(Sekadar Menimbang Natalius Pigai)
Oleh P. Kons Beo, SVD
Kali ini cuitan Pigai amat membara. Simaklah, “Jgn percaya orang Jawa Tengah Jokowi & Ganjar. Mrk merampok kekayaan kita, mereka bunuh rakyat Papua, injak-injak harga diri bangsa Papua dgn kata-kata rendahan Rasis, monyet sampah. Kami bukan rendahan. Kita lawan ketidakaadilan sampai titik darah penghabisan. Saya Penentang Ketidakadilan.”
Ini bagai petir menyambar di siang bolong. Ciutan itu ditangkap pada Sabtu, 2 Oktober 2021. Di hari yang sama itu, PON XX-2021 pun dibuka, dan dijadwalkan berakhir pada 15 Oktober 2021. Gampang didulang secara acak. Di saat atensi nasional terarah pada tanah Papua untuk satu even olahraga besar, Pigai sepertinya datang untuk mencegahnya.
Dia sedikit pun tak terlarut dalam eforia yang tengah terjadi di tanah kelahirannya. Tak boleh hanya tersilau oleh gemerlapnya cahaya api PON XX – 2021. Harus rasakan juga panasnya kata-kata anak Papua, si Natalius Pigai.
Sebegitu kejamkah Presiden Jokowi, pun pula Ganjar untuk tanah Papua? Entahlah! Pigai telah berjuang membantah segala tundingan terhadap kata-katanya. Katanya, “Itu tidak rasis itu. Itu hanya dua oknum yang namanya Jokowi dengan Ganjar, itu tidak ada rasis…” Ya, ‘mungkin kebetulan’ Jokowi dan Ganjar berasal dari Jawa Tengah, sehingga seluruh teritori itu terbawa-bawa.
Sejelas apapun Pigai bersuara, toh kini khalayak tetap pada pengandaian adanya rasis terselubung. Iya, dengan membawa-bawa nama Jawa Tengah. Itulah yang mengumpan tafsiran keruh. Tak mungkin tak ada ulterior motiv di baliknya. Nampaknya Pigai sudah stand by secara cerdas telah siapkan argumetum, karena ia yakin pasti diserang balik!
Mungkinkah suara Pigai itu adalah gelora demi satu kesadaran kolektif tanah Papua? Agar janganlah terkecoh oleh ‘prank kemajuan pembangunan?’ Agar Papua, hari-hari ini, tak boleh terbuai oleh even nasional sekelas Pekan Olahraga Nasional. Apa artinya semuanya itu jika pada titiknya hanya terekam kisah-kisah mencekam dan pencederahan terhadap harga diri dan martabat orang Papua?
Bila diikuti saja alur tak rasis seturut Pigai, maka alur apakah yang membingkai kedahsyatan kata-katanya?
Sungguhkah Jokowi dan Ganjar adalah protagista untuk sebuah lakon besar yang merendahkan harkat dan martabat tanah Papua serta segala isinya?
Saat Jokowi, sang Presiden, sekian berjibaku demi Papua dan hatinya pun sungguh untuk Papua, demi segala ‘yang terindah’ di wilayah timur tumpah darah Indonesia, ia sepertinya disalibkan oleh kata-kata Pigai. Katakan begini: Jokowi ‘bukan Presiden untuk orang Papua.’ Dan si Ganjar yang kini lagi menanjak di survai Capres? Bagi Gubernur Jawa Tengah itu sepertinya sudah dipasang alarm dini di tanah Papua. Intinya: hati-hati! Jangan terkecoh! Karena toh pada akhirnya orang-orang seperti inilah tak ubah bagai perampok, pembunuh dan penista martabat orang Papua. Sunguh mengerikan.
Namun, banyak yang mencermati, semuanya ini tak lepas dari muatan politik! Dan aura politik itu selalu membentangkan karpet merah kepentingan. Dan namanya kepentingan, ia selalu terbelit seputar kuasa, jabatan, pengaruh, popularitas, dan terutama pada garansi segala harta kekayaan gono-gini. Di sini, manuver politik adalah kelumrahan untuk memenangkan dan mengamankan kepentingan itu.
