Golkar di Tengah Partai Figur

Oleh: Marianus Kleden

Bacaan Lainnya

Indonesia merupakan sebuah negara yang, selepas Reformasi, menjadi tanah subur tempat bertumbuhnya partai-partai politik. Di awal berdirinya, Indonesia hanya mengenal empat partai politik dengan tiga ideologi besar, yaitu PNI dengan ideologi Nasionalisme, Nahdlatul Ulama dan Masyumi dengan ideologi Islam dan PKI dengan ideologi Komunisme. Pada Pemilu 2019 terdapat 20 partai peserta pemilu, 16 pada level nasional dan 4 pada level daerah. Sementara di luar partai peserta Pemilu masih ada puluhan partai lain yang terdaftar di Kemenkumham, di mana sebagian memenuhi persyaratan sebagai partai tetapi tidak memenuhi persyaratan sebagai peserta Pemilu, sementara sebagian lagi yang tidak memenuhi persyaratan sebagai partai.

Di antara Pemilu pertama di tahun 1955 dan Pemilu terbaru di tahun 2019, terdapat berbagai dinamika menyangkut ideologi dan kiprah partai. Bila kita membandingkan NU dan Masyumi, maka secara sederhana kita bisa mengatakan bahwa NU cenderung lebih tenang dan lebih konsen dengan masalah-masalah kemanusiaan seperti pendidikan, sosial, ekonomi dan keagamaan, sehingga dikategorikan sebagai partai konservatif. Sementara Masyumi lebih mengaspirasikan perubahan-perubahan mendasar, antara lain kesetaraan pembangunan Jawa dan luar Jawa sampai ada yang bergabung dengan PRRI di tahun 1958, sehingga dikategorikan sebagai partai progresif. Insiden di tahun 1958 membuat Presiden Sukarno membubarkan Partai Masyumi karena partai ini ditengarai melawan pemerintahan yang sah. Dalam pada itu PKI yang jelas-jelas mengusung ideologi Komunisme yang bertentangan dengan Pancasila dalam aspek-aspek kehidupan demokrasi dan keagamaan (keputusan di tangan ketua partai, tidak ada kebebasan berpendapat dan berserikat, tidak ada kebebasan beragama) akhirnya harus kandas di tangan TNI yang salah satu poin dalam Saptamarganya menyebutkan, tugas TNI adalah menjaga ideologi negara. PKI memang baru dibubarkan tahun 1965 pascaperistiwa G30S/PKI karena selama rentang waktu 10 tahun, 1955-1965, Sukarno menunjukkan simpatinya kepada PKI, secara khusus pada ajaran “perlawanan kaum proletar terhadap kaum borjuis” yang berarti perlawanan terhadap ketidaksetaraan dan dengan demikian mengadvokasi keadilan sosial. Bung Karno juga bersimpati pada ajaran tetang kepemilikan alat produksi yang menginspirasi lahirnya  Marhaenisme yang mengadvokasi diandalkannya kekuatan sendiri, dengan modal sendiri atas basis semangat gotong royong. Dalam praktik, ajaran-ajaran yang bersifat ideal ini terbukti gagal di Uni Soviet, di China,  dan di Cuba yang mengusung ideologi Komunisme, dan  karenanya tidak perlu diujicobakan di Indonesia. Tetapi dinamika dan dialektika antara konservatisme dan progresivisme, serta antara otoritarianisme dan demokrasi tetap berlangsung dalam peta politik kepartaian di Indonesia.

Nah, ketika Suhato mengambil alih kekuasaan dari tangan Bung Karno di tahun 1967, Suharto sebagai tentara sejati sesungguhnya tidak ingin menyibukkan dirinya dengan urusan politik. Tetapi Suharto sadar, untuk mempertahankan kekuasaan dia membutuhkan partai politik sebagai kendaraan. Pertama Suharto berpikir untuk menggunakan PNI, tetapi karena Suharto hendak mengambil jarak dengan rejim Orde Lama, maka niat ini tidak bisa diwujudkan. Alih-alih dia memberdayakan berbagai kelompok kekaryaan untuk membantu pemerintahan. Dengan TNI sebagai motor penggerak terbentuklah Sentral Organisasi Swadiri Indonesia atau SOKSI. Soksi kemudian oleh TNI dijadikan sebagai basis bagi pembentukan Sekretariat Bersama Golongan Karya atau Sekber Golkar. Karena Sekber Golkar terlalu besar, maka organisasi ini dipecah dalam tujuh Kelompok Induk Organisasi disingkat Kino yaitu Soksi, Kosgoro, MKGR, Gerakan Karya Rakyat, Ormas Hankam, Profesi dan Gerakan Pembangunan. Himpunan berbagai organisasi kekaryaan ini dimaksudkan untuk melawan Komunisme.

