(Sekadar Tendangan Sudut Bola Panas Pilwabup Ende)
Oleh P. Kons Beo, SVD
Ini tak sekadar isu murahan lagi. Seolah-olah sebagai argumentasi sederhana dan terkesan mengada-ada. Dinamika Pilwabup Ende memang telah berlangsung. Kemenangan Erik Rede yang luar biasa itu dianggap telah jadi jawaban atas dahaga masyarakat Ende. Demi terisinya jabatan Wakil Bupati, yang telah lama lowong.
Sepantasnya tak perlu bicara lagi soal etika politik bahwa ‘sewajarnya’ usungan Partai Golkarlah yang duduk di kursi 02 Kabupaten Ende. Semuanya telah berlangsung. Bahwa 29 anggota legislatif Ende telah nyatakan hak dan pilihannya, itu telah jadi satu factum. Tak terbantahkan!
Tetapi, sekali lagi, bila mesti kembali ke nota hentakan yuridis, yang sudah ramai bergulir, maka proses Pilwabup Ende sebenarnya tak boleh dianggap enteng. Perlu diseriusi walau dengan rangkaian pengandaiannya. Entah bertolak dari nada penyesalan seadanya, ataupun dengan merebaknya pertanyaan yang sungguh mendasar.
“Bisakah Erik Rede tetap dilantik sebagai Wabup Ende dengan, misalnya, ketentuan sanatio in radice?
Ataukah, demi tuntutan hukum, dinamika Pilwabup itu mesti dibatalkan sebagaimana dijelaskan oleh para pakar hukum di berbagai media?
Tetapi, syukurlah bila Erik tetap dilantik. Artinya, apapun terjadi telah ada yang terpilih dan telah siap dan pasti dilantik sah! Tetapi, bayangkanlah sebaliknya. Bagaimana seandainya demi hukum Erik tak jadi atau gagal dilantik? Mari sekadar mundur ke belakang terlebih dahulu. Pertanyaan publik Ende bagi para anggota Dewan, terutama para pimpinan DPRD atau fraksi, tentunya adalah “Sebelum-sebelumnya, kalian kerja apa saja untuk persiapan Pilwabup ini?” Jika pada akhirnya berujung gagal?
Rasanya terlalu naif untuk mengatakan bahwa dari 29 anggota legislatif itu tak ada satu orang pun yang jernih mencermati kewajiban prosedural atau tahapan yuridis yang mesti dilewati sebagai conditio sine qua non, misalnya. Tidak tahukah bahwa hal itu jelas-jelas akan bisa berujung fatal?
Andaikan ketidaktahuan itu adalah kekhilafan yang sungguh tabula rasa sifatnya, maka kini berjuanglah selanjutnya agar Erik tetap dilantik. Tetapi jadi satu soal besar dan serius, andaikan ‘kesalahan prosedural’ itu memang telah diketahui, dan ke 29 anggota legislatif itu sekian nekad atau dipaksa untuk ‘nekad’ demi kegiatan mulia ini.
Maka, pertanyaan berikutnya jelas! Intensi model apa yang mendorong kenekadan seperti itu? Apakah demi masyarakat Ende? Tetapi hal ini rasa-rasanya tidak. Karena, jika demi masyarakat Ende seluruhnya, maka pentahapan itu harus ditapaki serius penuh cermat serta penuh kesadaran. Ataukah demi sebuah hiden intention yang sifatnya tertahan pada kepentingan dan keuntungan bagi diri sendiri?
Entah Erik bisa dilantik atau pun gagal dilantik demi hukum mungkin tidak menjadi soal serius bagi anggota Dewan! Toh, anggota legislatif ini bisa saja beragumen ‘Intinya, kami telah menjalankan tugas mulia, yakni Pilwabup Ende.’ Soal lantik atau tidak, itu soal belakangan!
Maka, apakah ada yang lebih menarik dan sekian memikat dari kisah perhelatan Pilwabup itu? Apa ini tidak berkaitan dengan dana kegiatan Pilwabup yang tak boleh dilewatkan begitu saja? Jika ya (semoga tidak), betapa telah berlangsung panen raya, yang rugi besar, bila dilewatkan begitu saja. Lalu lintas money politic bisa saja telah ‘berkeliling mengaum-ngaum mencari mangsanya yang lemah integritas diri.’
Dibayangkan saja bahwa di Kamis, 11 November 2021, di Ruang Sidang Kantor DPRD Ende telah jadi perjumpaan antara besarnya ambisi, tujuan, kepentingan serta kecilnya hati nurani.
Tujuan halalkan cara sudah jamak terjadi. Tetapi sayangnya, andaikan cara-cara yang dihalalkan itu tak berujung pada final yang semestinya, yakni gagalnya pelantikan Wakil Bupati. Itu berarti kursi Wakil Bupati Ende tetap lowong. Tetapi, itukah yang diharapkan oleh anggota Dewan dan terutama pimpinannya? Jika Ya…?
Maka selanjutnya, jelas Djafar Achmad sebagai Bupati Ende akan tetap single fighter mempimpin. Apakah kondisi seperti ini membebankan sang Bupati? Ataukah “biar saja tak ada wakil, semuanya toh bupati bisa ator sendiri..”
Ataukah ada pihak lain yang sekian legah melihat ‘kesedihan masyarakat Ende’ tanpa Wakil Bupati? Namun sebenarnya ini dialami sebagai blessing in disguise, sebagai rahmat terselubung ibarat mendapatkan durian runtuh?
Tentu tak mungkinlah bahwa Sekda, para asisten bupati atau pun Ketua DPRD Ende bisa rangkap jabatan sebagai wakil bupati. Tetapi, bagaimanapun bisa menjadi alarm dan patut diwaspadai pula. Sebab terkadang ‘lowong bukan berarti tidak ada.’ Artinya, seturut bahasa politik kelas Pasar Senggol, hanya kursi jabatannya saja yang ‘lowong,’ tetapi bisa saja ada tersembunyi ‘wakil bupati bayangan’ yang nyata.
Sebab terkadang apa yang disebut ‘de iure et de facto’ tak selamanya bersinergi dalam ketunggalan. Praktisnya, “atas dasar hukum, Andalah pemimpin (sah), tetapi sebenarnya tidak semuanya terjadi pada kenyataannya. Sebab di lapangan, sayalah pemainnya dan yang bisa mengatur segalanya.”
Tetapi, mari tinggalkan dulu kisah perhelatan politik ini. Seriuslah menghadapi curah hujan yang kini semakin mengganas. Baru saja Ende diguyur hujan deras. Banjir ‘sudah sikat di mana-mana.’ Apalagi di wilayah ‘jalan bawah.’ Saya juga harus buka mata. Untuk sekarang ini anomali iklim global lebih menuntut perhatian lebih serius ketimbang anomali politik lokal Pilwabup Kabupaten Ende. Walau ia datangkan juga banjir pertanyaan di sana-sini.
Bukankah demikian?
Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro-Roma