TULISAN ini agak panjang. Maaf. Tetapi panjang agar bisa mendapat insight-nya guna memahami dan menangkap makna dan pesannya. Mengapa Pater Amans Laka, SVD menjadi buah bibir di Kementerian Luar Negeri Indonesia.
Betul, nama Pater Amans Laka, SVD jadi viral karena diabadikan menjadi nama salah satu jalan di Kota Puerto Esperanza. Ini kota di Argentina utara berbatasan dengan Brasil.
Dengan Pater Amans Laka kami satu angkatan di Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero, Maumere, Flores. Kami angkatan pertama Novisiat SVD di Nenuk tahun 1987. Novisiat ini gabungan frater dan bruder. Yang frater sebanyak 56 orang dan bruder 10 orang.
Setahun di Nenuk, kami lanjut ke Flores mengikuti jenjang pendidikan selanjutnya. Beberapa frater sudah berhenti dan tidak bisa lanjut. Yang masih lolos menuju Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero melanjutkan novisiat tahun kedua sekaligus memulai semester pertama kuliah di STFK Ledalero. Novisiat tahun kedua terasa berat karena mesti mengikuti pembinaan rohani sekaligus mulai bergulat dengan ilmu-ilmu berat seperti logika, epistemologi, dunia pemikiran filsafat. Belum lagi mulai berkenalan dengan para Bapak Gereja dengan ajaran masing-masing.
Sementara para bruder menuju Ende, melanjutkan pendidikan dan pembinaan di Ende. Mereka juga berkurang beberapa orang.
Berkurang dari tahun ke tahun itu biasa. Bahkan cenderung dianggap sehat dan normal. Sebab kriteria penting untuk menjadi seorang rohaniwan Katolik itu tidak mudah. Dalam tradisi seminari kriteria itu diterima secara umum dengan sebutan 3 S: sanitas, sanctitas, scientia. Terjemahan bebasnya : sehat, kudus, cerdas.
Sehat itu meliputi fisik dan psikis. Sehat fisik dan sehat psikologis. Kudus bukan berarti hidup tanpa salah dan dosa. Kudus lebih dipahami sebagai sehat atau dewasa secara rohani.
Sedangkan cerdas artinya secara akademis/keilmuan baik, mampu berpikir kritis dan analitis. Mampu memadukan secara seimbang pengolahan budi (intelektual) dan pengolahan hati dan rasa (afeksi) sehingga mampu menghayati hidup dengan bijak.
Lolos dari novisiat, ilmu-ilmu filsafat, teologi, moral, psikologi menanti di ruang kuliah. Porsi perhatian lebih banyak pada kuliah. Sementara kehidupan rohani, bisa disebut sebagai urusan dan tanggung jawab pribadi kecuali untuk kegiatan-kegiatan umum seperti retret, rekoleksi yang sifatnya wajib.
Selepas kuliah, yakni pada sore hari biasanya para frater mengisi waktu dengan aktivitas pribadi sesuai bakat, minat dan hobi. Ada yang suka berkebun, yang lain suka merawat bunga. Ada yang sibuk dengan alat-alat musik, yang lain asyik menggubah lagu-lagu. Ada yang lari ke sana ke mari di lapangan bola kaki, basket dan badminton, yang lain tekun membaca di perpustakaan.
Materi-materi kuliah ditambah keterampilan tangan, niscaya menempah dan menajamkan karakter dan watak seorang frater. Itu sebabnya tidak sulit melihat seorang frater cocok bekerja di bidang mana setelah ditahbiskan jadi imam.
Dengan kriteria seperti ini dari 56 frater yang bergabung di Nenuk tahun 1987 tinggal 20 orang ditahbiskan menjadi imam tahun 1995 dan 1996. Salah satu imam yang ditahbiskan itu adalah Pater Amans Laka, SVD.
