(Sebuah Ziarah Peradaban dari “East of Dolorosa” Menuju “East of Eden”)
Oleh Steph Tupeng Witin
Selama masa pandemi, saat Covid-19 mengobrak-abrik jalinan hidup sosial, saya mengisi waktu membaca buku-buku yang menggelimangi Oring Bukit Waikomo. Sejak tahun 2019, tiap hari anak-anak sekitar Waikomo dan warga Lembata mendaki sebuah bukit kecil untuk membaca buku, majalah dan berdiskusi. Sebuah rumah yang selama belasan tahun sepi dari jamahan publik dan tampak seperti rumah kontemplatif, mendadak ramai karena orang datang membaca buku, mengakses internet gratis dan berdiskusi ala kampung ditemani ratusan bunga dan tanaman sayur.
Virus corona menakutkan sehingga aktivitas membaca terhenti. Tapi virus yang jauh lebih berbahaya adalah ketika biara-biara dan pastoran menjadi sangat tertutup dengan realitas sosial karena ada semacam ketakutan akut yang terbungkus bertahun-tahun dan ditutupi dengan berbagai perilaku “religius seolah-olah“ yang “terpaksa” didiamkan publik karena masih ada sisa rasa simpati warisan kejayaan jejak para “misionaris” masa silam.
Virus ketakutan ini dibungkus dengan sikap diam dan masa bodoh bertahun-tahun yang menutup ruang diskusi dan dialog sederhana yang terangkum dalam gerakan literasi untuk terlibat dalam ranah publik sebagai “altar” yang sesungguhnya. Ketakutan akut itu dibungkus dalam item “senioritas” meski perilaku hidup berlepotan narasi fakta yang membingungkan nalar.
Literasi adalah gerbang rasional untuk menelisik masuk ke celah-celah ruang politik, birokrasi dan ruang publik lain untuk-meminjam kata-kata Yesus-“menerangi dan menggarami” sekaligus pada saat yang sama kita mesti terbuka untuk “diterangi dan digarami” oleh realitas. Bagaimana mau jadi “garam dan terang” bagi publik kalau hidup sangat terpencil dari ranah sosial? Bagaimana hidup religius bisa “diterangi dan digarami” realitas pergumulan hidup publik jika puluhan tahun hanya dihabiskan dengan membangun kesalehan pribadi yang infantil beraroma “kudus seolah-olah?” Doa-doa kita ibarat ritus ayam pagi hari: sekadar berkokok lalu tenggelam tanpa bekas. Esok pagi dia datang berkokok lagi, tidak peduli tadi malam merayap entah ke mana.
Malah ada virus yang sangat berbahaya bagi hidup religious, yaitu ketika doa dan ritus agung lain hanya menghadirkan kenyaman semu karena takut berbenturan dengan realitas sosial dan politik. Padahal Yesus justru berani berbenturan dengan realitas sosial-politik untuk membentuk sebuah hidup baru yang lebih benar dan adil.
Bukankah sebuah bentukan baru hanya bisa lahir dari sebuah benturan? Benturan itu kalau dilakukan dengan intensi yang mulia: demi kebaikan dan kemaslahatan publik, Tuhan tidak pernah tidur. Orang Jawa bilang: Gusti Mboten Sare. Lewotana tidak akan bungkam.
Orang Lamaholot di Flores Timur dan Lembata memiliki uangkapan yang sangat bermakna. Lera Wulan Tana Ekan. Tuhan yang di “atas” dan tanah, leluhur yang di “bawah.” Kedua unsur religius ini menyatu dalam tubuh manusia untuk menguatkan kerapuhan. Maka orang yang berjuang untuk kebenaran dan kebaikan-walau dia sendiri penuh dosa-pasti akan mencapai gerbang bahagia karena Tuhan dan Lawotana meneguhkan.
Menderita Sekaligus Menjanjikan
Di antara tumpukan buku-buku yang menggunung, saya tertarik dengan sebuah buku fotografi kecil dan tipis bertajuk “East of Dolorosa” karya fotografer profesional Oscar Motuloh (Penerbit Lamalera, 2005).
Buku ini berisi foto-foto jurnalistik yang menarasikan Flores Timur dan Lembata yang lekat dengan idiom-idiom ilmu sosial “semua yang serba terkebelakang, yang terlupakan, yang termiskin, yang terabaiakan” (Hal 5).
Nyaris semua yang beraroma negatif melekat pada wajah provinsi yang terkenal “daerah minus” ini. Maka tepatlah bongkahan wilayah serba terkebelakang ini dijuluki: East of Dolorosa, Timur yang melarat, yang sengsara. Kemelaratan dan kesengsaraan itu terekam dalam bidikan kamera yang tampak indah dalam pencahayaan tapi menyesakkan dada. Infrastruktur jalan yang sangat buruk, rumah-rumah warga yang reyot, lingkungan kumuh tempat berkembang-biaknya aneka penyakit menular berbahaya bagi tubuh yang ringkih, alam yang kering kerontang menarasikan kemiskinan pangan.
Di balik kesengsaraan hidup rakyat yang akut, terpendam narasi tragis terkait korupsi yang gila-gilaan dengan aktor segelintir elite berwajah religius yang berperilaku rakus tak terbahasakan lagi. Korupsi ini berkembang-biak dengan subur di bawah kepitan ketiak berbau tengik dari segeintir elite aparat penegak hukum yang doyan menjadikan kasus-kasus korupsi dan kasus hukum lain sebagai ATM.
Wilayah East of Dolorosa ini seolah menjadi lokasi pembuangan bagi segelintir elite Republik bermasalah sehingga jadilah “daerah minus” ini lahan subur kerakusan. Elite politik, birokrasi dan penegak hukum membentuk jejaring pengamanan diri melalui celah pembagian jatah korupsi agar saling melindungi dan saling mengamankan. Kasus-kasus hukum yang melibatkan elite birokrasi akan diulur waktu sehingga menguras energi kritis publik. Publik kritis dibuat lelah oleh jejaring kolusi berbendera korupsi.
Kasus Awolong di Lembata menjadi contoh paling benderang: elite birokrasi bebas berkeliaran tanpa tersentuh hukum padahal uang rakyat senilai Rp 5,8 miliar hilang tanpa bekas di atas pasir Awololong. Penegak hukum terus menerus menggerayangi tubuh Lembata dengan anggaran selangit tapi kasus Awololong seperti jalan di tempat. Persis pasir Awololong yang tidak pernah berpindah tempat meski diterjang angin dan gelombang tiap saat. Keteguhan pasir Awololong ini telah menggelisahkan elite yang terkenal doyan merampok uang rakyat dengan beragam dalih kekuasaan. Tapi besi kekuasaan rakus seberat puluhan ton pun tidak berdaya melubangi tubuh pasir Awololong. Apakah matahari keadilan akan terbit dari pulau nan keramat itu?
Oscar Motuloh melalui deretan rekaman foto jurnalistik tidak semata berhenti pada narasi East of Dolorosaa. Di balik penderitaan, kesengsaraan dan kemiskinan hadir wajah-wajah yang kukuh, kuat dan teguh menantang kekerasan kekuasaan dan kekikiran alam yang menakutkan. Kemiskinan, kesederhanaan, keterbelakangan tidak semata dilihat sebagai bencana, malapetaka, juga bukan kegelapan masa depan melainkan utopia, mimpi yang menyuratkan sebuah masa depan yang menjanjikan harapan. Wajah yang tersenyum, urat-urat dahi yang menegang, lengan hitam legam yang berotot terbakar terik matahari dan sorotan mata tajam seolah menembus realitas kemiskinan yang menganga.
Berbagai tragedi hidup tidak pernah melumpuhkan semangat membaja yang terus bergelora ibarat laut pantai selatan yang terus bergelora dan setia melumat bibir pantai berbatu. Ada bakat, talenta, semangat, harapan, etos kerja unggul yang adalah blessing in disquise (rahmat tersembunyi) yang boleh saja disemai melalui berbagai ritus adat dan gereja yang kadang terasa kedaluwarsa dan tampak kusam di tengah terjangan badai zaman yang mengagungkan uang dan budaya hidup konsumerisme yang beranak pinak dari arus gerakan global kapitalisme, modernisme dan globalisasi.