Tetapi, apakah si Pigai bersuara solo? Ataukah ia adalah cantus firmus yang disuport dan diaplaus oleh sekian banyak backing vokal-nya? Cuitannya, sekali lagi, yang sekian menohok itu, sungguh terkesan ‘amat berani, provokatif, multi tafsir.’
Ataukah memang ini berangkat dari pengamatan tajam, berdata faktual, yang dimiliki Pigai cs? Mungkinkah Pigai adalah bagian dari ‘kelompok terbatas’ yang memang punya status hati baku untuk katakan TIDAK pada Jokowi semata-mata hanya pada ‘medan rasa penuh kesal?’ Sebagai orang yang terdeksi kuat sebagai bagian dari Barisan Sakit Hati?’ Entahlah.
“Bapak ada dendam apa sebenarnya? Pak @jokowi & Pak @ganjar_pranowo dll sedang berupaya menjaga keamanan dan ketertiban PON XX Papua & sedang menikmati indahnya PON XX Papua.” Itu tanya Olvah Bwefar Alhamid, si Putri Papua Barat.
Bila harus pulang ke tahun-tahun kemarin, betapa terbaca ada rasa kesal di hati Pigai. Simak saja diktum Pigai! Dibanding dengan masa SBY, sepertinya ‘harga diri orang Papua’ tertampak nyata. “Jadi kalau saya bandingkan dengan SBY, SBY justru memanusiakan orang Papua, mengangkat orang Papua bahwa orang Papua juga hebat di republik ini…..”
Lalu Jokowi di mata Pigai? Jokowi tak punya siapa-siapa untuk berdiskusi tentang Papua. Tak ada partner yang berkompeten untuk urus Papua secara tepat. Pigai tentu ingatkan Jokowi, implisit, setahun sebelum Pilpres 2019. Jokowi tak boleh abaikan begitu saja tokoh-tokoh Papua bila berhasil ke periode ke 2 (2019 – 2024). Jokowi jangan terperangkap lagi dalam “siapa yang dia jadikan partner dalam berdiskusi dan dialog tentang persoalan Papua? Hanya dirinya sendiri” (Kompas 28 April 2018).
Sayangnya, di periode II kepemimpinannya, tak banyak tokoh Papua yang dilirik Jokowi. Ketimbang kabulkan harapan Pigai, Jokowi lebih memilih (sendiri) untuk ‘menerobos masuk jauh ke tanah Papua.’ Tentu dengan sekian banyak gebrakan demi kemajuan (fisik). Sebatas tempatkan satu dua orang Papua pada ‘kursi kuasa dan jabatan’ sungguh cuma tertahan pada gelora rasa (harga diri). Tak efektiflah. Sepantasnya bila semakin lebih banyak masyarakat Papua yang merasakan dan mengalami dampak kemajuan itu.
Natalius Pigai, mantan komisioner Komnas HAM itu, tak mungkin tak mengarah pada satu harapan terselubung! Apakah berlebihan bila harus diasumsi bahwa Pigai sebenarnya rindu pula untuk dilirik Jokowi, sebagai tokoh Papua, untuk satu kuasa dan jabatan penting dalam kepemerintahan kini? Atau setidak-tidaknya jadi orang penting di lingkaran istana seperti halnya Ali Mochtar Ngabalin, kelahiran Fakfak itu?
Di sini, saya jadinya teringat lagi akan Bung Natalius Pigai. Di suatu malam dua tahun silam. Saat ia hadir dalam perayaan ekaristi (misa) yang saya pimpin. Ada ngobrol-ngobrol seru sesudah perayaan ekaristi. Penuh keakraban, ceriah dan hangat. Wawasannya luas dan orangnya kritis. Bila tak salah ingat, ia kuasai dan terpikat pada beberapa kata-kata bahasa Latin.
Tetapi, bagaimana pun semoga momentum PON XX-2021 ini jadi ajang sukacita dan bahkan prestasi pula bagi saudara-saudari di tanah Papua, dalam panorama kesatuan dari Sabang sampai Merauke.
Verbo Dei Amorem Spiranti
Penulis, rohaniwan Katolik, tinggal di Roma