Imam kelahiran Tanah Putih, Kefamenanu, 14 Mei 1967 ini ditahbiskan menjadi imam 20 September 1995. Dia layak dan pantas menjadi imam Tuhan. Layak secara rohani, layak secara akademis, juga layak secara fisik. Ketika namanya jadi tenar dan kemudian diabadikan menjadi nama jalan di Argentina itu bukti sah betapa Pater Amans Laka benar-benar menjalani hidup dan menghayati panggilannya sebagai pastor bonus, gembala yang baik.
Ketika sama-sama dari Nenuk sampai Ledalero, seingat saya Pater Amans Laka tipe orang yang hemat omong banyak kerja. Dia pendiam. Tidak suka campur urusan orang lain. Lebih asyik dengan kerja tangan seperti menanam, merawat bunga dan kerja-kerja tangan lainnya. Pater Amans juga pemain bola kaki, meski tidak tembus masuk jadi pemain inti seminari.
Keterampilan dan suka kerja tangan ini menjadi modal sosial yang sangat berarti bagi Pater Amans ketika dikirim dan bekerja sebagai misionaris di Argentina, negerinya megabintang sepak bola Diego Maradona dan Lionel Messi itu.
Di Argentina, Pater Amans menjalin relasi sangat baik dengan umat, tokoh umat tempat dia bertugas. Pater Amans total menyatu dengan umat. Dia melayani kebutuhan rohani umat, tetapi juga semangat untuk menangani pekerjaan-pekerjaan tangan. Dia membuka jalan, terlibat dengan umat membangun dan membuka sekolah.
Ketika bertugas sebagai Pastor Paroki San Nicolàs de Flùe, Puerto Esperanza, Pater Amans memfasilitasi membuka sekolah yang diberi nama “Sekolah Republik Indonesia”. Beberapa waktu lalu Duta Besar Indonesia untuk Argentina, Niniek Kun Naryatie, mengunjungi sekolah ini.
Sekolah ini diberi nama “Sekolah Republik Indonesia” sebagai penghargaan dan apresiasi kepada Pater Amans Laka. Setelah kurang lebih 20 tahun di Argentina, akhir tahun 2019 Pater Aman Laka pindah ke Cuba, negerinya Fidel Castro itu.
Hari Sabtu (6/11/2021), Pater Amans menjawab beberapa pertanyaan kecil berikut ini terutama terkait pengalamannya di Argentina.
Tugas pertama sebagai misionaris di Argentina di paroki apa?
Syukur, saya dapat tempat di hati umat Argentina dan bisa kerja di empat paroki. Pertama, Paroki San Josè Obrero-Bernardo de Yrigoyen. Ini berbatasan langsung dengan Brasil. Kedua, Paroki San Andrès Apostol-Andresito juga berbatasan dengan Brasil, tepat di air terjun terbesar di dunia namanya “Cataras Yguazu”. Ketiga, Paroki San Nicolàs de Flùe-Puerto Esperanza. Di sini paling lama, 13 tahun. Lama karena Bapak Uskup Mgr Joaquìn Piña, SJ, tidak mau saya pindah ke mana-mana. Dan Bapak Uskup Mgr Piña minta langsung pada Pater Leo Kleden, SVD (anggota Dewan General SVD yang berkedudukan di Roma, Italia) saat visitasi general. Paroki ini berbatasan dengan Paraguay. Paroki terakhir Ascenciòn del Señor-Panambi, juga berbatasan dengan Brasil.
Berapa lama Pater bertugas di Argentina?
20 tahun di Argentina.
Sejak kapan ke Cuba?
Terbang dari Jakarta ke Cuba 29 Desember 2019 dan tiba Bandara San Martin Cuba, La Havana 31 Desember 2019. Besoknya tahun baru, saya pimpin dua misa di La Havana. Di Cuba saya ditempatkan di Paroki San Gregorio di Mayari, dekat tempat kelahiran Fidel dan Raul Castro.
Yang paling berkesan bertugas di Argentina?
