Oleh Robert Bala
Saya cukup terkejut saat mendengar, P. Servulus Isaak, SVD wafat. Putera Manggarai yang lahir di Rekas, Manggarai, 23 Desember 1944 ini wafat pada usia 76 tahun. Usia yang belum terlalu tua sekali. Masih ada banyak hal yang mau dikerjakan, terutama melayani tanpa henti orang-orang sakit dan menderita. Namun Covid-19 mempercepat dan menjemputnya.
Apakah orang hebat ini harus pergi dalam sunyi seperti semua yang wafat karena Covid-19? Ya. Mengikuti protokol kesehatan, maka kepergian mereka dalam sunyi. Tanpa tangis orang-orang dekatnya. Tanpa sanjungan dan seremoni untuk orang yang begiu berjasa bagi para imam dan awam. Peti jenasahnya tidak bisa dipikul oleh ratusan malah ribuan imam yang merupakan muridnya. Ia pergi sendiri dalam kesunyian.
Semoga tulisan sederhana ini bisa menjadi pengantar buat pastor yang ditahbiskan pada tahun 1974, yang sebenarnya kalau masih hidup, maka hanya tiga tahun lagi ia akan merayakan emas imamatnya (2024).
Nama pastor yang pernah belajar di belajar Kitab Suci di Roma (1976-1980) ini sudah saya dengar. Minimal pernah disebut-sebut oleh para pastor tamatan Ledalero dan frater TOP di Seminari Hokeng. Beliau dikenal sebagai seorang ekseget Kitab Suci Perjanjian Lama.
Selama berada di Hokeng (1984-1988), kami sebenarnya lebih kenal Sr Columba SSpS, saudari kandung Paer Servulus yang saat itu merupakan Provincial SSpS Flores. Kami mengenal bagaimana Sr Columba berbicara dengan keyakinan sebagai seorang pembesar. Saya kemudian tahu bahwa P. Yan Menjang, SVD yang pernah menjadi Rektor UNWIRA Kupang juga adalah kakak kandung. Jadi Pater Servulus berasal dari keluarga yang kecerdasan dan kebijaksanaan tentu berada di atas rata-rata.
Meski nama itu sudah sering terdengar, tetapi saat tiba di Ledalero, saya tidak sempat bertemu dengannya. Tahun 1987, setelah 7 tahun menjadi dosen, ia berangkat untuk belajar tingkat doktorat di Yerusalem dan kemudian Roma (1987–1994).
Workholic
Tahun 1994, rupanya Pater Servulus dipanggil pulang ke Ledalero. Saat itu dia tengah pada tahapan akhir penyusunan disertasinya. Sebelumnya, 2 tahun ia studi di Yerusalem tetapi kemudian pindah ke Roma. Di Roma ia berada di tahapan akhir, tetapi mungkin karena sudah melewati batas waktu dan juga karena ada kebutuhan, maka ia dipanggil pulang ke Ledalero.
Namun rencana itu tampaknya tidak terjadi seperti yang direncanakan. Minimal sampai ijazah saya ditandatangani, masih tertulis: Servulus Isaak, Lic. in re Biblica. Dan kemudian juga saya dengar bahwa ia akhirnya tidak kembali lagi ke Roma untuk menyelesaikan studinya.
Di Ledalero, sejak tiba ia sangat tenggelam dengan pekerjaannya dalam bidang manajemen pendidikan STFK. Dengan mobil putih yang baru sumbangan pemerintah, ia bisa gunakan untuk mengurus sekolah.
Bisa dimengerti. STFK Ledalero pasca gempa, banyak dokumen yang hilang. Kantor sebelumnya di atas Gedung Johanes rubuh total. Karena itu ia harus menata ulang, tentu banyak yang dari nol.
Pater Servulus melewati waktunya dengan menata administrasi. Kalau kerja, ia benar-benar tenggelam dalam kerja, seorang ‘workholic’, sangat keranjingan kalau sudah bekerja.
Banyak kali ia terlambat makan baik siang maupun malam. Mungkin juga karena saat makan terlambat ia pun bisa dapat sisa makanan yang ia siapkan untuk kucing yang berliaran. Di situlah terlihat kepeduliannya pada hewan yang nyaris tidak diperhatikan orang lain.
Karena dedikasinya pada pendidikan ini maka setelah 2 periode jadi Ketua STFK Ledalero (1994–2003), ia barangkali mau tarik napas panjang untuk bisa bernapas legah. Tetapi ternyata tidak demikian. Hanya 2 tahun sesudahnya ia diminta berpindah ke Ruteng. STKIP Santu Paulus Ruteng tengah mengalami prahara. Kehadiran Pater Servulus dianggap solusi yang tepat. Semua imam (baik SVD maupun projo) adalah muridnya. Dengan demikian ia hadir benar-benar sebagai bapa bagi semua, Prahara itu pun perlahan menuju akhir yang baik.
Di STKIP Ruteng, pastor yang tamat di SMP Kisol (1957-1960) dan SMA Seminari Mataloko (1960-1964) ini bisa melakukan perannya dengan baik. Dua periode (2005 – 2011) kepemimpinannya bisa meletakkan dasar yang kuat Sekolah Tinggi yang kini telah menjadi Universitas Santu Paulus itu.
Tidak hanya itu. Setelah selesai tugas yang mahaberat itu, ia masih dipilih jadi Provincial SVD Ruteng. Kali ini hanya satu periode (2011-2014) karena ia merasa sudah terlalu tua. Ia berumur 70 tahun dan 40 tahun imamat, sebuah periode di mana ia bisa lebih fokus pada pelayanan yang ia senangi.
Sangat Perhatian
Secara pribadi saya kenal Pater Servulus di awal-awal setelah tiba di Ledalero tahun 1994. Tahun setelahnya, 1995, sebagaimana tradisi, STFK Ledalero mengadakan pertukaran mahasiswa dan dosen dengan Sekolah Teologia (calon pendeta) Kupang. Program ini dimulai tahun 1977 oleh Pater Henrich Heekeren, SVD, dosen Kitab Suci STFK Ledalero yang kemudian terpilih jadi Superior General. Maksudnya agar para calon imam dan calon pendeta sejak awal bisa bekerjasama).
Untuk program pertukaran tahun 1995, dari Ledalero Fr. Marcel Lamuri mewakili Ritapiret dan saya sendiri dari Ledalero, didampingi P. Servulus. Di situ saya kenal secara pribadi. Terasa sangat dekat, hal mana berbeda kalau masih di Ledalero. Karena harus hidup dan bergabung dengan mahasiswa lain di los seperti asrama, maka Pater Servulus memberikan tambahan uang saku.
Bagi kami yang hanya dapat uang saku pas-pas dibagi akhir bulan Rp 7.500, mendapatkan uang dari Pater Servulus itu sebuah berkat luar biasa. Kami bisa lewati hari-hari bersama para calon pendeta dengan tanpa canggung. Bukan soal uang. Tetapi perhatiannya sangat besar terasa.
Dalam kebersamaan sebulan, terlihat Pater Servulus yang sangat human. Itu kami saksikan ketika mengikuti kegiatan calon pendeta di perbaasan TTU – TTS. Di sana para calon pendeta tinggal di hutan tetapi ditata dengan tempat tinggal yang cukup baik. Para mahassiwa bisa sekolah alam di sana di bawah bimbingan dosen.
Saat itu terlihat kedekatan Pater Servulus dengan para dosen teologia dan mahasiswa. Ia begitu disenangi. Lebih lagi ketika memberikan kuliah tentang Perjanjian Lama, Penguasaan bahasa Ibrani dan Yunani dan penjelasannya begitu detail tentang Kitab Suci membuat para calon pendeta berdecak kagum.
Di Kupang, saat kami bertemu ke rumah Pendeta Radja Haba, terlihat mereka berdua begitu intens berdialog. Kami hanya duduk mendengar dan kagum, sambil menimbah sedikit pengetahuan dari dua orang hebat itu.
Hanya Mengabdi
Saat merayakan 70 tahun hidup dan 40 tahun imamat, saya membayangkan, kerinduan yang terpendam selama ini adalah melayani secara tulus Itu yang saya bayangkan dari 6 tahun sebelum wafatnya.
Ia bisa menyelami bahwa belajar Kitab Suci bukan bertujuan selain untuk mendalami lebih dalam kasih Allah. Kasih yang dinarasikan dalam Perjanjian Lama dan terwujud dalam Perjanjian Baru. Kasih itulah yang mau dibagikan dalam 6 tahun yang sangat istimewa baginya.
Pengalaman kasih itu pula yang barngkali menjadi salah satu sebab kejangkitan virus Covid-19. Ia melewati hari-hari mendoakan, menjamah, memberikan pengobatan kepada orang yang sakit. Meski akhirnya covid merenggutnya, tetapi saya yakin pelayanan 6 tahun sebelum wafat adalah saat yang paling indah dalam hidupnya. Ia seakan meninggalkan semua dan yang ada padannya hanyalah membantu orang.
Inilah kematian yang rasanya sulit kami terima. Kami ingin agar kematianmu bisa ditangisi dan bisa dirayakan. Minimal saat itu mau mendengar aneka kesaksian. Tetapi barangkali itu tidak sejalan denganmu yang lebih memilih bekerja dalam keheningan dan ingin wafat dalam kesunyian pula.
Kasih dan doa seperti inilah yang tentu ia lanjutkan di Surga. Karena dari Surga (tanpa rokok tentunya) ia bisa terus melayani, melihat dan mendoakan semua orang yang masih berziarah, terutama agar covid tidak menelan begitu banyak korban lagi. Terima kasih Pater.
Robert Bala, Murid Pater Servulus 1994-1996