Media online kabarntt.co menurunkan cerita bersambung tentang tugas, pekerjaan dan panggilan para misionaris (imam Katolik) asal NTT yang bekerja di negara-negara lain (dalam tradisi Katolik disebut Tanah Misi). Begitu banyak kisah menarik yang bisa menginspirasi pembaca. Edisi pertama ini Pater Yosep Mapang Pukan, SVD menulis kisah panggilannya hingga bekerja di Brasil. Medan kerja pastor asal Lembata ini begitu luas di kawasan hutan Amazone yang terkenal sebagai hutan terbesar dunia. Ikuti kisahnya.
“Firman TUHAN datang kepadaku, bunyinya : “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, ….(Yeremia 1,5)
Inilah sepenggal Sabda Tuhan yang menginspirasi saya Pater Yosep Mapang Pukan, SVD putra sulung pasangan Yakobus Belido Pukan dan Katarina Beto Wutun, saat memutuskan untuk menjawabi panggilah Tuhan , dan diurapi menjadi imam dengan moto tahbisan “Tuhan Mengenal Aku “ (Yer 1,5).
Tepat pada tanggal 8 September 1995 di Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret, Maumere, bersama 32 diakon lainnya saya diurapi menjadi imam Tuhan bersama dengan teman-teman seangkatan termasuk yang dari Projo. Ada yang seangkatan sejak dari Seminari San Domingo Hokeng tahun 1983 dan yang lain sejak sama-sama memulai kuliah filsafat di STFK Ledalero tahun 1988.
Sesuai dengan benuming (penempatan) untuk tugas misi, saya diutus ke daerah Misi Negara Brazil, khususnya Regio Amazon. Bulan Mei 1996, pamit dengan keluarga-keluarga di kampung halaman Mulandoro di pantai selatan Lembata dengan acara-acara seadanya tetapi penuh kekeluargaan, diisi dengan pesan-pesan bijak dari orang-orang tua dan sanak kerabat. Seterusnya berangkat ke Lewoleba, Larantuka dan ke Maumere. Dari Maumere dengan kapal laut Kelimutu berlayar dengan tujuan Surabaya dan seterusnya sekitar dua pekan kemudian ke Jakarta, di Rumah SVD di Jalan Matraman Raya.
Semua Serba Asing
Setelah lima sampai enam bulan menanti urusan surat-surat resmi di Kedutaan Brazil atas jasa baik Pater Frans Lamuri, SVD, akhirnya persis tanggal 26 November tahun 1996, pamit dari rumah SVD Jakarta menuju Bandara Soekarno Hatta. Dan, selamat tinggal Indonesiaku tercinta. Saya terbang menuju ke negara-negara asing.
Wah, semuanya serba asing. Bahasa asing, dalam perjalanan bersama orang-orang asing, mulai dari Singapura terutama saat tiba di Paris-Prancis. Bagaimana tidak, suhu udara waktu itu di bawah nol derajat.
Saat dalam ruang tunggu ada rasa takut melihat orang-orang asing yang besar tinggi apalagi hitam kekar. Saya yang kecil pendek begini jadi ketakutan. Atas bantuan teman-teman yang ada di Paris dan karena ada visa masuk, makanya saya bisa keluar dari bandara. Beberapa jam kemudian saya tiba di Rumah SVD di Kota Paris.
Kemudian saya meneruskan penerbangan ke Brazil. Tepat tanggal 28 November tahun itu, saat pagi hari tiba di bandara di Kota São Paulo. Tambah asing lagi dan jadi bingung. Karena tak seorangpun yang saya tanya bisa berbahasa Inggris, satu-satunya bahasa asing yang bisa saya jadikan sarana untuk berkomunikasi.
Syukur kepada Allah, akhirnya saya temui satu orang asing yang bisa berbahasa Inggris meski terpatah-patah tetapi menolong saya untuk urusan lanjut penerbangan lokal ke kota asing juga, namanya: Belo Horizonte.
Saat siang hari menjelang sore saya tiba di bandara wilayah Belo Horizonte dan dijemput oleh dua orang asing. Tetapi setelah melihat buku Catalog SVD, betapa gembira hatiku. Ternyata ada dua orang itu adalah pastor SVD. Yang satu asal Polandia dan satu lagi orang Brazil.
Yah, tiket penjalanan saya sampai pada titik akhir sementara tujuan ke Amazon. Selama kira-kira satu pekan saya tinggal di Rumah Provinsialat SVD Brazil Utara di Kota Belo Horizonte.
Lagi-lagi semua serba asing. Setiap pagi dan sore hari semua penghuni rumah keluar kerja dan tinggal saya sendiri berhadapan dengan orang-orang asing di dapur. Selain saya harus berusaha untuk bisa berdialog paling kurang minta makan minum, pekerja-pekerja di dapur juga jadi bingung berhadapan dengan saya yang juga orang asing bagi mereka.
Pada tanggal 3 Desember 1996, bertepatan dengan pesta Santu Fransiskus Xaverius, salah satu dari kedua pelindung karya misi sedunia, saya pamit dari Belo Horizonte menuju Kota Santarém yang dikatakan letaknya di tengah belantara Amazon. Dalam tiket yang dibeli, saya akan lewat Kota Brasilia (ibu kota negara).
Wah, saya langsung mencari kontak dengan Pater Rafael Plato, SVD, asal Indonesia yang bertugas di sana agar nanti bisa bertemu di bandara. Syukur kepada Allah, untuk satu dua jam saya bisa berbahasa Indonesia saat bertemu dengan Pater Rafael saat masuk ruang tunggu di bandara di ibukota negara.
Perjalanan kemudian berlanjut ke Kota Manaus, bagian utara negara. Tanpa saya kenal ternyata penumpang yang bakal duduk di samping saya di pesawat berkerudung, seorang biarawati dan berjaket khas dari Asia. Namun agar tidak menjadi malu, saya diam seribu bahasa karena takut salah kaprah. Baru pada saat berada di ruangan tunggu Bandara Manaus, saya memberanikan diri bertanya kepada penunpang tersebut dalam bahasa asing juga. Ternyata dia adalah suster berasal Sumatra – Indonesia. Namanya Suster Agnes.
Wah dunia gelap dan asing tadi sepertinya kembali bercahaya, membuat saya tanpa segan-segan mengatakan kalau saya seorang Pastor SVD juga dari Indonesia , tepatnya NTT dalam perjalanan ke Kota Santarém-Amazon. Serta-merta Suster Agnes menimpali, “Saya juga”.
Namun, suasana gembira itu tidak lama saat pesawat bertuliskan VARIG mendarat di landasan bandara Kota Santarém. Kami berpisah karena masing-masing dijemput ke biara entah di mana letaknya dan berapa jarak pemisah .
Cuaca panas terik musim kemarau sangat terasa. Sekitar jam 3 sore keluar dari pesawat dan berjalan menuju ruang pengambilan barang sambil menjinjing tas kecil dan mendorong tas besar bawaan saya. Lagi-lagi orang asing masing-masing dari India dan Irlandia yang saya jumpai datang menjemput dan menghantar saya ke Rumah Pusat SVD.
Saya disambut dengan ramah meski saya tidak mengerti apa-apa yang mereka ungkapkan, kecuali mereka yang berbahasa Inggris. Syukur kepada Tuhan karena banyak orang berbahasa Inggris meskipun saya sendiri sangat miskin penguasaan kosa kata.
Inilah awal dari ‘penderitaan’ berada di antara semua yang serba asing. Misalnya perbedaan waktu dari Indonesia siang berganti malam dan sebaliknya, bahasa, makan-minum, tingkah laku orang, kebiasaan orang dalam berpakaian atau sikap saat bertemu dan lain-lain. (bersambung)