Oleh Steph Tupeng Witin
Lembata adalah kabupaten yang menawan. Menatap Lembata saat terapung di tengah laut biru yang menyanggah tubuhnya, ada harapan tersembul. Bukit-bukit silih berganti berubah warna. Hitan keperakan dan hijau. Simbol jatuh bangun mengelola kabupaten otonom berusia 20 tahun ini.
Lembata yang dipangku laut biru terus saja berdansa sepanjang waktu mengikuti irama desakan alam yang energinya lebih dahsyat mengalahkan hasrat siapa pun, mungkin saja yang kebetulan mendapat antaran dulang suara lebih pada musim tidak enak lima tahunan, lalu memakai rentang waktu masa kuasa sebagai karpet kelam hasrat pribadi. Irama dansa alam itu terasa mengguncang bibir dermaga Lewoleba, seolah meruntuhkan keperkasaan tubuh, saat kapal motor melumat dinding dermaga pertanda kaki menyentuh dinding rahim Lembata.
Saat menoleh, Pulau Awololong, kuburan massal nenek moyang orang Lembata memancarkan keindahan tiada tara. Pulau siput ini memendam kekuatan alam yang coba digerayangi oleh tangan-tangan tidak sehat yang sudah terlalu lama mementaskan naskah teater kuasa tanpa tanda baca yang ditulis dengan gagap oleh sebuah tangan yang entah dari negeri antah berantah mana asalnya. Mungkin karena itu orang Lembata bingung mau melangkah ke mana. Terpaksa mengikuti hasrat tak terkendali “dewi khayangan” yang mengelola “negeri kecil salah urus” ini dengan watak melebihi drakula. Mau jalan baik atau buruk, tidak peduli. Asalkan jalan mulus ke rumah masa depan. Kalau ada pohon pandan yang menghalangi mata, harus dibabat, tidak peduli ancaman abrasi dan gempuran tsunami pantai selatan yang bisa saja menelan nyawa dan mengubur perkampungan.
Tapi kini, Awololong tidak lagi menjadi area dansa kuasa. Ribuan siput yang beranak pinak tanpa henti, ikan-ikan yang terus berziarah melintas zaman, berdansa bersama leluhur karena mendapat hadiah Natal 2020 yang mengejutkan: dinding hukum yang sekian lama dijaga kekuatan uang akhirnya jebol berantakan digilas kekuatan orang-orang idealis, anak-anak muda bersemangat baja, orang-orang yang tidak tega membiarkan Awololong jadi area pesta dansa para “pencongkel barang haram” yang rasa malunya terjepit cangkang siput.
Kekuatan komitmen yang diaduk-aduk waktu akhirnya membuahkan hasil: hadiah Natal merangkap hadiah tutup tahun 2020 yang menggetarkan nurani tanah Lembata bahwa tidak ada yang instan dalam perjuangan keadilan dan kebenaran dan uang bukan segala-galanya yang bisa seenaknya mengalahkan kebenaran. Kalau curi uang, tidak perlu berjuang. Cukup tipu “bapak besar” sedikit saja, beri dia minum moke lalu raba sakunya, ambil uang. Tapi hati-hati, salah raba maka dia terbangun. Jika ketahuan, nyawa bisa ditelan penjemput maut penjaga bukit nan jelita.
Lembata adalah sebuah matahari harapan yang terbit tak pernah jemu setiap pagi hingga berkas-berkas sinar perlahan menghilang di balik Gunung Ile Boleng. Harapan adalah milik pribadi setiap orang saat melangkahkan kaki. Optimisme itulah yang menjadi energi memacu kaki setia terus berziarah dalam lintasan waktu: detik, menit, jam, hari, minggu, bulan dan tahun.
Di antara ruas-ruang waktu itu, ada sejarah terekam, ada jejak tertulis dan ada prasasti pengabdian yang abadi. Semua itu menarasikan harapan bahwa ada sebuah upaya tanpa henti menginvestasi masa depan generasi. Atas nama investasi, pembangunan tidak boleh rakus dan merusak. Tanah Lembata ini bukan milik generasi saat ini melainkan pinjaman dari generasi masa depan. Maka pembangunan tidak bisa identik dengan pembabatan 6 hektare lahan bakau di Desa Merdeka, Kecamatan Lebatukan oleh orang yang sering dinamakan “pengusaha muda.” Pembangunan tidak identik dengan pembabatan ratusan pohon pandan di Mingar lalu ada corong kekuasaan yang bilang bahwa pandan bisa tumbuh karena masih ada akarnya. Orang mabuk kuasa memang kalau omong logika disimpan di dalam saku celana. Apakah sebuah pohon kelapa di Atadei kalau dipotong bisa tumbuh kembali karena masih ada akar?
