Oleh P. Kons Beo, SVD
Ulama Israel dan Kisah Main Duit Kubur Kosong Yesus
Ada yang menarik dari Alkitab Kristen seputar kisah Kebangkitan Yesus. Paska adalah kemenangan mulia Tuhan atas maut. Narasi alkitabiah melukiskan betapa Tuhan melampaui segala yang telah ditetapkan manusia.
Tetapi ini tak berarti manusia menerima begitu saja kisah kemenangan Tuhan itu. Lihat saja. Sedemikian cemasnya Sanhedrin (Mahkamah Agama Yahudi) sehingga para ulama Yahudi itu terpaksa mesti maen duit. Uang itu amat berarti demi mendiamkan suara para prajurit. Ya, agar segala kebenaran kisah gempa bumi hebat dan tergulingnya batu kuburYesus jangan jadi satu kesaksian publik atas dasar kebenaran (Mat 28:2).
Para ulama itu memang sigap bersikap. Politik dusta tak terhindarkan. Gubernur di Yerusalem pasti turun tangan andai terdengar bahwa Yesus, terpidana politik itu, ternyata telah bangkit dan kuburNya kini kosong. Lalu caranya? Duit memang jadi taruhan. Demi aman dan tak diapa-apakan oleh sang Gubernur. Kata para ulama kepada para prajurit penjaga kubur, “Kamu harus mengatakan bahwa murid-muridNya datang malam-malam dan mencuriNya ketika kamu sedang tidur” (Mat 28:13). Injil mencatat lagi, “Mereka (para prajurit) menerima uang itu dan berbuat seperti yang dipesankan kepada mereka” (Mat 28:15).
Kita berandai, tentu saja para ulama itu masih punya rekening gendut yang nyaman demi kepentingan sendiri. Bayangkan saja, andai sang Gubernur tahu kisah yang sebenarnya. Tentu saja berbagai rekening atas nama kelompok Sanhedrin diblokir oleh bank-bank penguasa Romawi di Yerusalem. Ujung-ujungnya Sanhendrin sendiri pasti dimatikan pergerakannya sebagai institusi ilegal dan terlarang.
Sisi Lain Yang Memperkaya
Manusia makin berkembang. Dunia makin maju! Harus diakui itu dapat terlahir dari adanya pertarungan sengit antara, sekurang-kurangnya, dua sisi yang opositoris sifatnya. Manusia menjadi kaya dalam pengetahuan dan pengalaman karena keinginan yang paten untuk terus belajar. Tetapi manusia semakin menjadi tajam, cerdas, logis dan kritis dalam berbagi pertarungan narasi yang sehat.
Debat adalah dinamika dari bentangan opini, argumentum et factum yang harus dihadang oleh tinjauan cerdas alternatif. Bukankah dari situ terlahir pikiran yang semakin OK? Agar tak tinggal tetap dalam kebenaran mutlak dari sudut pandang yang mahatunggal? Atau setidaknya agar logika manusia tidak tetap tersangkar mati dalam kedunguan?
Ambil saja contoh, misalnya, keras kepalanya Ribka Tjiptaning untuk menolak disuntik vaksin corona tidak dilihat semata sebagai sikap tidak elok secara politik seorang anggota DPR RI dari PDIP untuk mendukung pemerintah. Di sisi lain, sikap tegas si Ribka ini, oleh pikiran lain, dianggap telah mencuri star lahan basah bagi sekelompok orang yang selalu asal kontra kebijakan dan sikap pemerintah! Ya, lebih baik ditentang oleh orang dalam ketimbang didor dan dihabok terus oleh yang selalu jadi tukang nyinyir.
Atau terdapat pandangan lain yang lebih gila lagi. Bahwa kemarahan besar kelompok garis keras atas kematian enam laskar FPI akibat perjumpaan sengit dengan aparat keamanan tidaklah karena alasan HAM semata. Tetapi ada alternatif opini lain bahwa kemarahan itu adalah satu sikap negatif reaksi alam bawah sadar terhadap aparat keamanan (polisi). Pihak keamanan dianggap telah merampok kebiasaan kelompok teroris yang akrab dengan kekerasan dan bahkan kematian. Singkatnya, yang mau dikatakan adalah ‘kekerasan itu adalah milik dan ketrampilan kami. Mengapa kalian (pihak keamanan) mencurinya?’
Salah satu ciri dari kecerdasan spiritual adalah adanya cara berpikir dan bertindak alternatif. Ada banyak cara yang unggul untuk mencapai sesuatu. Entah itu satu tujuan ataupun itu satu-dua prestasi. Terasa membosankan berada di alur pikiran dan tindakan yang itu-itu saja. Kreativitas adalah ungkapan tak terjebaknya manusia dalam arus yang monoton dan kaku. Kreativtas mengalirkan variasi, kekayaan, pilihan, dan segala tindak yang beraura tiada rotan akarpun jadi.
Sisi Kelainan Yang Mempermiskin
Tetapi, kita tak asal berdebat. Mesti ada dasar pegangan yang kuat. Tak sekadar mengungkapkan gagasan yang memperjuangkan cita-cita. Segalanya tentu mesti berpangkal pada hak asasi manusia, pada nilai-nilai hidup dan demi kepentingan atau kesejahteraan umum (bersama).
Bertentangan dengan pegangan-pegangan dasar ini, nyata terbaca sekian banyak kelainan yang justru mempermiskin! Terpaku mati-matian pada kepentingan sendiri atau kelompok (tanpa peduli sedikit pada yang umum) menyeret manusia pada cara berpikir, sikap dan tindakan yang membahayakan.
Jadinya, debat tak ubah jadi dagelan memperdengarkan sesat berpikir atau kelainan dalam logika! Dialog bersama demi satu dua mufakat terpolusi oleh saling serang. Kasar, tak berpola serta tak beretika. Demi nafsu akan kepentingan sendiri, maka tiada peduli sedikitpun lagi pada kebenaran, pada data yang valid, atau pada kenyataan. Demikianpun semakin berbahaya ketika hendak dilegalkan segala cara entah cara maut sekalipun! Kita pasti tak buta mata dan buta hati untuk melihat dan mengalami segala kelainan yang sungguh mempermiskin hidup bersama dan merusak martabat kemanusiaan.
Yang Terpenting: Asal Beda dan Asal Jangan…
Ini repotnya bila term oposisi digiring sungguh hanya dalam pemahaman konfrontatif (frons, dahi-Latin). Artinya, bila berada di garis oposisi itu berarti tidak ada pilihan lain selain wajib hukumnya untuk lawan dan tabrak langsung dan lurus, ‘dahi dengan dahi’, terhadap apapun yang jadi kebijakan tindakan pemimpin atau penguasa. Alur oposisi seperti ini akan panahkan segala kritik tajam. Dan sedikitpun tak ada ruang kecil untuk satu pengakuan pada yang berbeda.
Hanya kritik dan terus nyinyir adalah ancaman serius bagi kebersamaan hidup atas dasar ‘kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan…’ Yang kuat itulah yang menang. Itulah yang hendak dijunjung ketimbang harus hayati hidup atas dasar nilai, hak asasi manusia, atau kepentingan bersama. Musyawarah demi menggapai jalan terbaik atas dasar kemajemukan, dan demi hidup hidup damai dalam persatuan, misalnya, telah diobok-obok dan tidak diakui. Tak sulit untuk dimengerti bahwa dibalik semuanya adalah kepentingan sepihak yang mau diamankan. Entah dengan jalan kekerasan sekalipun.
Demi mengamankan kepentingan dan cita-cita eksklusif siapapun (sekelompok) bisa terjun bebas dalam paradigma asal beda dan asal jangan… Ya, asal beda dan asal jangan dia, jangan mereka, jangan yang dari kelompok sana, jangan dari yang bukan bilangan kita yang mesti jadi pemimpin atau pemegang tampuk kuasa.
Kita berani ambil contoh saja. Andai sudah ada julukan gubernur seiman, apa mesti Presiden Jokowi wajib berada di jalur sama bahwa Kapolri juga mesti seiman? Seruan untuk dirikan dan tegakkan negara khilafah, misalnya, tentu tak lepas dari gerakan masif dan terstruktur dicurigai telah terpola dalam bingkai asal beda dan asal jangan: Pancasila, UUD 45, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI!
Metamorfosa dalam ubah nama yang ditambah atau diganti dengan embel-embel ‘damai, persatuan atau persaudaraan’ bagi kelompok pro khilafah tak cukup mempan untuk menghapus rasa penuh awas dan putihkan jejak hari-hari silam yang suram. Penuh kekerasan plus sikap serta ujaran kotor, tak berakhlak dan sarat kebencian!
Ketiadaan Kebaikan dan Keburukan Bersama
Lihatlah. Yang nyata-nyata salah di hadapan umum, bisa diyakini benar oleh sekelompok yang lain! Pun sebaliknya, yang sungguh kasat mata benar dan baik bisa ditorpedo sebagai satu keburukan bahkan kejahatan.
Maka tak heran, misalnya, apa yang oleh umum dan oleh negara dianggap dan dialami sebagai racun yang merusak, bisa didaulat sebagai mutiara yang berharga oleh pihak tertentu. Soal pahlawan atau musuh, ya tergantung orang itu ada di pihak mana? Ya, apapun terjadi, yang penting beda, bung! Apalagi bila dikaitkan dengan kepentingan!
Kita memang ketiadaan kebaikan bersama yang mesti sama-sama diperjuangkan dan ditingkatkan! Kita ketiadaan musuh bersama yang mesti diperangi bersama-sama pula. Kita telah terkotak-kotak oleh kepentingan sendiri dan kelompok.
Di balik semuanya, apalagi kalau bukan demi idiologi, kuasa, serta berbagi jaminan hidup nan fana. Dan lebih fatal lagi bahwa kita merasa sanggup memborgol Tuhan di dalam penjara agama! Atau bahwa Tuhan sungguh telah dijadikan ‘barang dagangan murahan’ di atas panggung dan mimbar yang semestinya sejuk dan damai.
Ya, ‘Entah sampai kapan? Tak ada yang bakal dapat menghitung…’
Collegio San Pietro-Roma