Ingat Paskah, Ingat Larantuka

Oleh Tony Kleden

Bacaan Lainnya

DIBANDING dengan ibu kota kabupaten lain di NTT, Kota Larantuka, Ibu kota  Kabupaten Flores Timur  ‘belum apa-apa’-nya.  Belum apa-apa karena sudah lebih setengah abad Larantuka jadi ibukota kabupaten. Beda dengan sejumlah kota kabupaten baru di NTT seperti Tambolaka, Borong, Labuan Bajo, Mbai atau Betun.

Larantuka kota kecil saja. Topografinya tidak mendukung untuk pertumbuhan dan perkembangan sebuah kota. Selatan masuk laut, utara langsung mendaki Gunung Mandiri.

Penduduk kota ini juga belum terlalu padat.  Warganya sangat homogen. Baik budaya, suku maupun agama. Geliat ekonominya begitu-begitu saja. Tidak luar biasa. Tidak juga jelek-jelek amat. Hiruk pikuk kendaraan dan manusia dengan mobilitas tinggi tidak terlihat di Larantuka.

Letaknya yang berhadapan dengan Pulau Adonara dan Pulau Solor membuat Larantuka bagaikan sebuah kota pelabuhan di tepi telaga. Karena kecil, tidak ramai dan fasilitas publik terbatas, Larantuka tidak menjadi incaran para pelancong.

Tetapi justru kondisi, suasana dan bahkan tradisinya yang unik, yakni Semana Santa, menjadikan  Larantuka punya pesona.  Sudah dari dulu, jauh sebelum negeri ini mereguk kemerdekaannya, ketika kota lain di NTT belum banyak dikenal dan mengenal peradaban, Larantuka sudah punya nama. Namanya bahkan sudah ditulis berabad-abad silam. Ditulis  dalam catatan harian para misionaris Eropa  tahun 1600-an ketika menabur benih-benih kekatolikan di Larantuka.

Berkat karya para misionarislah, banyak orang Larantuka menyebar ke mana-mana. Jadi guru. Tukang kayu dan batu. Kita paham di Ngada, di  Manggarai, di Ende, di Timor Leste, di Sumba banyak orang Larantuka merenda hidup hingga detik ini. Fam-fam khas Lamaholot ada di banyak daerah di NTT. Di luar NTT juga banyak. Seperti sudah jadi pendapat umum, di kota mana pun, pasti ada orang Larantuka, orang Lamaholot.

Teringat kisah mama saya. Tahun 1937 ketika masih berusia  dua tahun, mereka ‘merantau’ ke Sumba, tepatnya di Waikabubak. Ke Sumba karena nenek saya dikirim misi Katolik sebagai guru ke Waikabubak.  Di tahun-tahun itu, kisah mama saya, kebanyakan orang Sumba masih pakai cawat. Pakaian dan sarung hanya dikenakan para bangsawan.

Kisah dan sejarah tentang kehadiran dan jejak karya para misionaris di Larantuka, terutama tentang Semana Santa, dengan gemilang ditulis oleh Romo Dr. Yohanes Hans Monteiro dalam buku berjudul, “Semana Santa di Larantuka, Sejarah dan Liturgi” (Penerbit Ledalero, 2020).

Di tengah hujan lebat di penghujung Januari 2021 lalu, saya melacak dan menemukan buku ini di Kupang.  Dari tangan seorang kerabat penulisnya, buku ini saya dapat. Tidak tunggu lama, saya melumat buku ini dengan kuriositas sangat tinggi. Pemicunya satu saja. Ingin mengetahui dari sumber jelas, tertulis dan dapat dipertanggungjawabkan.

Romo Hans menulis buku ini dengan referensi luar biasa kaya. Dalam bahasa Jerman,  Portugis, Inggris dan Indonesia. Catatan-catatan harian para misionaris ditunjukkan dalam bahasa aslinya.

Dari buku ini kita tidak hanya mengerti tentang  Larantuka dan tradisi Semana Santa yang terwarisi dan dipraktekkan hingga sekarang. Lebih jauh dari itu, dari halaman-halaman buku ini kita bisa menangkap konteks situasi, konteks sosial masyarakat, medan karya para misionaris, ekspresi dan ungkapan iman umat pada tempo dulu.

Saya suka isi buku ini. Bahkan pada beberapa bagian, saya baca beberapa kali. Baca sambil mengingat-ingat praktek rangkaian Semana Santa hari ini di Larantuka.

Buku ini penting untuk dibaca siapa saja untuk mengetahui secara lengkap, utuh, dan terutama konteks sejarah riwayat  Semana Santa yang bertahan hingga sekarang.

Hari ini, sudah dua kali Prosesi Jumat Agung di Larantuka, prosesi paling kolosal di muka bumi ini ditiadakan. Corona jadi penyebab utama dan tunggal. Umat Katolik Larantuka, para peziarah yang mendamba hanya bisa memendam rindu. Corona membatasi ruang gerak. Praktek dan eskpresi keimanan  seperti berada di bawah sungkup virus laknat ini.

Tetapi iman tidak pernah boleh kalah. Kalah dan dikalahkan oleh apa saja. Tidak hanya oleh virus. Tidak juga hanya karena bom dan atau aksi teror. Sudah dari dulu, sudah dalam rentang sejarahnya di dasar hati umat Kristen tumbuh keyakinan kuat ini: di mana Gereja dihambat, di situ Gereja merambat.

Dua tahun sudah Semana Santa Larantuka tidak dirayakan sebagaimana biasanya. Hikmahnya tentu ada: iman umat Larantuka dan mereka yang selalu punya kehendak baik untuk berziarah ke Larantuka Hari Bae  Semana Santa semakin kuat dan diteguhkan.

Tentang ini orang Larantuka tahu dengan baik. Karena mereka tidak hanya yakin, tetapi juga merasakan bagaimana Ratu Larantuka, Ratu Reinha Rosari melindungi, merawat dan menjaga mereka. Dari dulu, sekarang dan seterusnya. (kupang, jumat agung 2021)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *