(Sekedar bola liar dari Prancis vs Swiss)
Oleh P. Kons Beo, SVD
Selasa, 29 Juni 2021, dini hari waktu Indonesia, Stadion Arena Nasional-Bucharest, punya kisah. Di perhelatan Euro 2020 16 besar ini, Prancis akhirnya bisa tumbang?! Sungguh pilu nasib Prancis. Itu memang jadi kenyataan. Tak terbayangkan oleh jutaan pasang mata dunia yang menjagokannya.
Datang sebagai Juara Dunia 2018, bertengger di posisi 2 FIFA Juni 2021 dengan point 1.783, dipenuhi pemain bintang. Namun semuanya bukan jadi jaminan untuk begitu enteng berlangkah ke babak selanjutnya.
Memang sudah ada aura segar untuk tutup mulia pertandingan itu. Bayangkan, hingga menit ke 80 Prancis telah ada di atas angin. Unggul sementara atas Swiss 3 – 1. Itu sudah jadi modal telak untuk tatap babak selanjutnya.
Sayangnya, semua jadi berantakan. Awal petaka datang di menit 81. Sundulan cantik Haris Seferovic buahkan gol untuk Swiss. Gairah Swiss perlahan menanjak.
Dengan gelora pantang mundur, datanglah gol penyama kedudukan.
Di menit akhir, Pogba punya satu kesalahan serius untuk segera dimanfaatkan Mario Gavranovic. Pemain Swiss itu memaksa skor 3 – 3.
Tambahan waktu 30 menit pun tak ubah skor 3 – 3.
Dan petaka bagi Prancis benar-benar nyata. Di babak uji penalti itu, adalah Kylian Mbappe yang gagal ciptakan gol penalti. Dan Prancis harus menatap kosong Stadion Nasional di Rumania itu.
Sepertinya tak ada ‘sisa-sisa’ Prancis yang OK saat di Piala Dunia 2018. Tak ada heroisme Mbappe yang bergerak lincah saat taklukan Argentina dan Kroasia di 2018 itu.
Disinyalir, seusai pertandingan itu sempat ada ribut-ribut di kubu Prancis. Cecok itu libatkan keluarga para pemain seperti Pogba, Rabiot dan Mbappe. Seolah tak mau anak mereka dipersalahkan dalam kekalahan itu.
Kata-kata Veronique Rabiot bagi Fayza Lamari, ibu dari Mbappe, sungguh menukik tajam. Agar Mbappe perlu dididik agar jangan terlalu sombong! Wah, apa benar Mbappe sombong? Jangankan cuma Mbappe, bahkan seluruh kesebelasan Prancis dinilai lawan terlalu sombong.
Mari susuri celoteh Yann Sommer, kiper Swiss itu. Menurut Sommer, “Ini harga yang harus dibayar oleh karena kesombongan mereka”. Senada dengan itu, Granit Xhaka, kapten Swiss bersuara, “Itu sulit dipercaya. Semua orang Swiss bisa bangga atas kemenangan ini. Kami mengalahkan Prancis”. Bahkan Xhaka tambahkan, “Prancis dianggap sebagai sebuah tim yang sombong. Dan hari ini kami memaksa mereka untuk diam.”
Sombongkah Prancis? Tetapi itulah komen lawannya. Kita rasanya perlu serius merenung. Di atas pentas tanding, perlu tenangkan hati. Jangan remehkan lawan jika peperangan tengah berlangsung atau belum terjadi. Terkadang ‘anggap diri hebat’ dan ‘anggap enteng lawan’ sudah jadi modal untuk keok tersungkur.
Jangankan di sepakbola, di arena tinju pun sering ada petinju yang ‘sombongnya mati punya’ akan lawannya. Ambil saja contoh seperti Adrien Broner, si mulut besar yang digasak Marcos Maidana di tahun 2013. Atau ada Margarito, si boxer Meksiko itu yang hinakan Manny Pacquiao sebelum adu jotos. Tetapi di ujung laga di Nopember 2010 itu, wajahnya ancor lebam-lebam mama mia. Dan biji matanya Margarito pun nyaris copot.
Sepakbola terkadang gambarkan telak mitologia aura psike manusia di tatanan individu pun kelompok. Nampak besar, berjumlah banyak, populer, berkedudukan, punya pengaruh, tak selamanya wajib dengan sendirinya kokoh nan tangguh! Jangan-jangan sebatas ber-body truk expedisi, tapi sebenarnya berjiwa-mental hanya 110 Cc. Sekelas honda revo. Artinya nama besar, jumlah banyak dan terkenal tak selamanya jadi modal utama untuk jiwa kebertahanan. Kerentanan jiwa sering terlihat nyata dalam kekacauan sikap dan perilaku. Dan persis di situlah kekalahan itu. Itukah yang disebut, katakan saja, sindrom Goliat? Atau?
Repotnya lagi bila nada keangkuhan mulai datang menjebak. Kekalahan telah berdiri di depan mata. Mari kita ingat kisah di Kitab Pertama Samuel 17:40-58. Si raksasa Goliat sedemikian angkuhnya di depan Daud.
Panglima kebanggaan Filistin (Palestina?) itu menyindir tajam Daud bin Isai, anak muda Israel, “Anjingkah aku maka engkau mendatangi aku dengan tongkat?” (1Sam 17:43). Si raksasa itu lanjut, “Hadapilah aku, maka aku akan memberikan dagingmu kepada burung-burung di udara” (1Sam 17:44).
Tetapi, dengan lantang Daud balas bersuara, “Engkau mendatangi aku dengan pedang dan tombak dan lembing, tetapi aku mendatangi engkau dengan Nama Tuhan” (1Sam 17:45).
Di ujung kejadian, Goliat, si raksasa itu tumbang. Si besar dalam segalanya itu nyonyor jadinya. Ia kalah mengenaskan! Ia terjerembab oleh keangkuhan diri tanpa titik. Tanpa jedah.
Tetapi, mari kembali ke Euro 2020. Ya, itulah nasib kesebelasan Les Bleus, Prancis. Raksasa sepakbola dunia yang disinyalir sombong. Pun mungkin ia terlanjur terbungkus pula oleh mitos nama besar dan segala hebatnya. Yang diyakini pasti dengan mudah menghajar lawan-lawannya. Nyatanya? Malah lantas mesti duluan pikul koper pulang kampung. Tanpa sebuah final. Tiada kemenangan jaya.
Akhirnya, saya sendiri punya harapan kecil. Katakan saja ini sebentuk doa nakal (la preghiera cativa). Semoga para turis, Prancis atau siapapun suporter fanatik kesebelasan Prancis, bila sempat ke Basilika St Petrus di Roma-Vatikan, janganlah hanya memandang takjub segala keindahan Basilika St Petrus. Semoga ekor mata mereka berani memandang pula para pengawal Swiss. Yang berdiri tenang. Tak ada suara keras-keras. Tiada pula teriak sana-teriak sini. Namun kokoh dan tangguh dalam sikap! Ya, tentu termasuk dalam sikap beriman. (*)
Verbo Dei Amorem Spiranti