Singkat cerita, walaupun Golkar tidak menjadi partai politik, selama tiga dasawarsa Golkar dipakai sebagai mesin yang melanggengkan kekuasaan Suharto dari 1971, yaitu Pemilu pertama di masa Orde Baru, sampai dengan 1997, yaitu Pemilu terakhir di masa Orde Baru. Selama enam kali berturut-turut Golkar menjadi pemenang dengan mayoritas mutlak perolehan kursi di DPR, yaitu 1971 dengan 236 dari 360 kursi, 1977 dengan 232 dari 360 kursi, 1982 dengan 242 dari 360 kursi, 1987dengan 299 dari 400 kursi, 1992 dengan 282 dari 400 kursi, dan 1997 dengan 325 dari 400 kursi. Dengan perolehan suara seperti ini, kebijakan pemerintah selalu lolos dengan mulus di ranah legislatif. Baru setelah Reformasi, Golkar terjun bebas dengan kehilangan 205 kursi di parlemen hingga tersisa 120 kursi dari 500 kursi di DPR RI. Walaupun kehilangan banyak sekali kursi, dengan perolehan suara seperti ini, Golkar masih menempati posisi kedua pemeroleh suara terbanyak dan masih punya posisi tawar di parlemen.

Ironi yang terlihat di sini ialah, Golkar yang dibentuk dengan niat melawan Komunisme yang anti-demokratis, akhirnya menjadi tidak demokratis sendiri selama 3 dasawarsa. Selama 6 kali masa jabatannya sebagai Presiden, Suharto tidak menciptakan iklim demokratis yang memberi ruang kepada suara alternatif dalam penyelenggaraan negara. Golkar telah menjadi kendaraan politik bagi sebuah pemerintahan otoritarian untuk jangka waktu yang sangat lama. Kondisi inilah yang membuat rakyat marah dan melakukan gerakan reformasi yang berakhir dengan lengsernya Suharto dari kursi kekuasaan. Golkar yang selama masa Orde Baru terbiasa dengan monoloyalitas kepada Ketua Dewan Pembina, yang juga terbiasa dengan garis komando yang diadopsi yang lingkungan TNI, menjadi agak kagok, bagaimana mesti meciptakan ruang kebebasan berbicara kepada kadernya.

Syukurlah di era Reformasi, Akbar Tandjung yang sudah malang melintang di dunia partai politik dan kepengurusan Golkar menjadi Ketua Umum pertama bagi Golkar yang kini sudah bermetamorfosis menjadi Partai Golkar. Pergantian ketua umum sesudah Akbar Tandjung berlangsung mulus dan demokratis. Akbar Tandjung digantikan Jusuf Kalla, JK digantikan Aburizal Bakrie, AB digantikan Agung Laksono. Namun peralihan dari Aburizal ke Agung Laksono tidak berlangsung mulus sehingga terjadi dualisme kepemimpinan yang pada akhirnya diselesaikan dengan baik oleh BJ Habibie sebagai mediator.

Yang kita pelajari dari seluruh dinamika perjalanan Golkar ialah, Golkar lahir untuk mengkonter Komunisme yang beberapa prinsipnya bertentangan dengan prinsip hidup demokratis. Sayangnya, Golkar yang seharusnya menjadi pionir demokrasi, justru menjadi kendaraan sebuah pemerintahan otoritarian.

Namun demikian setelah reformasi Golkar mengukuhkan dirinya sebagai pionir demokrasi par excellence, dengan beberapa alasan. Pertama, sebagai partai yang sudah terbiasa dengan otoritarianisme, Golkar tahu apa keburukannya dan tahu seni menghindarinya.

Kedua, dualisme kepemimpinan diselesaikan secara demokratis, yang berarti Golkar bisa menyelesaikan konflik internal secara dewasa tanpa menimbulkan perpecahan.

Ketiga, Golkar mungkin merupakan satu-satunya partai yang paling all-inclusive. Dibandingkan dengan partai besar lainnya yang mengandalkan figur atau organisasi keagamaan — misalnya PDIP kepada Megawati, Demokrat kepada SBY, Gerindra kepada Prabowo, atau Nasdem kepada Surya Paloh,   selanjutnya PKB kepada NU dan PAN kepada Muhammadiyah — sebagai cantolan ideologi dan wibawa partai, Golkar sama sekali tidak nyantol kepada figur tertentu atau kepada ormas tertentu. Sejak kelahirannya Golkar memang didukung oleh ratusan organisasi kekaryaan dengan TNI dan Birokrasi sebagai sokoguru, tetapi semenjak militer dan birokrasi didepolitisasi, Golkar telah menjadi partai yang terbuka kepada semua elemen masyarakat. Beberapa partai lain mungkin saja mengikuti cara Partai Golkar, tetapi sebagai partai dengan pengalaman tua, Golkar merupakan partai harapan rakyat bagi tumbuhnya demokrasi yang sehat, di mana suara semua kalangan didengarkan untuk disalurkan dalam keputusan politik, dan yang suksesi kepemimpinannya hanya mengandalkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan dan bukan kepada figur atau ormas tertentu. (*)

Staf pengajar FISIP Unwira Kupang

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *