Kita Memang Mesti Tahan Banting

(Ketika isu iman dan agama tetap berhembus)

 Oleh P. Kons Beo, SVD

Bacaan Lainnya

 Adu Wacana Tanpa Akhir

Wacana-wacana kini makin sengit! Pantau saja di media sosial (medsos) yang kini bertaburan. Belum lagi dengan sekian banyak akun pribadi. Tak hanya seputar berita bernada informatif. Kini, semakin banyak catatan, opini atau analisis tersaji. Dalam waktu singkat satu dua kejadian setempat sudah jadi berita global. Tentu dengan cara pemberitaan yang mumpuni. Seturut standar regulasi jurnalistik.

Tetapi, bukankah dunia medsos kini sungguh adalah satu medan pertempuran mahaluas? Bersiap-siaplah untuk perang opini atau perang analisis. Ya, perang wacana. Di situ diperlihatkan kemampuan nalar. Tak luput pula akan adanya referensi akademik sebagai basis teoretis. Data-data valid dibentangkan. Semuanya pada titiknya diramu dalam rumus logika. Dalam alur silogisme menuju muara konklusi yang rasional.

Satu sudut pandang tentu tak hanya berbasis data dan varian pengetahuan. Ia berakar pula seluruh citra kepribadian. Dan kepribadian itu nyata bertumbuh dalam lingkungan dan dengan sekian banyak konsep dan  pengetahuan yang mempengaruhinya. Dunia media sosial dengan sekian banyak konten di dalamnya tentu membahasakan warna ‘kepribadian’ itu. Apa yang mau diungkapkan oleh seseorang untuk dunia. Pesan apa yang mau disampaikan demi terciptanya kehidupan bersama yang aman, damai dan harmonis?

Tetapi, manusia itu ‘tak tunggal’ dalam keberadaannya. Ia hidup dalam perelasian dengan siapa dan ‘segala apa yang mengikatnya.’ Karenanya, dalam menebarkan pikiran, ia tak cuma salurkan seluruh agenda privatnya. Tetapi bahwa gagasan, ideologi, kepentingan, visi, misi dan komitmen bersama (kelompok) mesti dibahasakan secara tepat dan penuh perjuangan. Dan semuanya itu harus dimenangkan!

Keanggotaan dalam satu institusi, kelompok atau persatuan apa saja biaskan perjuangan tertentu yang mesti dipertaruhkan. Maka mudah dimaklumi bahwa dalam gema merasa, sekian banyak gelora berbau ‘demi institusi’ diperjuangkan mati-matian.

Bela Korps: Bagaimana Itu?

Adalah tak mengherankan ketika gerakan ‘bela agama, bela partai, bela kelompok, bela komunitas, bela korps’ sungguh diperjuangkan. Apalagi bila sikap pro institusi itu dipertautkan dengan  harga diri atau nama besar institusi itu sendiri. Sikap seperti ini mudah sekali terjebak dalam sloganisme ‘bagaimanapun kita harus menang.’

Maka, jeruji fanatisme tak terhindarkan. Di situ jelas, tak ada pengakuan akan obyetivitas. Fakta diludahi. Kebenaran dibuat mati suri. Juga tanpa penerimaan akan yang lain dan yang berbeda.

Apakah ada sikap netral di balik satu gagasan? Jawabannya tentu berangkat dari dasar dan tujuan gagasan itu diutarakan. Demi tujuan tertentu, satu opini pasti berbenturan dengan opini lainnya bila berseberangan tujuannya. Misalkan saja: Apakah opini pro khilafah berbasis Syairah Islam searah dengan spirit Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika? Dengan logika macam mana pun keduanya sulit disandingkan!

Demikianpun kalau mesti dijodohkan antara term-term seputar kerukunan antarumat beragama, toleransi, atau pun dialog iman, tak akan pernah bermesrahan sedikitkan dengan paham-paham fundametal atau radikal mengenai agama sendiri! Apalagi bila harus beradu keyakinan menyangkut kebenaran. Tidakkah pada akhirnya jalan kekerasan sering dipakai?

Bela Agama Di Simpang Jalan

Bila harus bicara tentang keyakinan imani dalam agama, maka pendalaman iman mengenai Tuhan yang  dianut dalam kerangka agama itu, sejatinya, tetaplah menjadi kekuatan. Setiap penganut agama biarlah bertarung memperdalam keyakinannya. Sebaliknya, ‘lompat pagar’ hanya untuk mengobrak-abrik isi dan cara beriman ‘milik tetangga’ adalah tindakan yang mengungkapkan kekerdilan mental.

