Oleh Robert Bala
Sebuah postingan di sebuah grup FB cukup mendorong penulis untuk berkomentar. Di grup bernama grup Kupang itu tertulis: “NTT yang bencana tetapi hanya Flores (Lembata/Adonara) yang dikunjungi. Ini hebatnya orang Flores berdiplomasi.” Demikian komentar status tersebut.
Sepintas, postingan ini wajar-wajar saja. Masing-masing orang bisa bebas mengungkapkan pendapatnya. Lebih lagi dia tahu bahwa bencana itu tidak hanya di Lembata dan Adonara. Bencana angin kencang bernama badai seroja itu menyapu-rata wilayah NTT. Tetapi ungkapan di atas perlu didalami hingga tidak memunculkan iri hati.
Kuat Diplomasi?
Kalau melihatnya sebagai kehebatan orang Flores berdiplomasi, maka tentu harus diuji lagi. Siapa yang berdiplomasi? Apakah orang-orang Flores di pusat? Apakah kekuatan media lokal mengangkatnya menjadi isu nasional?
Dalam kondisi bencana seperti itu memang tidak susah ditelusuri.Tetapi membaca postingan yang diberikan di beberapa grup media baik yang di Lembata (misalnya “Ini Baru Lembata”) atau Flotim (Cinta Flotim/Cinta Larantuka), maka postingan bencana itu segera dihadirkan. Tidak saja foto-foto tetapi video.
Postingan ini tentu saja ditampilkan juga di grup yang ada di dataran Timor (Malaka, Kupang, Alor, Rote dan sebagainya). Namun secara otomatis, postingan itu akan terseleksi menurut tingkat keparahannya. Lebih lagi fokus akan lebih diutamakan kepada jumlah korban yang meninggal.
Hal itu bisa dibuktikan setelah 6 hari bencana. Pada 10 April disebutkan total korban adalah 165 orang, 45 orang hilang, dan 8 orang lainnya mengalami luka berat. Dari sisi jumlah korban, Adonara menempati urutan teratas dengan 65 orang dan Lembata 45 orang. Alor sebanyak 28 orang meninggal dan 13 hilang. Di Kabupaten Malaka 6 orang meninggal. Di Kabupaten Kupang, 4 meninggal dunia. Sedangkan di Kota Kupang, 6 orang meninggal.
Dari pemetaan jumlah korban maka bisa terjawab alasannya. Dalam logika normal, yang lebih diutamakan adalah korban yang meninggal dunia (Adonara dan Lembata). Logika yang ada bisa saja mengatakan bahwa ketika napas masih ada, maka orang masih bisa berusaha. Tetapi kalau korban sudah meninggal, maka prioritas perlu diberikan kepada mereka dan keluarga yang ditinggalkan. Lebih lagi kalau melihat Lembata, maka ini adalah bencana lanjutan dari letusan Ile Lewotolok yang sejak 29 November 2020 hingga kini masih mengeluarkan letusan.
Dari sini bisa terjawab bahwa kunjungan Jokowi (menurut pendapat saya) tidak terkait dengan ‘tingkat diplomasi’ orang Flores di Jakarta. Ia sepenuhnya dilakukan atas pertimbangan logis di atas yang hemat saya itulah yang jadi dasar pertimbangan. Ia tidak memiliki kaitan dengan ‘diplomasi’ yang bisa saja menyebabkan rasa iri hati. Masyarakat di pulau lain di NTT (Timor, Alor, Sumba) tidak bisa menjadikan alasan untuk mendiskreditkan politisinya di Jakarta yang tidak ‘menggiring’ Jokowi untuk mengunjungi daerah mereka.
Yang mungkin merasa tidak mengalami kunjungan kali ini adalah Alor. Korban 28 orang itu tidak sedikit tentunya. Namun korban di Alor bersebaran di 3 kecamatan: Alor Tengah Utara, Pantar Tengah dan Pantar Timur. Hal itu menunjukkan bahwa bila diadakan kunjungan maka tidak hanya satu tempat tetapi 3 tempat dan tidak akan difokuskan pada satu tempat.
Perhatian Menyeluruh
Harapan atas kunjungan Jokowi tentu punya banyak alasan. Kegesitan menjawabi permasalahan di lapangan merupakan alasan yang paling utama. Di tengah bencana ia bisa langsung perintahkan untuk mengadakan relokasi seperti yang terjadi di Lembata dan Adonara. Tak heran mengapa ia membawa Menteri PUPR agar segera menindaklanjuti.
