KUPANG KABARNTT.CO—Niat Pemerintah Provinsi NTT meminjam uang dari dana PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) Rp 1,5 triliun di PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) perlu dikaji dan dipertimbangkan lagi. Pasalnya, bunga pinjaman yang mencapai 6,9 persen/tahun sangat berat.
Hal ini diungkap Ketua Fraksi Golkar DPRD NTT, Hugo Kalembu Rehi, kepada kabarntt.co, Rabu (5/4/2021) malam.
Hugo mengatakan, apa yang dilaporkan oleh Kepala Badan Keuangan Daerah Provinsi NTT pada rapat Komisi 3 sangat mengejutkan. Pasalnya, pinjaman daerah dalam rangka PEN sebesar Rp 1.500.000.000.000 yang disepakati dalam pembahasan dengan Komisi 3 adalah pinjaman dengan bunga nol persen dan hanya dikenakan biaya pengelolaan per tahun sebesar 0,185% dan biaya provisi sebesar 1% dari jumlah pinjaman sesuai dengan pasal 2 (2) PMK Nomor 105 tahun 2020, berubah menjadi pinjaman dengan suku bunga tinggi sebesar 6,19% dengan jangka waktu pengembalian selama 8 tahun sesuai PMK 179 tahun 2020 yang diundangkan 12 November 2020.
“Implikasinya adalah daerah harus merogoh kantong lebih dalam dengan menggelontorkan bunga kurang lebih Rp 700 miliar selama 8 tahun di luar biaya pengelolaan dan biaya provisi,” kata Hugo.
Sebenarnya, kata Hogo, PMK (Peraturan Menteri Keuangan) 179 tahun 2020 masih memberi kesempatan kepada daerah untuk mendapatkan bunga nol persen seandainya Pemda berhasil memasukkan permohonan pinjamàn sampai dengan akhir November 2020 sesuai dengan pasal 10 ayat (1a). Karena pinjaman tersebut masih masuk kategori pinjaman tahun anggaran 2020 dengan bunga nol persen.
“Tetapi karena Pemda NTT sampai akhir November 2020 belum juga memasukkan permohonan pinjaman maka pinjaman daerahnya dimasukkan kategori pinjaman PEN tahun anggaran 2021, yang oleh Menteri Keuangan telah dikenakan bunga dengan memggunakan 3 kategori: masa pengembalian 3 tahun bunga 5,30%; masa pengembalian 5 tahun, bunga 5,66% dan masa pengembalian 8 tahun bunga 6,19 %. Dan alternatif kategori bunga itulah yang dipilih Pemda NTT,” kata Hugo.
Menurut Hogo, sebenarnya Pemda NTT kurang cermat, kurang profesional dan kurang komunikasi dengan Kementerian Keuangan, dalam hal ini PT SMI sehingga pinjaman yang diajukan dikenakan bunga pinjaman 6,19% dan NTT mesti kehilangan Rp 700 miliar.
“Ini adalah harga dari sebuah keteledoran yang sangat mahal. Padahal pembahasan di Komisi 3 DPRD NTT sudah dilakukan sejak September 2020, sehingga Pemda NTT sebenarnya cukup memiliki waktu untuk membuat dan menyampaikan proposal pinjaman PEN ke Kementrian Keuangan sesuai apa yang disyaratkan oleh pasal 10 ayat (1a) PMK 179 tahun 2020,” sesal Hugo.
Menurut Hogo, dalam kondisi seperti ini adalah bijaksana kalau Pemda NTT kembali melakukan kajian dan melakukan pembahasan intensif dengan Komisi 3 untuk mendapatkan masukan sehingga tidak memberatkan APBD selama 8 tahun mendatang dan tidak membatasi ruang gerak kepala daerah masa jabatan berikutnya dalam mengelola APBD.
Hugo juga mengatakan, dalam kaitan dengan beban bunga yang memberatkan itu, maka perlu dikaji misalnya untuk memgurangi program/kegiatan yang sebenarnya masih membutuhkan kajian lagi.
Pemda juga bisa kembali kepada plafon pinjaman Rp 900 miliar seperti yang telah disetujui DPRD NTT tetapi hanya dikabulkan setengahnya oleh Kemendagri pada TA 2020.
“Atau juga tetap pada rencana pinjaman Rp 1,5 triliun tapi dilengkapi dengan analisis sumber dana pengembalian yang yang sungguh sungguh potensial yang dapat diaktualkan dari tahun ke tahun untuk menutup pokok pinjaman beserta bunganya selama 8 tahun anggaran,” kata Hugo. (den)