Seorang Kristen tidaklah menjadi sungguh kristen yang sejati hanya karena satu pandangan dan sikap bahwa di luar kekristenan hanyalah kesesatan!  Menyatakan diri sebagai insan saleh dan benar hanya dengan modal menistakan dan mengkafir-kafirkan yang lain adalah pikiran dan sikap beragama penuh kepicikan. Dalam agama tak ada keteduhan dan suasana damai saat tema-tema provokatif terus dihembuskan.

Tetapi ini adalah soal pada inti ajaran, tradisi, atau cara merayakan iman yang dipertaruhkan! Mengubah dogma trinitas atau iman akan Yesus sebagai Putra Allah dan Tuhan sulit terpikirkan dalam kekristenan. Demikian pun masing-masing agama toh miliki keyakinan tersendiri dan bagaimana iman itu dirayakan. Keberakaran hidup pada iman tentu menjadi harapan setiap insan beriman untuk tetap teguh pada keyakinannya. Iman dalam forma agama harus dihayati secara benar.

Iman tidak akan menjadi terhormat dengan cara ‘membela agama’ tanpa akal, tanpa rasa dan tanpa nurani! Apalagi bila harus membelanya dengan cara menegasikan yang lain dengan cara keji. Iman menemukan kewibawaannya saat inti ajaran dalam agama dimaknai atau dihayati secara benar. Itu berarti, pemaknaan nilai agama itu mesti sejalan dengan perjuangan akan nilai-nilai universal. Martabat dan Hak-Hak Asasi Manusia tak pernah boleh dikudungkan, apalagi disenyapkan oleh sebuah paham bela agama yang distortif.

Dalam nuansa kebhinekaan Indonesia, nilai persatuan dan kesatuan tentu menjadi primadona yang teramat mahal harganya. Saling memandang sebagai saudara sebangsa dan setanah air tentu mempertebal semangat gotong-royong atau jiwa kekeluargaan.  Hal itu juga memperluas cakupan Wawasan Nusantara dalam bianglala  multikulturalitas. Di situ lahir kepekaan akan kehadiran yang lain dan yang berbeda.

Namun perlu disadari, bahwa multikulturalitas sungguh alami erosi ketika kesadaran akan perbedaan justru dialami sebagai gangguan dan kehilangan percaya diri. Di situlah mental tak disiapkan untuk menerima bahwa ada sesama lain dengan sekian varian latar belakangnya: asal, suku, agama, tradisi, kebudayaan atau pun keyakinan tertentu!

Moghaddam tentu benar! Ia tekankan pentingnya konsep omnikulturalisme. Di situ hubungan antarkelompok dibangun atas basis kesamaan dasar (Meinarno, Ardi Putri, Fairuziana, 2019). Hidup dalam kesatuan yang lebih besar atas dasar nilai-nilai atau prinsip-prinsip universal tentu harus dikedepankan. Sentimen sesat etnosentrisme mesti disenyapkan. Gethoisme atau oligarkisme atas dasar kepentingan egosentris mesti diwaspadai. Radikalisme-fundamentalisme sempit dalam agama mesti sungguh diberantas sejadi-jadinya.

Sepantasnya kita renungkan kembali kata-kata ini, “Pada saat orang beragama mulai bicara tentang kebenaran, orang mulai cemas. Ini dapat dimengerti. Di seluruh dunia kekerasan dikaitkan dengan iman yang berbeda yang mempertengkarkan kebenaran. Orang Kristen mewartakan Yesus, orang Muslim mewartakan Qur’an, orang Hindu mewartakan Krisna. Semua pewartaan ini tidak mungkin semuanya benar, lalu umat eriman mulai saling membunuh” (Radcliffe, 2005).

Tentu tak hanya membunuh secara fisik! Perang kata tak terhindarkan dengan peluru-peluru penghinaan dan penistaan. Satu terhadap yang lain. Di sini, kita memang mesti tahan banting. Toh, pada titiknya, tetap bersikukuh pada iman yang diyakini, itulah kemuliaan hidup yang berwibawa. Tentu sambil menghormati dan mengasihi sesama.

Saling hina penuh cerca belum sepenuhnya terhindarkan. Kita perlu hadapi segala yang berbeda dengan keberanian yang sehat. Kata si bijak, “Keberanian adalah menghadapi cercaan dengan kepala tegak tapi tinju diturunkan.” Ada nasihat Atticus, seperti yang disunting Goenawan Mohamad, “Coba sesekali berkelahi dengan isi kepalamu.” Maksudnya, jangan tetap saja andalkan bogem atau berbagai praktek kekerasan. Kita macamnya belum bosan-bosan juga dengan tangan yang berlumuran darah dan cercaan sana-sini.

Verbo Dei Amorem Spiranti

 Penulis, rohaniwan Katolik, tinggal di Roma

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *