seharusnya badan ini hadir membantu pemerintah meletakkan fundasi pengelolaan pariwisata yang berkelanjutan dengan tidak mengabaikan aspek kelestarian lingkungan hidup,” tandas Ansel.
Karena itu Ansel mengusulkan beberapa hal konkrit di antaranya BPOLBF mendirikan universitas khusus bidang kepariwisataan, memperbanyak kegiatan diklat sumberdaya manusia, mendorong dan bersama pemerintah mendisain marketing pariwisata Labuan Bajo Flores.
“Bukan sebaliknya niat dan nafsu menguasai lahan sebanyak-banyaknya tanpa ada efek yang mampu memberdayakan potensi lokal,” kritiknya. (den)