Oleh Arief Tandang
Peringatan hari ulang tahun pada dasarnya ialah jeda; suatu kesempatan menarik diri dari cara atau kebiasaan lama yang sudah tidak lagi “aktual”. Partai Golongan Karya (Golkar) yang sementara menyongsong hari jadinya yang ke-56, jatuh pada Selasa, (20/10/2020), mesti menyadari waktu yang dimaknai sebagai jeda ini.
Jeda, menciptakan hening dalam jarak yang relatif singkat antara masa lampau dengan masa depan dan sejumlah harapan yang diikhtiarkan. Jeda, adalah saat menarik nafas dalam dan panjang; menanggalkan “udara-udara” lama untuk memulai aksi-aksi kontekstual/urgen dan berpihak pada yang lemah dan rentan direpresi. Inilah seberkas ekspektasi bagi Golkar dan kader-kadernya; sebagai sumbangan ide yang mesti terejahwantah dalam kerja nyata hari-hari mendatang.
Partai Golkar, sebagai salah satu partai besar di Indonesia saat ini, telah begitu lama dikenal banyak kalangan melalui kiprah para kadernya baik dalam platform politik kepemerintahan maupun dalam ruang diskursus publik di mana rakyat kecil dan rentan tinggal. Atensi besar Golkar terhadap masyarakat kecil tentu termanifestasi dalam banyak karya kepartaian, sebagaimana dilandasi identitas Golkar sebagai partai karya.
Hal ini mengafirmasi serentak mengukuhkan semangat dan perjuangan awal berdirinya partai berlambang pohon beringin ini: kaum buruh, para petani, wanita, dan para nelayan serta pemuda, dirangkul dalam suatu wadah organisasi yang kemudian disebut Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Upaya ini menandai opsi keberpihakan fundator partai terhadap kaum yang kerap tereliminasi kepentingan-kepentingannya.
Adalah suatu kebaikan ketika spirit ini masih mengakar kuat dalam diri kader-kader yang sedang berkiprah hari-hari ini. Rakyat yang membutuhkan perhatian, yang senantiasa mengharapkan keberpihakan pemerintah sampai hari ini, mesti menjadi semacam alarm bagi segenap kader Golkar dalam karya yang responsif-kontinuitis.
Semangat karya tentu menjadi ruh yang khas Golkar. Lantas, karya-karya seperti apa sebenarnya yang menjadi opsi urgen hari ini dan beberapa tahun mendatang dalam program jangka panjang. Tentu materi ini sudah masuk dalam agenda organisatoris kepartaian. Saya tidak merasa cukup sangsi dengan hal demikian. Namun, sebagai warga sipil, tentu anjuran dan masukan menjadi semacam mantra, yang memang tidak jarang terabaikan, di mana realitas disuarakan melalui medium (partai) yang diharapkan membuka corong lebar-lebar, dan bukan hanya menumpuk aspirasi, melainkan juga dicerna sampai pada jenjang implementatif.
Sampai hari ini, dentuman kekerasan kemanusiaan masih menjadi agenda yang belum tuntas. Hak-hak rakyat dieksploitasi, ruang diskursus hampir tergerus kepentingan-kepentingan parsial, fenomena pembungkaman kasus-kasus korupsi yang mengorbankan kepentingan rakyat kecil dan sejumlah bentuk ketidakadilan lainnya, belum menemui titik akhir, malah semakin marak terjadi di rumah yang katanya demokratis ini.
Visualitas kejamnya penguasa hari ini bisa ditafsir melalui aksi penggusuran rumah warga Pupabu-Besipae yang santer baru-baru ini (bdk. BBC News, 20/8/2020). Aparat dan Pemprov NTT sekali lagi menciptakan ketakutan melalui tindakan represif terhadap masyarakat kecil dan begitu tak berdaya di Pubabu-Besipae (bdk. Suara.com, 14/10/2020). Hak-hak minoritas ditindis oleh kepentingan politik-parsial. Sangat disayangkan, penindasan hak-hak kemanusiaan paling nyata ini justru terjadi di wilayah demokrasi kita hari ini.
Inilah penekanan yang hemat saya menjadi opsi urgen yang harus diagendakan dalam waktu jeda peringatan ulang tahun Partai Golkar tahun ini. Keberpihakan partai terhadap masyarakat kecil mesti selalu menyata dalam aksi-aksi kepartaian dalam platform politik. Sebagai medium aspirasi, partai juga mesti benar-benar menggiatkan penegakkan kemanusiaan (HAM) di tengah konstelasi politik nasional dalam kekaryaan kader-kader partai.
Untuk mewujudkan agenda ini, tentu dibutuhkan kader-kader partai yang militan dan konsisten pada spirit keberpihakan terhadap orang kecil dan termarjinalkan, sebagaimana semangat awal pendirian partai. Kader-kader tangguh dan militan ini diusahakan mencari pendengar yang baik, bukan pembicara yang dominatif. Suara rakyat tidak sanggup bergaung sampai di titik pusat tempat eksekutor pemerintahan. Kalau bukan pemangku kepentingan di titik pusat yang mulai beraksi, para politisi dan kader-kader partailah yang turun ke lapangan, menyaksikan sendiri realitas yang sebenar-benarnya, mendengarkan jeritan rakyat kecil dengan hati terbuka, dan memasang kuping dekat mulut rakyat tanpa dipengaruhi politisasi media.
Integritas para kader Partai Golkar tentu benar-benar ditantang. Apakah sungguh-sungguh memihak rakyat yang termarjinalisasi, karena suatu kesadaran mutlak membela hak rakyat atau karena kepentingan politik tertentu. Kalau sampai pada taraf pertimbangan seperti ini, itu berarti langkah politis yang berkesadaran masih melekat dalam diri para kader, karena perlu dipahami bahwa politik sejatinya mulia: ia mesti dijalankan oleh figur-figur yang punya kesadaran politis yang baik. Bisa saja pada kenyataannya setiap niat baik selalu menemui kendala di lapangan yang membuyarkan nurani.
Akan tetapi, hemat saya, apa yang tidak mungkin sejauh tegar dan konsisten pada spirit keberpihakan terhadap orang kecil dan termarjinalkan. Golkar mesti senantiasa berkomitmen dan konsisten dengan spirit karya kepartaian yang mengakomodasi orang-orang kecil. Salah satu poin penting dalam platform Partai Golkar, “Mempertahankan komitmen dalam penegakan supremasi hukum dan hak azasi manusia serta mewujudkan pemerintahan yang bersih dalam tata kehidupan yang demokratis dan konstitusional” yang juga melandasi penekanan ulasan saya ini, mesti tetap menjadi ruh dalam karya-karya partai baik pada dimensi sosial, politik, budaya, maupun kemanusiaan. Akhirnya, mari kita selamatkan kemanusiaan yang kian tersayat.*
Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere