Oleh Lasarus Jehamat
Enam pasang calon yang diusung Partai Golkar berhasil menjadi pemenang dalam penghitungan sementara. Kemenangan Partai Golkar di NTT dalam Pilkada serentak 9 Desember lalu minimal memberikan garansi untuk Pemilihan Umum Legislatif dan Pilgub 2024.
Seperti diketahui, Golkar NTT memenangi enam dari sembilan daerah yang melakukan kontestasi. Keenam daerah tersebut ialah Ngada (Andreas Paru-Raymundus Bena), Kabupaten Manggarai (Hery Nabit-Heri Ngabut), Manggarai Barat (Edi Endi-Julius Weng), Malaka (Stef Bria Seran-Wendelinus Taolin), Belu (Agus Taolin-Aloysius Heleseren) dan Timor Tengah Utara (David Juandi-Eusabius Binsasi).
Hemat saya, Pilkada 2020 ini menjadi panggung Golkar tidak saja di NTT tetapi juga di Indonesia. Kemenangan Golkar tentu tidak bisa dibaca hanya dalam konteks 2020 atau 2021. Kemenangan Partai Golkar mesti dibaca dalam investasinya untuk tahun 2024.
Kemenangan di enam daerah di NTT minimal memberikan garansi akan calon yang diusung partai ini tahun 2024. Dengan kemenangan ini pula, bakal calon gubernur yang ingin maju di 2024 mesti berpikir dan berhitung. Golkar menjadi kekuatan besar di pilgub nanti.
Pertanyaan penting kemudian ialah bagaimana strategi Golkar memenangi lebih dari 75 persen daerah yang berkontestasi di NTT kemarin? Pertanyaan seperti ini laik diajukan terutama berkaitan dengan banyak hal. Beberapa di antaranya ialah soal strategi dan kecerdasan politik. Dalam kategori itu, elite Partai Golkar laik diacungi jempol.
Semua pihak laik mengangkat topi karena strategi dan kecerdasan elite Partai Golkar dalam menentukan calon yang diusungnya di sembilan daerah. Partai Golkar memang bukanlah dewa. Sebab, masih ada tiga daerah yang kalah. Meski demikian, kemenangan lebih dari 75 persen itu membuktikan kerja keras elemen partai ini di lapangan.
Investasi untuk 2024
Seperti yang telah disampaikan di atas, kemenangan Partai Golkar di enam daerah di NTT tentu penting dan strategis. Penting karena Golkar taktis membaca peta bakal calon yang menjadi pilihan rakyat. Kecerdasan seperti ini hemat saya kurang dimiliki oleh beberapa partai lain.
Apa modal utama Golkar? Kekuatan membaca peta sosial. Siapa yang cerdas membaca peta sosial niscaya bisa menjadi pemenang di tengah banyaknya tawaran calon yang bertarung. Pernyataan itu tidak lantas mengabaikan kerja dan kinerja elite partai baik di tingkat lokal maupun nasional. Secara organisatoris, elite Golkar memiliki kecerdasan membaca keinginan dan kemauan akar rumput.
Apakah partai lain tidak membaca realitas akar rumput? Bisa iya, bisa tidak. Hanya, variabel partai sebagai corong masyarakat tentu sungguh dibumikan Partai Golkar. Artinya, selain kinerja anggota legislatif asal Partai Golkar sungguh bekerja untuk rakyat, elite Partai Golkar yang terus-menerus mengunjungi konstituen pemilihnya menjadi hal lain yang perlu dibahas.
Menurut perspektif teoritik, membangun jaringan dan menjaga trusting (saling percaya) adalah dua variabel penting kemenangan merebut hati rakyat (Spinall, 2014). Artinya, jika ingin menang, dua variabel ini tidak boleh diabaikan. Semua yang membaca Partai Golkar dan beberapa partai lain tentu akan segera paham bahwa inilah partai yang memiliki struktur organisasi, bahkan sampai ke tingkat RT.
Meski banyak implikasi buruk dari apa yang disebut patronase dan klientisme politik, fenomena kemenangan Partai Golkar di enam daerah menjadi bukti bahwa patronase dan klientisme politik memiliki efek positif jika dikelola dengan baik.
Dalam kerangka itu, kemenangan Partai Golkar jelas menjadi panggung untuk Pemilu 2024. Kemenangan di enam daerah tersebut menjadi modal kuat Golkar dalam mengajukan calon yang akan didukung entah di level provinsi dan terutama di tingkat nasional nanti.
Pembangunan jaringan yang kuat dan efektif serta merawat kepercayaan rakyat jelas menjadi strategi utama Golkar. Dengan cara ini, hati rakyat sebagai pemilik sah suara, agak sulit keluar dan lari ke partai lain.
Ekosistem Demokrasi
Merujuk kerangka patron-klien di atas kita dapat menjelaskan dengan sangat jitu realitas kekinian politik lokal kita. Kita bisa menjelaskan kemenangan Golkar di enam daerah itu. Jika masyarakat sedikit teliti dan berpikir sedikit liar, mudah sekali membaca fenomena pembangungan jaringan yang dilakukan Golkar di sembilan kabupaten yang melakukan hajatan politik 9 Desember lalu.
Tiga karakter dasar yang mudah dilihat yakni hubungan timbal-balik (resiprositas), hierarkis, dan berulang kali. Sang calon atau bakal calon dan elite partai terus dan selalu bersama rakyat. Dalam kadar tertentu, rakyat yang sudah cerdas. Mereka tidak akan memilih pasangan calon yang jauh dari rakyat. Di situ Golkar laik disebut.
Gugatan selanjutnya adalah bagaimana hukum patron-klien memengaruhi demokrasi? Semua yang belajar demokrasi paham benar bahwa demokrasi dipahami sejauh mengerti dua pertanyaan penting yakni untuk kepentingan siapa kekuasaan dijalankan (demokrasi substansial) dan bagaimana kekuasaan itu dikelola (demokrasi prosedural).
Realitas dagang sapi kekuasan jelas menunjukkan bahwa demokrasi kita belum bisa beranjak dari ranah prosedural. Sebab utamanya adalah karena politik dalam langgam demokrasi itu masih berkutat dengan cara dan strategi mendapatkan kekuasaan semata dan jauh dari esensi politik.
Di level itu, Golkar dan elite Golkar cerdas membaca konteks sosial. Seperti yang telah disampaikan di atas, Golkar memang bukanlah dewa. Masih banyak hal yang perlu diperbaiki Golkar dalam satu dua tahun ke depan. Yang paling utama ialah menjaga agar momen kemenangan di pilkada tahun ini benar-benar dirawat dan dijaga untuk kepentingan Golkar dan terutama rakyat NTT tahun 2024. Dua hal utama yang perlu ditingkatkan ialah pembangunan jaringan dan kepercayaan publik. (*)
Dosen Sosiologi FISIP Undana