KUPANG KABARNTT.CO—Pengelolaan kawasan konservasi (KK) yang selama ini lebih mengandalkan pendekatan kekuasaan mestinya diganti dengan pendekatan budaya.
Pendapat ini dikemukakan Frans Sarong, mantan wartawan Harian Kompas ketika berbicara pada talk show yang digelar mengisi Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN) dan Hari Cinta Puspa & Satwa Tahun 2021 yang dipusatkan di NTT, tepatnya di Taman Wisata Alam Teluk Kupang, Pantai Lasiana Kupang, Senin (22/11/2021).
Selain Frans Sarong, talk show dengan tema Konservasi Alam itu juga menampilkan narasumber lain, yakni anggota DPR RI, Julie Sutrisno Laiskodat, Ketua Asita NTT, Abed Frans, dan Rektor Undana Kupang, Profesor Ir. Fred Benu.
Dalam pemaparannya, Frans Sarong mengaku sudah lama merasa gerah dengan model pengelolaan kawasan konservasi (KK) yang selalu dominan dengan pendekatan kekuasaan.
Alasan lainnya, tawaran tema bahasan ini diyakini sebagai isyarat positif dari Kementerian LHK. “Setidaknya adalah isyarat bahwa Kementerian LHK kini sedang dalam arah penyempurnaan model pengelolaan KK, yakni tidak hanya ketat menjaga kelestarian KK-nya, tetapi juga mendorong tumbuhnya keharmonisan hubungan bahkan keterlibatan berbagai elemen masyarakat sekitarnya, termasuk turut menjaga kearifan lokalnya. Asumsinya, pengelolaan KK akan selalu menghadapi jalan terjal jika hanya menempatkan para rimbawan sebagai pengampu tunggal,” jelas Frans Sarong yang semasa aktif sebagai wartawan Harian Kompas mendapat apresiasi dari Kementerian LHK karena sering menulis tentang konservasi.
Merujuk pada catatan kritis Wahyudi Wardojo atas buku Wiratno/Dirjen KASDAE, “Wisata Intelektual, Catatan Perjalanan 2005-2020”, Frans mengatakan, kolaborasi dengan berbagai pihak dalam pengelolaan KK/hutan di tingkat tapak merupakan keniscayaan.
“Maka tuntutan lanjutannya adalah perubahan cara pandang dan juga cara tindak para rimbawan pengelola KK, yakni tidak lagi hanya menekankan pengamanan dan penegakan hukum sebagaimana umumnya. Model pengelolaan itu supaya dipadukan dengan pendekatan budaya hingga masyarakat sekitar turut merasakan manfaat dari keberadaan KK di depan matanya,” tegas Frans yang sekarang menjabat Wakil Ketua Bidang Media dan Penggalangan Opini Partai Golkar NTT ini.
Frans menyebut tragedi Rabu Berdarah, 10 Maret 2004 ketika enam warga Colol (sekarang masuk Manggarai Timur) tewas diterjang peluruh aparat di Polres Manggarai. Sebenarnya warga dari Colol itu ingin menjemput 7 sesama mereka yang sebelumnya ditahan Polres Manggarai dengan tuduhan merambah atau menyerobot kawasan hutan Taman Wisata Alam (TWA) Ruteng di sekitar Colol.
“Imbasnya selama kurang lebih 10 tahun terjadi kebekuan komunikasi antara pengelola TWA Ruteng dengan masyarakat sekitar kawasan, terutama masyarakat Colol. Selama itu pula, pengelolaan kawasan TWA seluas 32.245,60 ha itu pun jadi terabaikan. Kasus penyerobotan, perambahan dan kebakaran yang menimpa kawasan tidak terhindarkan,” tegasnya.
Menurut Frans, alam dan budaya saling menjaga dan manusia juga harus mengetahui itu supaya manusia, alam dan budaya sama-sama saling menjaga.
Frans juga menyarankan harmonisasi hubungan antara alam dan masyarakat sekitar kawasan hanya akan tumbuh kalau Kementerian LHK memberikan perhatian berimbang pada urusan cagar alam dan juga cagar budaya atau kearifan lokalnya.
“Saran pendek yang saya mau sampaikan pada kesempatan ini adalah jika mungkin, tambahkan Ditjen baru dengan tugas khusus memadukan urusan cagar alam dan cagar budaya. Mungkin Ditjen Cagar Alam dan Budaya,” serunya. (np)