JK, Taliban dan Manuver Perdamaian

Oleh Pater Kons Beo, SVD

Bacaan Lainnya

Afganistan. Negeri sejuta kemelut itu kini kembali bergolak di titik puncak. Setelah di babak pertama dulu Uni Soviet angkat kaki penuh dari negeri itu (15 Februari 1989), kini giliran Amerika Serikat mesti undur diri pula.

Tak diduga, dalam hitungan cepat seluruh pelosok negeri jatuh di bawah milisi Taliban. Tanpa perlawanan berarti Taliban menguasai Ibukota Kabul dan menguasai Istana Presiden.

Situasi jadi tak terkendali. Suasana negeri jadi berantakan sejak Minggu, 15 Agustus 2021. Ashraf Ghani, sang Presiden mesti tinggalkan istana. Ia hijrah ke Kazakhstan. Katanya, demi menghindari pertumpahan darah bila harus terjadi perang saudara yang lebih membara.

Kembalinya Taliban di tampuk kekuasaan di Afganistan lahirkan banyak tanggapan dan reaksi. Bayangan kekerasan penuh brutal tetap membekas. Lihatlah betapa sekian banyak warga sipil mesti selamatkan hidup. Gelombang pengungsi bergerak ke wilayah-wilayah perbatasan. Segera tinggalkan negeri mereka sendiri.

Dan Taliban sendiri tegas beri harapan sejuk. Segera dibuat rekonsiliasi dan tak ada balas dendam. Dan lagi, ada keterjaminan hak-hak perempuan di perbagai bidang kehidupan.

Taliban, melalui juru bicaranya, Zabihullah Mujahid, bersuara sejuk, “Semua yang bersebarangan akan diampuni dari A sampai Z.” Taliban reformasi akan tampil buka-bukaan dan jelas. Tanpa bayang-bayang atau tiada lagi sebagai kekuatan yang penuh kerahasiannya.

Sebegitu mudahkah gema Taliban ini diterima? Ataukah ini cumalah sebagai strategi kata untuk mengakali dunia dan kaum penantang internal? “Taliban harus dinilai dari tindakan-tindakannya dibanding dari kata-katanya,” kata PM Inggris, Boris Johnson.

Isi senada juga dengan apa yang disampaikan Menlu Prancis, Jean-Yves Le Brian bahwa berubah perilaku Taliban itulah yang hendak diharapkan oleh dunia internasional.

Semua nada kekhawatiran dapat dimengerti. Era kekuasaan Taliban 1996-2001 adalah sungguh menjadi periode jahilya yang telah dialami secara khusus oleh kaum perempuan dan anak-anak.

Alam neraka di bumi jadi situasi tak terelakan bagi kaum perempuan dan anak-anak. Degradasi perlakuan itu amat signifikan didera oleh Taliban. Di tahun 1920 ada hak untuk memilih bagi kaum perempuan. Konstitusi Afganistan awal tahun 1960-an mengatur kesetaraan bagi perempuan. Dan lebih dari 15% badan legislatif tertinggi ada di tangan perempuan di tahun 1977 tunjukan betapa peran perempuan begitu nyata. Catatan juga perlihatkan betapa di awal 1990 terdapat lebih dari “70% guru, 50% pegawai pemerintah dan mahasiswa, dan 40% dokter di Kabul adalah perempuan. Semuanya berubah drastis saat Taliban mulai berkuasa  di tahun 1996-2001 itu.

Atas dasar kenangan pahit di masa itu rasanya sulit untuk mempercayai begitu saja segala janji Taliban kini. Rezim ini sungguh telah datangkan derita bagi perempuan. Sementara anak-anak  melarat tak tentu nasib oleh karena pelayanan kesehatan yang tak terurus dan kebodohan meningkat karena pendidikan dilarang. Dan  ini belum lagi terhitung dengan varian perlakuan sosial yang keji. Perdagangan anak serta perempuan, pernikahan dipaksa, dan perbudakan seks menjadi keseharian yang lumrah.

“Talibanisasi perempuan” (Kompas, 19.8.2021) adalah kiat tegas merumahkan perempuan atas dasar pandangan bahwa perempuan adalah sumber fitnah, sumber persoalan sosial dan moral masyarakat! Hidup dan adanya perempuan adalah rumah dengan tugas utama mendidik anak-anak. Dibayangkan saja arus formasi dan edukasi anak-anak yang diinisiasi oleh ibu (perempuan) tanpa wawasan dan selalu ada di bawah bayang-bayang ketakutan.

Tetapi apakah akan terbit matahari baru penuh harapan tentang Taliban? Adalah Jusuf Kalla (JK) tampak sekian antusias akan situasi di Afganistan. Di tahun kemarin (2020) JK sempat jadi tamu kehormatan. Ia hadir dan sumbang kata demi misi perdamaian di Afganistan.

Tak ada yang salah! Sebagai warga negara yang baik sambil tak terlepas dari wibawanya sebagai mantan Wakil Presiden RI 10 tahun, JK laksanakan amanat UUD 1945 demi memajukan ketertiban dan perdamaian dunia.

Penuh semangatnya JK ke Afganistan di kala itu bisa ditilik a la other side untuk tak sekedar mati-matian melihatnya cuma sebagai peace maker di Afganistan. Ketika regim Jokowi dinilai akrabi kekuatan China, serta asyik bermesrahan dengan antek-antek asong dan aseng, perginya JK ke Afganistan adalah alarm serius yang peringatkan pemerintah (Jokowi) bahwa ada kekuatan lain  yang  bisa dekati. Rasanya keterlaluan untuk berpendapat bahwa misi JK  jadi tamu kehormatan di Afganistan juga bisa ditafsir sebagai harapan bagi gerakan radikal-fundamentalis yang jelas telah jadi musuh utama negara dan telah dibekukan!