Ada fakta Providential Dei (Penyelenggaraan Ilahi) yang bisa dirunut dengan akar religiositas yang sesungguhnya tersembunyi di balik nasib yang tidak pernah akan tuntas dimengerti. Narasi itu menyembulkan makna hidup terdalam yang selama rentang waktu ratusan tahun dirajut dalam diam tapi penuh gelora. Anyaman makna hidup itu hanya bisa kita rasakan dalam senyum Lamafa (juru tikam ikan paus) dan nelayan saat kembali melaut (leva) dengan hasil tangkapan ikan paus raksasa tergeletak di pantai Lamalera.
Politik Keterlibatan
Tantangan dan fakta hidup yang tragis sesungguhnya tidak pernah memadamkan gelora semangat untuk berani menatap masa depan. Hakikat hidup rakyat mesti dipahami dalam kredo per crucem ad lucem, kesengsaraan adalah jalan menuju cahaya (keselamatan). Optimisme hadir untuk mengingatkan bahwa selalu ada harapan di ujung penderitaan. Harapan itu bisa disemai melalui politik. Sebuah jalan rasional yang mesti setia diadvokasi agar mengubah jalan penderitaan, kesengsaraan dan kemiskinan sebagai jalan menuju kebahagiaan masa depan (per viam dolorosam ad salute).
Politik keterlibatan bisa menjadi sebuah solusi kreatif untuk mengubah realitas terkebelakang saat ini mnenjadi sebuah harapan yang menyediakan masa depan yang cerah. Masa depan yang tidak hanya sekadar hiburan religius saat misa arwah tapi kenyataan yang mesti dihadirkan bersama saat ini di kubangan daerah serba tertinggal ini. Harapan itu sesungguhnya nyata dalam berkas cahaya matahari pagi yang mencumbu tubuh bumi dan mengalirkan berkas jilatannya ke lekak lekuk tubuh manusia. Alam menyimpan potensi luar biasa. Hati rakyat mengalirkan utopia yang berdaya mengubah mimpi menjadi fakta indah yang siap diwariskan kepada setiap generasi. Masa depan menyerupai Taman Eden.
Politik keterlibatan adalah sebuah pergulatan hidup melewati sejarah malam nan kelam untuk menyibak pagi yang cerah. Rakyat adalah kumpulan orang-orang rasional yang di dalam hatinya telah lama membeku harapan untuk memilih orang yang punya hati membangun potensi daerah demi kesejahteraan bersama. Hati rakyat yang beku mesti dicairkan dengan berkas-berkas sinar matahari advokasi akal sehat.
Pemimpin-pemimpin politik lahir dari proses politik yang penuh kekelaman sehingga yang tersembul ke tengah rakyat adalah kerakusaan tanpa tepi, rasa malu yang tak pernah tergerus olokan publik, ambisi kuasa yang kebelet dan relasi kolutif untuk menggerayangi hati rakyat dengan uang pada momen Pilkada. Segenap elemen kritis mesti bekerja sinergis: mengadvokasi rakyat agar tidak lagi memilih pemimpin bermental saudagar yang memperlakukan daerah seperti kios.
Politik adalah jalan rasional untuk mengubah daerah kita dari East of Dolorosa menuju East of Eden. Kita mesti bersatu melawan “kelompok sebelah bersayap putih” yang sekian lama menjadikan daerah kita bisnis pribadi tanpa roh populis. Fakta infrastruktur buruk, air minum terbatas, sarana publik minim, kota yang kumuh, kotor, tanpa lampu jalan, proyek mubazir yang menggunung mesti kita basmi melalui jalan politik. Rakyat yang cerdas politik adalah jalan menuju East of Eden masa depan. *
Penulis Buku “Politik Dusta di Bilik Kuasa” (JPIC OFM Indonesia, 2018)