Tapi harapan tidak terealisasi mulus di tangan “orang” yang kehilangan jiwa, miskin nurani tapi kaya hasrat memiliki tanah untuk membangun vila masa depan. Usia dua puluh tahun mestinya menampakkan jejak kematangan. Jiwa yang menyatu dengan badan mesti lebih dewasa dalam berpikir, bicara dan bertindak di ruang publik. Tapi yang muncul adalah mulut berlepotan, omong sesuka hasrat, ada orang bawahan yang pusing siap klarifikasi. Istilah adven: luruskan. Tokoh-tokoh dunia sangat terukur pikirannya yang terangkai apik dalam struktur gagasan oral. Kewibawaan sangat terjaga. Orang-orang hebat adalah kelompok intelektual yang gemar membaca buku, bergairah dalam diskusi gagasan dan berhasrat ingin tahu yang positif. Kita punya ini omong balepotan, kalau tersudut lalu marah-marah ditutup ancaman: mau duduk menangis atau terlempar ke sudut terpencil? Orang-orang model ini tidak pernah membaca buku untuk mengisi ruang otaknya yang kosong tapi ahli membaca peluang bisnis privat: tanah strategis mana yang bisa saya ambil dengan dalih wisata, ada dugaan investasi bahan tambang, tentu dengan memanfaatkan bawahan terdekat dan pejabat lokal khususnya desa yang dipegang ekornya sehingga hanya ikut saja saat ditarik seturut hasratnya. Bagai kambing kurus yang diantar ke bukit cinta untuk dieksekusi.
Publik Lembata terlalu lama berkelana dalam sebuah ruang pengap yang sengaja didesain dengan kata-kata magis: cinta, susu, wisata, ile telo, festival, dulang suara. Mungkin saja deretan kata yang bisa diperpanjang lagi ini akan membuat kenyang, hiburan saat berdansa di atas jalan berlubang kolam lumpur coklat, yang kadang dihibur dengan rabat beton sejengkal lalu masuk ke gerombolan batu kembali. Rupanya jalan berbatu yang tidak pernah terurus selama dua puluh tahun otonomi ini yang mengeraskan hati orang Lembata sehingga kehilangan rasa bahwa kaki sedang melangkah di atas jalan yang sama persis saat kita masih satu dengan Flores Timur dulu. Otonomi Lembata dua puluh tahun lalu hanya pintu gerbang bagi pesta pora segelintir elite yang kebetulan mendapatkan kepercayaan irasional rakyat karena dibutakan lembaran lima puluh ribuan untuk isi pulsa di kios pinggir jalan dengan laba dua ribu rupiah. Sementara rakyat menderita sepanjang masa. Hasil bumi melimpah tapi ongkos angkutnya mahal karena infrastruktur jalan yang buruk. Jalan raya dibangun dengan kalkulasi antar dulang pesta sambut baru di kampung-kampung. Kalau beri 100 suara berarti jalan sepanjang 100 meter. Itu pun belum disunat dananya yang diduga untuk penerima dulang yang tidak penuh-penuh.
Saat ini kita kita berada di ujung penantian Desember 2020. Seluruh dunia menanti beralihnya waktu. Hari ke-365 dalam kalender tahun 2020. Selama 365 hari dengan sekian banyak detik, menit, jam, hari, minggu dan bulan dan tahun, kita mengalami betapa limpah kasih Tuhan dan betapa nikmat merengkuh hidup dalam lindungan Tuhan. Tuhan begitu setia menjaga dan merawat hidup kita selama 365 hari hingga di penghujung tahun ini. Kalender tahun 2020 perlahan kita turunkan. Beribu kenangan dan pengalaman mesti kita tinggalkan.
Di penghujung tahun, kita merayakan Natal, momen di mana Allah menjelma menjadi sosok sederhana. Yesus dikelilingi oleh suasana, tempat dan orang-orang kecil-sederhana. Sabda Allah itu telah menjadi daging: menyerupai kita. Sebuah terang cahaya yang menerangi kegelapan dunia hati kita. Terang atau cahaya itu hadir begitu sederhana dan sahaja. Bahasa kesahajaan Natal inilah yang mesti menginspirasi kita untuk tetap teguh melangkah. Natal Betlehem: bahasa kesahajaan Allah menginspirasi kita. Maka kita menyanyikan madah ini:
Betlehem cuma desa mungil tak terpandang. Namun di sana sebuah lilin kecil berpijar, sebuah kerlip kunang merekah, menyibak pelan namun pasti malam pekat. Kita mesti berani untuk tetap yakin bahwa dalam yang kecil, pada yang tidak kentara, pada pekanya jalan kesabaran, ketabahan dan kasih, itulah keberanian menghayati Natal Betlehen hingga nanti Paska Golgota (Sutrisno: 2000).
Setia dan teguh melangkah menyongsong cahaya kebenaran terbit sempurna di Awololong. Dengan keberanian inilah, kita menyongsong masa yang baru, tahun 2021.*
Penulis, Perintis Oring Literasi Bukit Waikomo, Lembata