RUTENG KABARNTT.CO—Kiprah Gereja dalam kehidupan sosial politik diseminarkan di Aula SMAK Ketang, Kecamatan Lelak, Manggarai, Nusa Tenggara (NTT), Jumat (4/9/2020).
Seminar dengan tajuk “Kipra Gereja Dalam Kehidupan Sosial Politil” dalam rangka merayakan 40 tahun (Pancawindu) RD Alfons Segar, sebagai seorang imam Katolik.
Tema ini dibedah lagi setelah satu abad Gereja Katolik hadir dan menginsprasi kehidupan masyarakat Keuskupan Manggarai, kesukupan dengan Katlik paling banyak di Indonesia.
Tampil sebagai pemateri antara lain Dr. Bony Hargens, Gracia Paramitha, PhD. Dr. Fransiska Widyawati, RD Maksi Regus PhD. Tampil sebagai modertor Fransiska Widyawati, Pembantu Rektor Universitas Katolik Indonesia St. Paulus Ruteng.
Bony yang juga berasal dari Paroki Ketang ini mengatakan, budaya Manggarai sudah tercabut dari akarnya yaitu serani sa’i kontas bokak yaitu menjadi Katolik yang ditandai dengan pembabtisan di kepala dan dikalungkan manik-manik rosario di leher. “Akibatnya nilai-nilai Katoliksitas dalam berpolitik saat ini tidak memaknai arti simbol-simbol itu,“ kata Bony.
Lebih lanjut toko asal wilayah Manggarai ini yang baru selesai studi S3 di Amerika itu mengatakan, “Gereja memiliki perhatian besar terhadap masalah yang mewarnai kehidupan sehari hari. Wujud konkrit dari perhatian gereja dapat disaksikan melalui seruan seruan yang diberikan atas masalah-masalah yang terjadi di tengah dunia, misalnya seruan terhadap masalah sosial, ekonomi budaya, politik dan lingkungan.“
Menurut Bony, politik menjadi salah satu yang sering sekali diseruhkan Gereja. “Dalam berpolitik, Gereja tidak hanya berbicara tentang keterlibatan umatnya dalam politik, tetapi juga melhat keterkaitannya dengan nilai-nilai kristiani, yaitu kekuasaan yang diperoleh digunakan untuk kepentingan umum bukan demi kepentingan pribadi dan partai,“ tegasnya.
Pembicara lain, RD Max Regus, imam Katolik yang juga Dekan Fakultas Keguruan Universitas Katolik Indonesia St. Paulus Ruteng membedah kiprah gereja setelah satu abad membumi di tanah Manggarai ini. Banyak pertanyaan reflektif diajukannya, mengapa berbicara tentang kiprah Gereja, bagaimana Gereja lebih berkiprah setelah satu abad ini?
“Banyak soal yang belum terselesaikan dalam kurun waktu itu. Misalnya kecemasan. Sifat kegelisahan adalah rasa cemas yang saya rupakan sifat pribadi/bawaan (sifat pencemas). Sifat kecemasan adalah suatu predisposisi untuk mempersepsikan situasi lingkungan yang mengancam dirinya,” kata Regus.
Regus juga menjelaskan tentang tipe kepribadian pencemas antara lain: cemas, khawatir, tidak tenang, ragu dan bimbang, dulu-was /khawatir, kurang percaya diri, gugup/demam panggung, tidak mudah mengalah atau ‘ngotot’, gerakan sering serba salah, tidak tenang dan gelisah, sering keluhan, khawatir berlebihan terhadap penyakit, mudah tersinggung, suka membesar-besarkan masalah kecil (dramatisasi), sering bimbang dan ragu dalam mengambil keputusan, sering histeris saat emosii, untuk itu Gereja diharapkan dapat menjadi penyeimbang.
Sementara itu Gracia Paramitha lebih menyoroti tentang kesimbangan antarmanusia dengan lingkungan.
Menurutnya, tradisi Kristen dan Yahudi meyakini bahwa memelihara ciptaan Tuhan adalah satu tugas yang Tuhan percayakan kepada manusia: “Dan Tuhan menempatkannya di Taman Eden untuk bekerja dan memelihara taman itu,” tegas Gracia.
“Memelihara keseimbangan alam adalah upaya kita semua agar Firdaus yang indah itu, janganlah pernah kita hilangkan dengan keserakahan,“ katanya.(ias)