Oleh Tony Kleden
Ini memoria tentang Flores Timur 15 tahun lalu dan masa-masa sebelumnya. Memoria ini merujuk pada pengalaman pribadi ketika berkali-kali mengalami, merasakan dan beberapa kali juga melakukan perjalanan jurnalistik di Flotim.
Sekitar 15 tahu lalu dan masa sebelumnya ruas jalan di Flotim, entah itu jalan negara, jalan provinsi maupun jalan kabupaten, banyak yang rusak. Boleh juga disebut rusak parah.
Ruas Waiklibang-Riangpuho di Kecamatan Tanjung Bunga, Flores Timur (Flotim), misalnya, bopeng sepanjang jalan. Jarak tempuh yang hanya 12 km itu menyita waktu tempuh sekitar 1 jam lebih dengan kendaraan bermotor. Pengemudi angkutan ekstra hati-hati. Musim hujan, badan jalan tidak terlihat. Tertutup rumput dan alang-alang tinggi dan tebal.
Hingga medio tahun 1980-an ruas ini belum layak disebut jalan raya. Yang ada jalan setapak. Dari Waiklibang, sekarang lebih dikenal dengan nama Ratulodong, warga mesti jalan kaki jika hendak ke Riangpuho dan sekitarnya.
Kondiri sama jeleknya dengan jalan ke Lamanabi, tempat biara Trapis berada. Lamanabi (maaf) bagi orang Flotim, khususnya dari daratan Flotim, identik dengan keterbelakangan, keterisolasian. Lamanabi selalu jadi contoh, jadi representasi untuk melukiskan ketertinggalan. Tidak ada ruas jalan untuk kendaraan bermotor. Yang ada hanya jalan setapak.
Kondisi sama juga dengan jalan di Adonara. Tidak ada sentuhan aspal. Batu-batu menganga. Menghiasi jalan. Tak ayal mobilisasi masyarakat ke mana-mana serba terbatas dan sulit. Padahal pulau ini bak Taman Eden. Hasil dan potensi pertanian melimpah. Tidak ada orang Adonara bakal mati kelaparan kecuali malas.
Sekarang semuanya berubah total. Ruas jalan di hampir semua tempat di Flotim beraspal. Banyak juga yang sudah dihotmix. Kendaraan bolak balik Larantuka-Riangpuho, bahkan sampai di Turubeang tanpa banyak hambatan. Mimpi yang jadi nyata.
Di Adonara juga sama. Jalannya hitam, licin dilapisi aspal hotmix. Arus kendaraan ramai nian. Para ASN di Larantuka yang bertugas ke Adonara tidak perlu bermalam. Dua daratan itu sekarang tersambung oleh penyeberangan dari beberapa titik. Bisa bawa sepeda motor kalau ingin perjalanan jadi mudah.
Dari Larantuka bisa melalui Pantai Palo menyeberang ke Tanah Merah di Adonara. Ojek laut ini setiap saat menyeberang menantang arus gonsalu yang kencang di Selat Sempit Larantuka itu. Jarak antara Pantai Palo dan Tanah Merah hanya sekitar 600 meter. Dua titik ini yang rencananya dibangun Jembatan Palmerah itu oleh perusahaan dari Belanda itu.
Sejak pagi hingga jam 21.00 ojek laut siap beroperasi. Penumpang tidak perlu mengantre. Ongkos Rp 5.000/orang terbilang murah. Kalau bawa dengan sepeda motor ongkosnya Rp 20 ribu. Gampang. Pergi pagi pulang sore atau malam.
Bisa juga dari Pelabuhan Larantuka menyeberang ke Pelabuhan Tobilota. Jaraknya lebih jauh. Tetapi aman karena motor laut yang menghubungkan dua titik ini lebih besar.
Turun di Tobilota atau di Tanah Merah akses terbuka lebar ke mana saja di seluruh Adonara. Tentu dengan kendaraan bermotor, terutama sepeda motor.
Ini kondisi faktual Flotim sejak kurang lebih 10 tahun terakhir. Wajah Flotim berubah total. Banyak ruas jalan licin hitam. Pasar terbuka. Dan, ekonomi menggeliat.
