BETUN KABARNTT.CO—Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Malaka gencar melakukan sosialisasi sanitasi total berbasis masyarakat (STBM). Dinas Kesehatan Malaka menjadi garda depan sosialisasi STBM.
Kepala Dinas Kesehatan Malaka, drg. Paskalia Frida Fahik, menyampaikan ini melalui Kepala Bidang (Kabid) Kesehatan Masyarakat (Kesmas),
Ferry Fahik, sebagai narasumber pada sosialisasi STBM di Hotel Cinta Damai, Betun, Rabu (8/7/2020).
Menurut Ferry, sosialisasi STBM 5 Pilar ini penting sebagai upaya penurunan stunting yang masih cukup tinggi di Malaka. Para kepala desa (kades), kepala puskesmas, juga sanitarian diharapkan saling berkolaborasi dalam upaya menekan stunting di Malaka.
Menurut Ferry, sosialisasi yang dilakukan ini lebih pada upaya bersama semua unsur menekan serendah mungkin persoalan stunting. Masalah stunting ini erat kaitannya dengan ketersediaan jamban sehat, juga makanan bergizi.
“Stunting di Malaka memang masih tinggi. Makanya kita bersama Yayasan Pijar Timur sepakat untuk deklarasi STBM. Di Malaka ada 22 desa di bawah pengawasan 9 puskesmas memang menjadi perhatian serius terkait stunting,” kata Ferry.
Persoalan stunting, kata Ferry, erat kaitannya dengan ketersediaan jamban. Peran kepala desa memberikan penyadaran bagi warga untuk stop BAB di sembarang tempat.
“Fokus perhatian kita bersama sekarang adalah menyadarkan warga untuk siapkan jamban sehat. Perhatian juga pada pengelolaan air minum di tingkat rumah tangga, pengelolaan sampah, pengelolaan limbah rumah tangga,” ujarnya.
Ferry berharap masing-masing pihak bisa berbagi peran untuk percepatan perubahan perilaku STBM. Upaya menekan stunting bukan hanya urusan dan tanggung jawab dinas kesehatan semata.
“Ada 22 desa menjadi lokus stunting karena ada potensi tinggi sehingga perlu penanganan segera. Pesan saya, kuncinya adalah jangan BAB sembarang. Saya juga harapkan tugas sanitarian saat ke desa jangan cuma lihat fisik semata tapi harus sampaikan manfaat jamban,” pesan Ferry.
Kades Raiulun, Kecamatan Malaka Timur, Frederikus Ukat, mengatakan, pihaknya beberapa hari sebelumnya melakukan sosialisasi STBM.
Di desa yang dipimpinnya, jelas Frederikus, terdapat 239 KK, sosialisasi sudah dilakukan di lima dusun yang ada.
Frederikus mengakui di desanya belum banyak warga yang memiliki jamban yang layak. Kalau jamban darurat rata-rata semua KK memilikiya.
“Ini kembali ke kesadaran dan perilaku yang memang jadi bahan sosialisasi. Mau gunakan dana desa untuk bangun jamban sehat tapi dana terbatas. Untuk bangun permanen minimal memerlukan dana Rp 17 juta-Rp 18 juta,” katanya.
Sementara sanitarian yang bertugas di Puskesmas Besikama, Serfina Abuk, membagi pengalaman ketika menangani STBM. Abuk pernah menjadi sanitarian ketika bertugas di Belu di mana awalnya mengalami kesulitan.
Namun, lanjutnya, kerja bersama dalam hal sosialisasi gencar dilakukan. Dalam perjalanan bahkan diterbitkan peraturan bupati (Perbup) sebagai payung hukum dalam bekerja melakukan sosialisasi.
Kunci keberhasilan menekan stunting, kata Abut, adalah saling bekerja sama dan tidak bisa hanya dibebankan kepada dinas kesehatan. (advertorial/abr)