Dan kini? Kemenangan Taliban jadi simbolisme simpang jalan antara harapan dan kekalutan. JK lantang bersuara bahwa musuh utama Taliban adalah Amerika Serikat. Kini, akan muncul harapan baru bagi Taliban yang perilakunya tak boleh dibayangkan seperti tahun-tahun kemarin. Taliban sudah berubah dalam keyakinan JK rasanya terlalu dini untuk diterima sebagai konklusi pasti.

JK tentunya tak lupa akan sejarah kebrutalan Taliban yang masih membekas. Saat disinyalir betapa hak perempuan dirampok dan dikuasai mutlak oleh Taliban. Saat hak menuntut ilmu dipreteli dan dikebiri. Dan bahwa seturut PBB (UNICEF) 165 dari setiap 1000 bayi meninggal di usia dini karena buruknya sanitasi dan didera bahaya kelaparan.

JK pun pasti tahu akan keadaan kurang lebih 50.000 wanita yang kehilangan suami atau sanak lelaki yang tewas akibat perang saudara. Bisa jadi, karena alasan kemanusiaan dan situasi pilu itulah, JK sekian bertarung jadi duta perdamaian di Afganistan.

Tetapi, andaikan misi perdamaian JK ditempel ketat oleh intensi politik identitas? Bukan tak mungkin silaturahmi JK ini pun tersekap dalam bom waktu yang pada saatnya bisa jadi sumber keresahan serius.

Tak boleh dilupa. Kalangan analis berkeyakinan, yang kuasai seluruh penjuru Afganistan dalam gerak cepat itu adalah kelompok Neo Taliban.  Tak seperti Taliban lama, yang umumnya mudah terdeksi gerakannya, Neo Taliban sanggup bermasin cantik, taktis, penuh strategi dengan menguasai teknologi komunikasi modern. Itulah “perang generasi keempat” yang manfaatkan semua dimensi sosial, politik, budaya, militer, dengan daya sosialisasi yang tinggi melalui Website, Radio FM, e-mail, dengan jurubicara yang fasih dan teruji.

Yang mau dikatakan adalah bahwa Neo Taliban siap dalam pertarungan narasi atau wacana. Tentu juga untuk sembunyikan maksud terselubung.

Tetapi apakah JK juga miliki agenda senyap tersembunyi di dalam misi perdamaiannya itu?  Sebagai tokoh masyarakat dan mantan pejabat, JK pasti diharapkan tetap berkomitmen tulus demi seluruh tumpah darah Indonesia yang adil, makmur, serta damai sejahtera.

JK pasti ada di jalur sulit  untuk bersikap entah harus bagaimana? Salah satu tujuan Neo Taliban adalah tegakan hukum syariah, selain pulihkan perdamaian dan pertahankan karakter Islam Afganistan. Maka pertanyaannya: adakah perdamaian atas dasar hak asasi manusia saat syariah islam ditegakkan? Apakah syariah islam yang dimaksud itu berlaku limited teritorial Afganistan? Atau jangan-jangan Afganistan, oleh kehadiran JK itu misalnya, oleh kaum radikal pro khilafah, dilihat sungguh sebagai salah satu sentrum dan inspirasi dasar demi kekuatan hegemoni khilafah yang bukan tak mungkin bergerak juga ke Indonesia?

Masih ada banyak agenda demi perdamaian di tanah air yang sungguh butuh suara dan perhatian. Teringatlah kita akan kelompok Ahmadiyah yang sungguh terzalimi. Indonesia masih bertarung demi kebebasan beragama dan menjalani ibadat bagi kelompok-kelompok minoritas.

Indonesia masih punya kesan kurang sedap dan tak enak didengar berpautan dengan kekerasan dan pembantaian serta teror oleh kelompok radikal. Di Indonesia masih terlalu banyak ruang pencerahan keagamaan yang terpolusi oleh ujaran provokatif yang sungguh meresahkan, akibat kurang berbobotnya pengetahuan dan wawasan dalam keagamaannya sendiri yang sekian kerdil.

Jusuf Kalla memang terpanggil demi perdamaian di negeri orang. Tetapi, sebagai tokoh penting masyarakat Indonesia yang berpengaruh, ia juga miliki panggilan moril untuk tengoklah ke dalam negeri juga. Suara JK tetap dibutuhkan untuk meredam suara dan tindakan penuh kekerasan atas dasar politik identitas yang sempit.

Jika tidak, JK ternyata cuma terlihat aktif pada gelombang keresahan di tanah orang, dan  berusaha demi kesejukannya. Tetapi badai di tanah sendiri (pura-pura) tidak diketahui dan tak ada suara lantang untuk mengutuknya.

Adalah ironi penuh sinis teramat menyakitkan andaikan JK begitu berjuang tampil usahakan turunnya ‘hujan emas perdamaian di negeri asing. Tetapi ia tega biarkan hujan batu tumpah rua jatuh menimpah di negeri sendiri.’ Tentu hal ini yang tak diharapkan dari Sabang sampai Merauke. Dan tentu JK pun tak menghendaki hal sedemikian itu. (*)

Verbo Dei Amorem Spiranti

Pater Kons Beo, SVD, tinggal di Roma

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *