KUPANG KABARNTT.CO—Kasus dugaan jual beli tanah milik pemerintah dengan terdakwa mantan Walikota Kupang, Jonas Salena, mulai disidangkan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Kupang, Selasa (3/11/2020).
Para penasehat Jonas Salean berkeberatan dengan sidang kasus ini di Pengadilan Tipikor. Alasannya, peradilan yang berwenang untuk menentukan sertifikat-sertifikat yang diterbitkan atas tanah seluas 20.068 meter persegi, manakah yang sah menurut hukum atau sertifikat mana yang memiliki kekuatan hukum mengikat, bukan kewenangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
“Yang berwenang menentukan sah atau tidaknya sertifikat-sertifikat hak atas tanah dimaksud adalah Pengadilan Tata Usaha Negara. Sedangkan pengadilan yang berwenang menentukan sertifikat manakah yang memiliki kekuatan hukum mengikat adalah Pengadilan Negeri melalui prosedur peradilan perdata,” demikian eksepsi yang disampaikan Ketua Tim Penasehat Hukum terdakwa Jonas Salean, Dr. Yanto M.P. Ekon, SH.,M.Hum dalam sidang perdana kasus dugaan korupsi bagi-bagi tanah oleh mantan Walikota Kupang, Jonas Salean.
Sidang tersebut beragendakan pembacaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati NTT, Hendrik Tiip dan Herry C. Franklin. Sidang dipimpin majelis hakim, Dju Jhonson Mira Mangngi, S.H, MH didampingi hakim anggota Ari Prabowo dan Ibnu Kholiq.
Menurut Yanto Ekon, jika Penuntut Umum meneliti secara seksama dan cermat lokasi tanah dari Sertifikat Hak Pakai No. 5/Desa Kelapa Lima/1981 seluas 770.800 M2 maka ternyata di atas tanah ini telah diduduki oleh ratusan penduduk dengan berbagai jenis bangunan, baik bangunan milik pribadi maupun bangunan tempat ibadat dan perkantoran swasta atau pemerintah yang masing-masing telah memiliki bukti hak atas tanah.
“Sehingga, pengadilan yang berwenang menilai dan menentukan sah atau tidaknya bukti hak atau memiliki kekuatan hukum yang mengikat atau tidaknya bukti hak dari penduduk yang menduduki tanah Sertifikat Hak Pakai No. 5/Desa Kelapa Lima/1981 tersebut adalah Pengadilan Tata Usaha Negara atau Pengadilan Negeri melalui proses peradilan perdata,” jelas Yanto.
Dikatakan Yanto, berdasarkan alasan yuridis itu maka Tim Penasehat Hukum memohon kepada Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini agar berkenan menjatuhkan putusan yang menyatakan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Kupang tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini.
“Memohon kepada Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Hakim yang ditetapkan memeriksa dan mengadili perkara ini agar berkenan menjatuhkan putusan sela yang amarnya, menerima dan mengabulkan eksepsi Tim Penasehat Hukum Terdakwa Jonas Salean, SH.,M.Si untuk seluruhnya,” sebut Yanto.
Yanto juga memohon agar Majelis Hakim menyatakan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Kupang tidak berwenang memeriksa dan mengadili Surat Dakwaan NO.REG.PERKARA: PDS-13/N.3.10/Ft.1/10/2020, tanggal 27 Oktober 2020 terhadap Terdakwa dalam perkara ini.
Sebelumnya, JPU Herry C. Franklin dalam dakwaannya menyebutkan, terdakwa Jonas Salean membagikan tanah kepada keluarga dan diri sendiri. Menurut JPU, total bidang tanah yang diterima oleh terdakwa dan keluarganya adalah seluas 5518 meter persegi dengan harga per meter persegi pada saat itu sebesar Rp. 3. 316. 067, 61 sehingga total Rp. 18. 298. 061. 071, 98. Sedangkan saat itu terdakwa dan keluarganya hanya membayar biaya administrasi untuk 11 kapling tanah dengan total Rp. 2.200.000.
Pada sidang perdana itu Jonas Salean didampingi 12 pengacara di antaranya 6 orang dari DPD I Golkar NTT yaitu Nixon P. Y. A. Messakh. SH, Rizet Benyamin Rafael. SH, Beny K. M. Taopan. SH. MH, Drs. Hendriyanus R. Tonubesi. SH. M.SI. M.Hum, Denete Singsigus Lazarus Sibu. SH dan Samuel David Adoe. SH. Juga 6 advokat lainnya yaitu Dr. Yanto M. P. Ekon, SH., M.Hum, Yohanes D. Rihi, Melkianus Ndaomanu, Rian Kapitan, Alexander Tungga dan Meriyeta Soruh. (np)