Selama saya di Argentina mula-mula saya terkesan dengan situasi keseluruhan. Pemandangan dan keunikan alam yang memiliki empat musim dan sangat beda dengan tanah kepulauan kita di Indonesia. Yang paling berkesan adalal iman umat yang sudah lama berakar, kekatolikan Eropa yang mendarah daging di Amerika Latin dengan kekhasan dunia baru, new world yang ditemukan Colombus. Argentina memiliki keunikan tersendiri dibanding dengan negara-negara Amerika Latin lainnya. Mengapa? Banyak imigran Eropa saya temukan di empat paroki yang pernah saya layani. Di paroki pertama saya mendapat tempat di hati umat keturunan Jerman, Brasil dan Paraguay. Di paroki kedua umatnya lebih dominan Jerman, Ukraina, Rusia, Italia dan Spañyol. Umumnya petani dan peternak. Kebun mereka sangat luas, di atas 50 hektar tiap keluarga. Di paroki terakhir, saya melayani umat keturunan Jerman, Brasil dan Paraguay. Lebih mengesankan saya adalah di paroki saya yang terakhir ini. Biasanya di buat “Pesta Imigran” selama satu bulan, yakni di bulan September. Semua negara di dunia datang pertunjukkan budayanya, pakaiannya, makanannya, musik dan lain-lain. Tepatnya di Kota Obera, 15 Km dari parokiku. Saya merasa “kecil” di sebuah kultur iman yang begitu kental, sangat kaya dan tua. Segala sesuatu terasa sudah menjadi sejarah berabad-abad. Gereja-gereja yang tua dan struktur hirarki yang mapan. Tapi iman umat selalu terbuka pada kehadiran misionaris, dan dengan demikian saya dapat menemukan tempat saya di hati mereka.
Bagaimana pendekatan pastoral untuk umat Argentina?
Saya berpedoman pada metode katekese dan pelayanan pastoral yang sudah berlangsung. Saya lihat, analisa dan buat. Tapi pertama saya menyesuaikan diri. Dalam beberapa hal saya melakukan penyesuaian dengan situasi umat, seperti melakukan pendekatan pribadi. Saya lebih banyak mendengar, membangun relasi dengan komunitas-komunitas religius atau tokoh-tokoh umat, keluarga-keluarga untuk berdialog tentang hal-hal yang sederhana. Lalu dari situ saya bisa memikirkan langkah-langkah bersama umat untuk menangani apa saja yag perlu dilakukan. Misalnya di paroki di Puerto Esperanza kami bisa dirikan Delsos, sekolah EFA di Puerto Esperanza, juga di Caraguatay EFA Santu Josef Freinademetz, SVD dan dua sekolah Republik Indonesia. Lalu di Paroki Panambi, kami dirikan Delsos. Bapak Uskup jadikan sebagai pusat delsos Keuskupan Oberà. Langkah sederhana yang saya gunakan adalah memakai semua sarana radio, TV, majalah provinsi dan mengumpulkan semua wartawan agar mereka bisa menyampaikan niat dan kerja kami di paroki.
Pater juga suka kerja tangan, kerja kebun dan urus ternak. Mengapa?
Itu sebuah bawaan dari keluarga kami di kampung asal saya. Kami pekerja dan pecinta alam. Di seminari juga kebiasaan ini diteruskan dan diberi tempat oleh serikat. Sebetulnya bekerja tangan itu memberikan kesegaran batin. Bersentuhan dengan tanah itu memberikan rasa berakar pada kehidupan. Kata Kitab Amsal: El que cultiva su tierra se saciarà de pan. Artinya siapa yang mengerjakan tanahnya akan kenyang dengan makanan (Amsal 12:11a) Apalagi saya sebagai misionaris perlu menyatu dengan tanah misi. Saya gunakan sebuah kalimat sederhana “acariciamos la tierra con un corazòn misionero”, elus-eluslah tanah dengan hati seorang misionaris. Tuhan Yesus juga tukang kayu dan para rasul sebagian nelayan. Ada nuansa rohani dalam bekerja tangan, menjadi lekat dengan hidup, merasakan kehidupan dengan penuh keberadaan. Kita tidak akan merasa asing dengan ciptaan, seperti membiarkan Tuhan menyentuh kita sekali lagi di Taman Firdaus.
Nama Jalan Amans Laka itu di mana persisnya?
Persisnya di jalan masuk ke Kota Kabupaten Puerto Esperanza. Ada tiga jalan masuk ke Puerto Esperanza. Kalau dari Buenos Aires langsung masuk ke Jalan Amans Laka dan jalannya digunakan oleh 3 perusahaan kayu yang pemiliknya orang Swis, Prancis dan Jerman. EFA Santu Arnoldus juga menggunakan Jalan Amans Laka. Jalan Amans Laka bersambungan dengan jalan Nasional Argentina yang disebut Ruta 12. Ruta 12 ini langsung menuju ke Brasil dan Paraguay yang jaraknya 30 Km dari Jalan Amans Laka. Arah berlawanan ke Buenos Aires dan menuju ke Chile, Bolivia, dan lain-lain.
Apa alasan beri Jalan Amans Laka?
Saya tidak berurusan dengan alasan tersebut. Itu semua berada di dalam hati mereka. Saya hanya melihat bahwa betapa besar penghargaan mereka pada apa yang kami lakukan bersama. Bagi saya, yang sudah tertulis biarlah tertulis. Dari penghargaan itu saya melihat pada Tuhan dengan rasa syukur atas cintaNya pada umat saya di Argentina. Juga kepada Bapak Fundator, Arnoldus Janssen. Dua sekolah EFA dan dua sekolah Republik Indonesia adalah karya Tuhan dalam perutusan yang sudah diwariskan oleh Bapak Fundator Arnoldus Janssen. Semoga Bapak Fundator memberkati Argentina karena penghargaan itu terjadi pada Minggu 28 Desember 2007 seusai misa.
Hubungan Pater dengan orang-orang di Kedubes Indonesia seperti apa?
Hubungan itu manusiawi. Kami sama-sama setanah air. Dan mereka sangat memperhatikan warga Indonesia di sana. Itu tugas mereka. Karena itu penting sekali berkomunikasi, tidak hanya formal tapi juga hubungan baik yang manusiawi. Seingat saya, ketika Dubes masih dijabat Ibu Dr. Kartini (saudari kandung dari Bapak Menteri Maritim Luhut Pandjaitan), dia senang makan singkong dari hasil kerja tangan saya. Saya kirim ke Buenos Aires. Hal yang sederhana tetapi menyatukan kita. Menyapa dan bertukar pikiran. Mereka melayani kita dengan berbagai kebutuhan diplomatik. Saat itu, Ibu Dr. Kartini mengirim dana untuk beli kasur tidur yang tebal buat murid-murid sekolah EFA Santu Arnoldus. Bukan hanya itu, Ibu Kartini memberi saya 500 ransel kain batik yang mahal untuk murid-murid sekolah EFA Santu Arnoldus, EFA Santu Josef Freinademetz, juga kedua sekolah Republik Indonesia. Ransel kain batik saat itu dipamerkan oleh Indonesia yang ditampilkan oleh bintang film kita Ibu Reggy Lawalata dan anaknya Oscar Lawalata. Puji Tuhan, keduanya saya bawa pesiar ke Brasil dan Paraguay. Yang paling mengesankan saya dari kedutaan adalah Ibu Dubes Kartini saat itu mengundang salah seorang anak parokiku di Puerto Esperanza, namanya Carolina Palusito, untuk pertukaran mahasiswi di UGM Yogyakarta. Jadi baiklah kita menghargai dan memberi apresiasi kerja mereka dengan kehadiran mereka. Di Argentina setiap empat tahun, kami membuat pertemuan seluruh misionaris SVD, SSpS di provinsi yang berbeda dan setiap pertemuan kami selalu mengundang Ibu Duta atau Bapak Duta bersama staf diplomatik untuk hadir. Dan saat itu kami mendapat informasi dari negara kita. Bahkan paspor kita pun bisa diurus begitu mudah.
Seperti apa reaksi Kedubes setelah tahu ada nama jalan orang Indonesia di Argentina?
Jelas senang dan bangga. Bahkan Bapak Dubes Chile, Pak Alo Madja, bersama Ibu datang lihat sendiri Jalan Amans Laka. (tony kleden)