Alasan lain karena mungkin geografi pulau-pulau itu belum dikenal secara dekat. Jokowi sudah beberapa kali ke NTT tetapi lebih fokus ke beberapa daerah di Timor meresmikan bendungan dan juga Sumba. Di Flores ke Labuan Bajo dan Sikka. Daerah lain khususnya Adonara dan Lembata mungkin saja belum terngiang-ngiang di telinga Jokowi.
Tetapi rakyat di daerah ini (seperti daerah lain di Flores, hal mana terjadi kritikan atas kunjungan ke Maumere) sangat mendambakan Jokowi. Di Lembata saat perayaan Harnus 2017 rakyat mengharap banyak bisa lihat presiden. Dan semua bisa yakin bahwa kalau tidak ada bencana, maka tidak akan melihat sang presiden yang merupakan presiden pertama menginjakkan kaki di Lembata dan Adonara.
Di sinilah bisa dipahami mengapa di Lembata orang di kecamatan lain yang tidak terdampak melepaskan pekerjaan mereka berebut mencari satu ruang bisa melihat Jokowi sejak turun di Bandara Wunopito, sepanjang perjalanan ke Ile Ape maupun saat mengunjungi pos pengungsian. Semua seakan sudah membagi lokasi agar bisa melihat sang presiden yang kurus itu.
Di Adonara, tidak bisa terjadi penyebaran warga. Jokowi langsung turun di lokasi sehingga tidak ada arak-arakan. Rakyat yang tahu akan hal itu langsung berkumpul dalam lautan manusia di tempat bencana. Aneh mungkin orang luar (apalagi Jokowi haters) melihat bagaimana di tengah bencana tetapi masyarakat Adonara rela jalan berkilo-kilo meter di tengah kerusakan jalan untuk bisa melihat sang presiden.
Terbayang ada yang keluarganya meninggal akibat bencana. Di momen itu mereka malah ikut berjejal, melupakan duka sesaat untuk bisa melihat sang presiden. Ada yang terluka. Dengan keadaan yang masih belum stabil, mereka memiliki harapan yang melampaui deritanya. Ia paksakan diri untuk bisa menunggu sang presiden. Tak heran banyak yang pingsan karena terlalu lama menunggu sang presiden.
Bagi yang tidak mengalami kehadiran nyata Jokowi tentu akan terhibur ketika perhatian kepada mereka yang jadi korban terjadi secara menyeluruh. Tentu saja disesuaikan dengan tingkat keparahan. Artinya kekecewaan karena tidak dikunjungi akan hilang ketika datang bantuan itu hingga mereka pun terhibur bahwa meski tidak melihat langsung sang presiden tetapi bantuan itu juga bisa menggantikan (meski tidak sama) kehadiran sang presiden.
Yang tentu juga diharapkan, kunjungan ini menjadi seperti dorongan dan harapan bahwa NTT itu tidak hanya Timor, Flores, dan Sumba sebagai pulau-pulau besar. NTT malah terdiri dari 1.192 pulau dan baru 432 di antaranya bernama. Kunjungan kali ini menambah wawasan tentang 2 pulau berpenduduk yang tentu punya sejarah sendiri. Di Lembata, efek kunjungan bisa saja menambah peta pengetahuan warga Indonesia akan kemolekan pulau yang membuat bupatinya begitu mengembangkan pariwisata (malah terkesan sangat berlebihan membangun pariwisata dan lupa aspek lainnya). Siapa tahu banyak orang yang ‘googling’ dan bisa ke sana (itulah berkah di balik kunjungan sang Presiden).
Adonara bisa saja mendapatkan berkah. Bencana yang datang seakan mengumpulkan warganya untuk berhenti dari pertikaian berdarah. Jokowi, kalau dibisikkan tentang Adonara mungkin geleng-geleng kepala dan tidak percaya. Mengapa rakyatnya yang begitu adem bisa jadi begitu ganas? Dan tidak hanya itu. Karena saking tertariknya Jokowi pada Adonara maka ketika usulan jadi kabupaten di daerahnya, ia bisa cepat tandatangani. Itu harapan.
Jadi, bencana NTT tidak hanya Lembata dan Adonara yang disanjung. Hal itu bukan saja karena lobi tingkat tinggi orang Flores. Ia adalah sebuah lobi (kalau pun ada) demi NTT. Kunjungan ke dua pulau ini tetapi (semoga saja) berkatnya untuk semua warga NTT. (*)
Robert Bala, Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik, Tinggal di Jakarta. Penulis buku: Pembelajaran Jarak Jauh, Penerbit: Gramedia Akhir April 2021