Sudah tentu dana-dana pembangunan ini datang dari pemerintah, pemerintah pusat. Mengandalkan APBD semata mustahil. Dana APBD Flotim sangat terbatas. Dengan PAD (pendapatan asli daerah) hanya sekitar Rp 60-an miliar/tahun, Flotim hanya bisa berharap dari pemerintah pusat.
Maka yang dibutuhkan adalah network, jaringan ke pemerintah pusat. Yang diperlukan adalah relasi dan interaksi dengan orang pusat yang punya pengaruh dan posisi kuat. Yang diandalkan adalah aksesibilitas ke pemerintah pusat.
Kabupaten Flotim sangat beruntung dengan kehadiran sosok Melchias Markus Mekeng, anggota DPR RI dari Partai Golkar. Pada periode sebelumnya, Mekeng duduk sebagai Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI.
Posisi ini sangat kuat dan penting dalam hal sinkronisasi hasil pembahasan di Komisi-komisi DPR RI mengenai rencana kerja dan anggaran di Kementerian atau lembaga-lembaga yang mengelola keuangan negara.
Dengan posisi seperti itulah Mekeng punya ‘hati’ untuk Flotim. Dia membalas dan menyatakan terima kasihnya kepada masyarakat Flotim yang menyumbang puluhan ribu suara saat tiga kali Pileg terakhir dengan membantu anggaran pemerintah pusat untuk pembangunan infrastruktur di Flotim.
Maka selayaknya, orang Flotim mesti bersyukur mengirim sosok seperti Mekeng ke DPR RI. Tidak sia-sia memilihnya. Tidak rugi mengutusnya duduk di Senayan tiga periode hingga sekarang ini.
Pada periode ini Mekeng tidak duduk sebagai Ketua Banggar, tetapi tetap duduk sebagai anggota Banggar. Itu artinya Flotim masih boleh bernafas lega mendapat perhatian dari pemerintah pusat.
Meski punya peran dan kedudukan sangat strategis, pria asal Maumere kelahiran Jakarta, 8 Desember 1963 ini tidak tepuk dada. Mekeng bukan tipe orang yang suka pamer diri. Dia tidak bakal berteriak mempertontonkan hasil perjuangannya untuk masyarakat Flotim. Dia juga jarang muncul di media sosial sekadar untuk promosi diri.
Wujud perjuangannya bukan narasi. Bukan juga kata-kata manis memabukkan. Yang kemudian diviralkan di medsos.
Mekeng lebih suka berada langsung di tengah masyarakat, berinteraksi dengan warga. Sebagai wakil rakyat Mekeng ingin selalu dekat dan berada bersama rakyat. Dia ingin menghirup aroma keseharian konstituennya. Dia mau menghirup bau badan konstutuennya.
Hasil perjuangannya untuk Flotim nyata. Selain ruas jalan, puluhan gereja, pastoran dan masjid di Flotim, dan Lembata juga mendapat bantuan dari kekuatan jaringannya. Mekeng tetap tampil dengan gayanya. Tidak jaim. Tidak mau berjarak dengan lawan bicara, apalagi dengan masyarakat setiap kali reses.
Ketika ngobrol bareng di Kupang, Kamis (7/10/2021) lalu, Mekeng tampil sahaja. Mengenakan baju kaos dan celana jeans, putra Josef Blasius Bapa dan Alreda Da Silva ini tampil sebagai ‘orang kita’. Orang Flotim, orang NTT.
Ketika disentil namanya sangat lengket di hati orang Flotim dan Lembata, Mekeng hanya tertawa. Dia menegaskan, apa yang diperjuangkan itu merupakan wujud tanggung jawabnya sebagai wakil rakyat di Senayan kepada konstituennya.
Karena tanggung jawab itulah, Mekeng menyumbang banyak kebutuhan warga, baik sebagai anggota DPR RI melalui anggaran pemerintah, juga sebagai pribadi yang menaruh peduli terhadap sesama.
Ketika hari-hari ini warga Flotim bisa dengan mudah dan gampang ke mana- mana, mereka hanya ingat nama Mekeng. Nama Mekeng lengket dan selalu ada di lubuk nubari warga Flotim. Dari kalangan muda milenial hingga orang-orang tua yang sudah sepuh. Namanya menembus sekat suku, melewati batas agama dan mengatasi golongan. Itu karena hati, karena panggilan nurani Mekeng untuk Flotim. (*)
Tony Kleden, Pengurus DPD I Golkar NTT